Peristiwa Daerah

Tradisi Leluhur Unan-unan Tetap Eksis meski Diterpa Era Modern

Selasa, 23 April 2024 - 21:22 | 57.30k
Ratusan warga Tengger di Desa Ngadas merayakan Unan-unan. (Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia).
Ratusan warga Tengger di Desa Ngadas merayakan Unan-unan. (Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia).

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Tradisi Upacara Unan-unan merupakan sebuah tradisi adat yang dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger secara turun temurun. Unan-unan ini dilakukan setiap lima tahun sekali atau tepatnya pada saat tahun "Landung" dalam kalender masyarakat Suku Tengger.

Kepala Desa Ngadas, Kastaman, menjelaskan bahwa Unan-unan berasal dari kata "Una" yang berarti memperpanjang, merujuk pada kalender Suku Tengger yang memiliki 13 bulan dalam setahun. Bulan ke-13 tersebut terjadi setiap lima tahun sekali yang disebut tahun "Landung".

"Dalam perayaan Unan-unan yang dilakukan pada 23 April 2024, termasuk bagian dari tradisi pembersihan desa," kata Kastaman, Selasa (23/04/2024) siang.

Menurut Kastaman, tradisi yang dilakukan setiap lima tahun sekali ini disambut meriah oleh masyarakat Suku Tengger, sehingga perayaan tersebut dilakukan di setiap pura desa. Tak heran jika seluruh desa di Kecamatan Sukapura merayakan Unan-unan.

"Unan-unan ini dirayakan oleh seluruh masyarakat Suku Tengger, baik yang ada di Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan juga Lumajang," tambah Kastaman.

Bahkan, dalam satu kali perayaan, setidaknya menghabiskan biaya ratusan juta rupiah. Dana tersebut didapatkan dari hasil swadaya masyarakat dan juga bantuan dari investor serta beberapa anggaran yang dikelola desa.

warga-Tengger-2.jpgWisatawan asal Prancis ikut meriahkan Unan-unan. (Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)

"Untuk pakemnya apa saja, pasti ada dan sama diseluruh desa. Namun untuk anggaran yang dikeluarkan berbeda. Bergantung dari kebutuhan. Untuk di Desa Ngadas sendiri berkisar Rp160 juta," tambahnya.

Lantaran perayaan yang dilakukan lima tahunan itu, membuat masyarakat Suku Tengger antusias. Baik dari usia anak-anak hingga dewasa, mereka berbondong-bondong datang ke kantor desa untuk ikut dalam perayaan tersebut.

Dengan menggunakan baju adat kebanggan mereka, termasuk udeng bagi pria dan juga jarik bagi wanita, mereka membaur untuk ikut mengantarkan sesaji dari kantor desa ke Pura. 

Jarak antara kantor desa di Ngadas dengan Pura Agung Dharma Bhakti desa setempat sekitar satu kilometer.

Rombongan masyarakat Suku Tengger berbaris untuk mengantarkan sesaji. Adapun sesaji yang disiapkan yakni hasil olahan bumi, baik hewani mulai dari kerbau, ayam, serta sayur-sayuran dan ketan yang merupakan olahan dari hasil bumi.

Para tetua dan juga dukun desa turut hadir dalam arak-arakan tersebut.

Secara bergantian, masyarakat Suku Tengger memikul sesaji yang diarak. Lantunan musik khas tengger pun turut meramaikan arak-arakan Unan-unan itu.

Saat memasuki Pura, sesaji yang diletakkan di tempat yang disediakan dibacakan mantra oleh dukun setempat. Usai dibacakan mantra dan doa-doa, giliran acara tari-tarian.

Acara tari-tarian itu sebagai bentuk syukur dan kegembiraan yang digambarkan oleh masyarakat Suku Tengger.

Memasuki acara terakhir yakni prosesi pengambilan sesaji pasca didoakan. Dalam proses ini, ratusan masyarakat Suku Tengger yang ada di Desa Ngadas saling berebut untuk mendapatkan sesaji.

Mereka percaya sesaji yang telah didoakan tersebut memiliki banyak manfaat. Salah satunya adalah tolak bala, memberikan kesuburan serta kesejahteraan.

"Jadi daging dan kulit kerbau yang didapatkan itu bisa ditaruh di pintu rumah sebagai tolak bala, termasuk bisa ditaruh di lahan perkebunan untuk kesuburan," lanjut Kastaman.

Menurutnya, di Era Modern ini, tradisi leluhur yang sudah dilakukan secara turun temurun harus dilestarikan. Termasuk dikenalkan kepada generasi muda. Jika tidak, maka lambat laun akan hilang terkikis jaman.

Sementara itu, tradisi Unan-unan ini juga menjadi daya tarik bagi sejumlah wisatawan yang datang, baik lokal maupun mancanegara.

Tak heran dalam perayaan tersebut banyak wisatawan yang datang ke Gunung Bromo sengaja turun dari mobil Jip mereka untuk mengambil gambar. Bahkan ada pula yang sampai ikut dalam perayaannya.

Seperti yang dilakukan Aurore, wisatawan dari Prancis. Menurut Indri selaku agen sekaligus transitor dari Aurore, ia kagum dengan budaya serta kehangatan masyarakat Suku Tengger

Bahkan, ia rela untuk ikut berpartisipasi dalam perayaan Unan-unan, mulai dari proses arak-arakan sesaji, doa-doa hingga acara berakhir.

"Saya suka dengan kehangatan warganya. Termasuk pemandangannya yang indah. Bahkan saya ingin berpartisipasi dalam kegiatan itu," kata Aurore yang diterjemahkan oleh Indri.

Hal senada juga diungkapkan oleh Agus Salahuddin, Sekretaris DPC HKTI Kabupaten Probolinggo yang turut hadir dalam kegiatan tersebut.

Menurutnya, tingkat toleransi yang ada di Probolinggo, khususnya di kawasan Gunung Bromo sangat tinggi. Terbukti, adanya masyarakat umat Hindu Tengger dan juga Islam yang rukun dan tanpa ada gesekan sama sekali.

Dan lagi, ia mewakili Ketua DPC HKTI Kabupaten Probolinggo Gus dr. Haris akan turut serta dalam menjaga dan melestarikan budaya yang ada.

"Tradisi, adat istiadat, dan nilai toleransi yang tinggi ini harus dijaga dengan baik, sehingga perlu kita dukung, termasuk acara Unan-unan ini," tutup Agus. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ryan Haryanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES