Pendidikan Dies Natalis Ke 54 UB

Indonesia Butuh Pengembangan Kewirausahaan Politik

Selasa, 14 Februari 2017 - 20:42 | 500.07k
Akademisi UB Wawan Sobari, Ph.D memaparkan Political Entrepreneurship as a Key for Democratization in Indonesia, dalam seminar internasional Policy and Practices Toward Asian Centrality, Dies Natalis ke 54 UB. (Foto: Senda/TIMES Indonesia)
Akademisi UB Wawan Sobari, Ph.D memaparkan Political Entrepreneurship as a Key for Democratization in Indonesia, dalam seminar internasional Policy and Practices Toward Asian Centrality, Dies Natalis ke 54 UB. (Foto: Senda/TIMES Indonesia)
FOKUS

Dies Natalis Ke 54 UB

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Seminar internasional Kewirausahaan Sosial Politik dengan mengangkat tema "Policy and Practices Toward Asian Centrality", banyak memaparkan fenomena kewirausahan yang terjadi di Asia, termasuk  Indonesia.

Seminar yang digelar Gedung Widyoloka, Selasa (14/2/2017), menghadirkan empat narasumber yang terdiri dari akademisi Asia. Salah satunya  Wawan Sobari, Ph.D, dari Universitas Brawijaya. Wawan menyebutkan Indonesia masih butuh untuk mengembangkan kewirausahaan Politik.

BACA JUGA: UB Bahas Kewirausaahan Sosial Politik Bersama Empat Akademisi Asia

Wawan memaparkan, kewirausahaan politik telah menjadi topik pembicaraan sejak tahun 2005. Kewirausahaan politik sendiri merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan atau meningkatkan manfaat publik.

Kewirausahaan  politik ini melihat empat hal, yakni alokasi, sumber daya, pengambilan kebijakan dan pelayanan publik. Karena itu, dalam menerapkan kewirausahaan politik ini, dibutuhkan inovasi kepemimpinan dari kepala daerah yang berorientasi pada peningkatan kemanfaatan publik, sebagai seorang wirausahawan politik.

Dosen Ilmu Politik UB ini mengatakan saat ini Indonesia masih memiliki masalah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), yaitu tentang bagaimana memilih pemimpin yang dapat diandalkan. Terlebih pada Rabu (15/2/2017) besok, Indonesia akan menggelar Pilkada serentak yang kedua dan melibatkan 101 kabupaten dan provinsi.

Internasional-Conference-on-Social-Political-Enterpreneurship-2E7y35.jpg

Wawan mengatakan telah terjadi perubahan secara internasional dan paradoks di dalam demokrasi terkait paradigma manajemen sektor publik. Pada masa lalu, fokus utamanya adalah public goods. Namun sejak tahun 2005 inovasi sektor publik memperkenalkan konsep baru akan public value yang berbeda dari pilihan masyarakat.

"Dalam perspektif demokrasi yang telah ada, terdapat kektidakpuasan serta kekurangan. Proses demokratisasi berawal dari negara non-demokrasi yang mengarak pada sistem liberal dan menciptakan demokrasi liberal," terangnya.

Menurutnya, hal ini akan memunculkan kritik akan teori konsolidasi karena teori ini  hanya terfokus pada aspek formal saja. Bahkan, untuk di negara Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, perubahan yang terjadi tidak hanya terjadi pada aspek formal demokrasi, tapi juga pada aspek informalnya.

"Demokrasi bukanlah sebuah obat bagi masalah yang timbul. Bagi beberapa negara, demokrasi tidak dapat menyelesaikan masalah ekonomi ada," katanya.

Wawan mencontohkan di negara Amerika Latin, telah muncul fenomena hybrid Regime (Rezim Hibrida) atau negara yang dipimpin oleh tirani yang mengusung aspek demokrasi dari pemerintah. Negara ini tidak secara konsisten menerapkan demokrasi.

Fenomena tersebut berbeda dengan yang terjadi pada negara demokratis yang telah mapan, yang lebih fokus pada pemerintahan dan rezim yang autoritarian. Ia menyebutnya dengan istilah kemunculan kembali autoritarian (Authoratorian strikes back). Pada negara tersebut sistem demokrasi tidak lagi digunakan.

"Contohnya di Eropa, yang terbagi dalam 3 kelompok yaitu, anti democracy, nativist, populist. Sedangkan paradoks demokrasi di Indonesia diwujudkan dengan adanya kartun sindiran oleh Suharto yang menampilkan bahwa masyarakat merindukan kepemimpinan dan pemerintahan yang autoritatif," jelasnya.

Wawan menilai demokrasi kini tidak menghasilkan perubahan yang lebih baik dari pemerintahan autoritatif. Hal ini dikarenakan sejak Pilkada tahun 2005 yang melibatkan 571 kabupaten dan kecamatan di 34 propinsi menunjukkan bahwa Pilkada tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemajuan Indonesia.

"Pilkada masih hanyalah sekedar strategi pembelian suara," sambungnya.

Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa demokrasi yang ada saat ini dipengaruhi oleh demokrasi terpimpin. Hal ini telah dibuktikan oleh warga negara di bagian barat dan timur Indonesia. Karena, tidak ada perkembangan dari kemajuan sumber daya manusia yang telah terjadi.

"Terbukti bahwa money politic masih menjadi cara untuk memenangkan pilihan. Berjuang (beras, baju, dan uang) merupakan salah satu cara baik incumbent untuk memenangkan Pilkada," ujarnya.

Bahkan Wawan juga menilai demokrasi masih dianggap sebagai fast food politik. Sebabnya, pemilih hanya mempertimbangkan tampilan dan tidak memikirkan tentang isi.

Pernyataannya diperkuat dengan adanya konsolidasi di demokrasi Indonesia ditunjukkan di indeks demokrasi Indonesia mulai tahun 2009-2015 yang telah meningkat dari 67.30 ke 72.82. Data tersebut menunjukkan ambivalent, yang artinya demokrasi yang ada di Indonesia tidak membawa kemajuan yang lebih baik.

"Ini mungkin berakar pada pengukuran yang hanya bergantung pada aspek formal dan tidak memperhatikan aspek informal dari demokrasi," jelasnya.

Wawan diakhir pemaparannya menyebutkan Indoensia saat ini, membutuhkan penyelesaian tentang bagaimana memanajemen oposisi dan dukungan. Ia menilai pemimpin yang dapat melakukan keduanya pantas memimpin.

Selain itu, yang lebih utama, ia juga menyebutkan pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya.

"Beberapa contoh pemimpipn yang baik diantaranya adalah Bu Risma dari Surabaya, Azwar Anas dari Banyuwangi, Suyoto dari Bojonegoro dengan program-programnya yang membantu warga miskin. Seperti Ojek makanan balita yang dilaksanakan di Bandung," tutupnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES