Kopi TIMES

Stop Tragedi Kemanusiaan Atas Nama Sepak Bola

Selasa, 04 Oktober 2022 - 14:26 | 46.56k
Haveri Hamid, Pemerhati Sosial 
Haveri Hamid, Pemerhati Sosial 

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 menjadi peristiwa paling kelam dalam dunia sepak bola Indonesia. Bahkan peristiwa tragis ini menjadi tragedi besar supporter meninggal nomor dua di dunia setelah Peru di tahun 1964. Laga internasional antara Timnas Peru Vs Argentina itu menewaskan 318 orang. Sementara di laga Derby Jawa Timur Arema FC Vs Persebaya, memecahkan rekor dunia kedua dengan menewaskan 125 orang.

Bahkan Tragedi Kanjuruhan dapat dikatakan sebagai tragedi kemanusiaan luar biasa. Bagaimana tidak, ratusan nyawa melayang hanya dalam waktu sekejap. 

Sebagian besar korbannya adalah para remaja yang masih belasan tahun. Harapan dan masa depan mereka harus berakhir Malang di Stadion Kanjuruhan. Bahkan ada pula anak yang berusia 11 tahun yang terpaksa yatim piatu akibat tragedi mengenaskan itu. Persitiwa itu jelas tidak akan pernah luput dari ingatannya. Ia menjadi saksi mata betapa tragisnya tragedi itu hingga merenggut nyawa Ayah dan Ibu-nya.

Sepak bola yang semestinya menjadi hiburan, seketika berubah menjadi kuburan. Ratusan nyawa berjatuhan, tangis air mata menyelimuti keluarga korban, apakah ini yang disebut Liga Dagelan?. Lantas jika sudah demikian, siapa orang yang harus disalahkan?.
Paling tidak ada dua hal yang menjadi kejanggalan dibalik periswita 1 Oktober 2022. Pertama, soal jadwal pertandingan, mengapa harus digelar malam hari. Kedua, alasan penembakan gas air mata yang dilakukan aparat keamanan terhadap supporter. 

Sebelumnya, pihak Arema FC telah bersurat ke penyelenggara Liga 1 agar pertandingan Derby Jawa Timur antara Arema FC Vs Persebaya digelar sore hari. Alasannya jelas untuk faktor keamanan. Namun keinginan tersebut tak diindahkan oleh PT LIB, alhasil laga tetap digelar malam hari. 

Bagi pemilik hak siar, pertandigan sore hari jelas-jelas tidak menguntungkan secara bisnis.  Penontonnya tidak sebesar ketika digelar di waktu malam. Ratingnya jauh lebih tinggi malam hari. Itulah sebabnya banyak laga Big Match Liga 1 mayoritas digelar pada waktu malam hari.

Jauh sebelum itu sebetulnya sudah banyak pihak yang tidak setuju apabila pertandingan Liga 1 digelar malam hari. Salah satunya pernah dilontarkan oleh Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI). Kesehatan pemain hingga keamanan supporter menjadi alasan utama dibalik protes APPI itu. Sayangnya protes itu lagi-lagi tak dihiraukan.

Bonek Mania menjadi salah satu supporter yang sangat menolak pertandingan malam hari. Keinginan mereka pun akhirnya dikabulkan PT LIB usai menggeruduk kantor PT Indosiar Surabaya, pada (8/8/2022) Persebaya akhirnya mendapat kelonggaran bermain sore hari saat laga kandang. 

Sayangnya hal itu tak berlaku bagi Arema FC.  Laga krusial derby Jatim tetap dipaksakan malam hari. Akibatnya laga derby Jatim antara Arema FC Vs Persebaya harus dibayar mahal dengan melayangnya ratusan nyawa supporter dan banyak korban yang mengalami kritis.
Tak hanya soal pertandingan yang digelar malam hari, penanganan yang fatal juga menjadi salah satu faktor krusial yang mengakibatkan ratusan nyawa Aremania melayang. Penembakan gas air mata yang dilakukan aparat keamanan benar-benar  fatal. Hal ini jelas-jelas menabrak regulasi FIFA. 

Dalam aturan Keamanan dan Pengamanan Stadion FIFA, pasal 19 ayat b disebutkan, “Tidak boleh ada senjata api dan gas air mata yang dibawa maupun digunakan”. Sayangnya aturan tersebut dilanggar oleh aparat kita, entah sengaja atau tidak, namun jelas-jelas itu salah.
Kendati pun demikian, ini bukan semata-mata kesalahan dari aparat kepolisian semata. PSSI sebagai lembaga yang punya otoritas dalam persoalan ini, patut untuk disoroti. Bahkan Panitia Pelaksana Arema FC juga perlu untuk dipertanyakan, mengapa gas air mata bisa masuk ke dalam Stadion?.

Evaluasi besar tentunya wajib dilakukan PSSI, mengingat tragedi di Kanjuruhan sudah menjadi rentetan tewasnya supporter di Indonesia untuk kesekian kalinya. Misalnya dengan membuat regulasi yang ketat agar supporter tidak masuk ke lapangan.
Selain itu, untuk laga-laga penuh tensi tinggi seperti Arema FC Vs Persebaya, Persib Bandung Vs Persija, perlu mendapat perhatian khusus, terutama dari segi pengamanan. Bahkan bila perlu digelar tanpa adanya supporter.

Sayangnya Komisi Disiplin (Komdis) PSSI lebih akrab dengan denda ketimbangan sanksi yang membuat tim atau supporter jera. Segala pelanggaran di dalam Stadion hampir selalu diukur dengan uang, uang dan uang. 

Evaluasi yang jauh lebih besar selanjutnya yang harus dilakukan PSSI adalah memperbaiki level kompetisi sampai ke akar-akarnya. Mulai dari jadwal pertandingan, wasit yang bertugas, adaptasi teknologi dengan menggunakan VAR hingga menjauhkan kompetisi dari para broker dan mafia bola.

Kini pandangan orang tentang sepak bola Indonesia akan berubah 180 derajat. Imbas dari peristiwa tragis itu akan membuat wajah sepak bola Indonesia kian menjadi semakin suram dan menakutkan. Pertandingan yang semestinya menjadi hiburan masyarakat justru menjadi ajang praktik aparat keamanan untuk menghantam nyawa ratusan insan. 

Nasib sepak bola Indonesia kini juga berada di persimpangan jalan. Sanksi dari FIFA sudah berada di depan mata. Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U-20 tahun 2023 terancam batal. Bahkan kompetisi resmi di negeri ini juga terancam dibekukan kembali.

Terlepas dari itu semua, Tragedi Kanjuruhan akan menjadi catatan sejarah kelam bahwa sepak bola kita tidak aman dan nyaman bagi para supporter. Kejadian serupa sebetulnya sudah seringkali terjadi di persepakbolaan kita. Seperti tragedi Rangga di tahun 2012 dan kejadian-kejadian serupa lainnya. Bahkan di tahun 2022 ini, supporter PSS Sleman juga tewas akibat penganiayaan oknum supporter lain. 

Mirisnya dari beberapa kasus yang terjadi sebelumnya, tragedi Kanjuruhan ini menjadi paling tragis dan di luar batas kewajaran.  Konteksnya bukan lagi bentrok antar kedua supporter. Melainkan Supporter Vs Aparat kemananan yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi para supporter sampai akhirnya pulang ke rumah dengan selamat. Memang lebih baik hidup tanpa adanya sepak bola jika nyawa harus menjadi taruhan. (*)

 

*) Haveri Hamid, Pemerhati Sosial

 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

______
**)
 Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES