Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Dialog Imajiner: Bumi dan Manusia

Kamis, 22 April 2021 - 10:21 | 56.65k
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan  penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan  penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Akibat beberapa kali ada guncangan gempa bumi, khususnya di Jawa Timur ini, tumbul dialog serius antara manusia dan bumi. Manusia yang protes terhadap kejadian itu bertanya pada bumi “wahai bumi, mengapa engkau menimbulkan goncangan hebat”?

Bumi menjawab: “memang sudah tiba saatnya  aku harus memberikan goncangan sehebat-hebatnya, dan bahkan kalau perlu kulakukan berkali-kali”

“Bukankah dengan goncangan ini, seluruh makhluk hidup di atasmu akan menjadi rusak dan hancur”, apakah tidak ad acara lain yang tidak bersifat menghancurkan atau menimbulkan petaka mengerikan, demikian bantah manusia mencoba melunakkan keinginan bumi.

“Aku sudah tidak kuat menanggung beban berat dalam diriku, sehingga harus kumuntahkan. Aku sudah kelebihan muatan yang tidak seimbang dengan kekuatan yang kumiliki”,  bumi kembali berdalih.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

“Beban atau muatan seberat apa yang sedang engkau tanggung, sehingga harus ditumpahkan sedemikian rupa”?, tanya manusia  ingin menyelidik lebih jauh.

“Kesaksian yang diperintahkan Tuhan atas segala perbuatan manusia. Aku diberi tugas menjadi saksi sejarah nyata atas berbagai model perilaku yang ditunjukkan manusia”,  jawab bumi

“Mengapa kesaksian berlaku?”

“Goncanganku ini menjadi wujud keadilan-Nya”, jawab bumi secara diplomatis

“Keadilan macam apa?”

“Perbuatan berbuah balasan yang setimpal.  Besar kecilnya hukuman yang ditimpakan Tuhan adalah wujud besar kecilnya perbuatan buruk yang dilakukan manusia”

“apa maksudnya itu?”

“Balasan setimpal seperti yang telah diperbuat manusia. Hukuman Tuhan jatuh sejalan dengan besaran kejahatan yang diproduk manusia. Siapa manusia menabur kebaikan berbuah kebaikan, siapa manusia menabur kejelekan, berbuah penderitaan. Siapa manusia menabur angin, akan menuai badai. Siapapun yang menyuburkan kekejian, akan merasakan kekejian pula”

“Perbuatan manusia macam apa yang membuatmu bergoncang atau mengancam akan berguncang  lebih hebat?”,

“Segala bentuk perbuatan manusia  yang menimbulkan kerusakan  dalam diriku, melanggar hak-hak orang lain, atau mengkhianati ayat-ayat Tuhanku. Mereka dikeluarkan dari perutku (kubur)  dalam rupa yang bermacam-macam sesuai dengan apa yang diperbuatnya.”

“Bukankah engkau diciptakan Tuhan untuk dimanfaatkan bagi kepentinganku dan kemaslahatan kehidupan makhluk lain juga?”

“Ya,  aku memang diberi tugas membantu manusia dalam memenuhi hajatnya, tetapi akupun diberi hak memperingatkan ketika manusia melampaui batas dalam memanfaatkanku. Manusia yang berbuat melampaui batas seperti zalim dan keji kepadaku, maka tidak boleh dibiarkan. Manusia  harus dapat pelajaran (hukuman) secara adil”, demikian sannggahan bumi,

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

“Kalau aku dan makhuk lain hancur, siapa yang akan mendiami dan berkawan denganmu?  Apa engkau hendak hidup sendirian tanpa ada yang memanfaatkan?

“Aku sudah tidak perlu kawan lagi”

“Apa artinya hidup tanpa kawan?”

“Apa  untungnya punya kawan jika sang kawan ini bisanya hanya melahirkan penderitaan bagi kawannya”? Apa untungnya didiami oleh manusia jika manusia ini tidak bisa memperlakukanku sebagai sahabatnya dan hanya menjadikanku sebagai saksi sejarah atas ulahnya yang menyakitiku? Apa manfaatnya aku dijadikan ajang pergulatan manusia, jika pergulatannya lebih sarat membawa mafsadah (kerusakan)?

“Kalau engkau ikut hancur, apa untungnya engkau ada. Kehancuranmu hanya menandakan ketakutan menghadapi kenyataan. Kehancuranmu akan membuktikan kalau engkau gagal menunaikan tugas pengabdian kepada manusia dan makhluk hidup lainnya”

“Aku mengikuti sunnahNya, jika dalam diriku sudah terlalu berat menanggung beban. Aku berhak memuntahkannya (menggoncangkanya). Kehancuranku secara  total menjadi pertanda, bahwa makhluk di atasku, khususnya manusia, sudah tidak perlu dipertahankan atau dibiarkan melanjutkan misinya. Mereka (manusia) bukan hanya telah membuatku terluka parah dan terus menerus berlaku jahat dan biadab kepadaku, tetapi juga  berbuat jahat kepada dirinya sendiri.

Mereka sudah sudah tidak pantas mempertahankan dan melanjutkan kehidupannya, karena pada dasarnya  mereka telah mati. Mereka memang bisa berjalan dengan raganya, namun pada dasarnya, hatinya telah membeku (mati). Apakah gunanya mereka hidup, jika kebenaran ayat-ayat Tuhan telah dibuatnya menjadi tidak berdaya”, demikian penjelasan bumi menutup dialognya dengan manusia.

Berakhirnya dialog tersebut ditandai dengan menggelegar, merekah, dan membelahnya isi perut bumi. Bumi tidak lagi mau mendengar ocehan manusia. Kata bumi dalam hatinya: ini sudah terlambat. Dan bumi benar-benar memuntahkan segala yang melekat dalam dirinya, menceraikannya, dan menghancurkannya.  Bumi menunjukkan kemarahan hebatnya dengan meledakkan segala beban berat yang menghimpitnya. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan  penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES