Adv

Bank Sental Negara Maju Naikkan Suku Bunga, Beresiko Pada Target Inflasi Pemerintah 

Selasa, 27 September 2022 - 20:25 | 16.71k
Potensi kenaikan investasi dari suku bunga BI (FOTO: Shutterstock)
Potensi kenaikan investasi dari suku bunga BI (FOTO: Shutterstock)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tekanan eksternal dan agresifnya banyak bank sentral di negara-negara besar dalam menaikkan suku bunganya diperkirakan akan membawa dampak pada risk off sentiment pada negara sedang berkembang. Termasuk dalam hal ini Indonesia. 

Karena tekanan dan agresifnya bank negara-negara besar menaikkan suku bunga itu berimbas pada target inflasi yang ditetapkan pemerintah dibawah 5%. Bahkan diperkirakan angkanya bisa mencapai 6.27%. Selain itu, diprediksi Bank Indonesia akan terus menaikkan suku bunga acuan.  

"Kami prediksikan suku bunga acuan bisa mencapai 5% pada akhir tahun," terang Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rahman, dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (27/9/2022). 

Suku-bunga-bank.jpgSuku bunga bank mempengaruhi keputusan ekonomi seseorang (FOTO: Shutterstock)

"Selain itu, fear of global recession juga menaikan risiko turunnya surplus neraca dagang akibat turunnya permintaan dan turunnya harga komoditas. Kedua hal tersebut memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah," sambungnya. 

Faisal mengungkapkan, dari sisi domestik inflasi masih diperkirakan akan terus berlanjut tinggi sehingga inflasi dapat mencapai 6,27% pada akhir tahun. Sementara itu, musim dingin di belahan dunia Barat diprediksi akan membuat inflasi di negara Barat naik. 

Di Indonesia sendiri, musim hujan dan libur Natal dan liburan Tahun Baru 2023 sendiri diperkirakan akan mendorong inflasi. Disinggung bagaimana musim hujan atau basah seperti sekarang ini dapat memberikan tekanan bagi produksi pangan. 

"Jadi tekanan inflasi dari pangan masih akan berisiko menaikkan inflasi. Selain itu ada pula libur nataru juga memberikan dampak seasonal atau musiman dimana permintaan biasanya naik sehingga meningkatkan demand pull inflation," jelas Faisal.

Menurutnya, inflasi tinggi dan perlambatan ekonomi sebenarnya bukan hanya menjadi tantangan bagi Indonesia melainkan juga negara-negara di seluruh dunia. Apalagi, baru-baru ini Bank Dunia menurunkan lagi proyeksi pertumbuhan China dan Asia pada umumnya. 

Di sisi lain, konflik antara Rusia dan Ukraina masih terus berlanjut. Namun demikian, Faisal menyatakan optimismenya terkait peluang perekonomian Indonesia tumbuh di tengah tantangan global tersebut. Sebab kemungkinan permintaan energi dari Indonesia oleh global masih ada meski terjadi perlambatan dari China. 

"Ini menjadi ini salah satu alasan yang membuat kita bisa mempertahankan surplus neraca dagang berbulan-bulan. Peluang surplus masih ada, namun menyusut di ke depannya," ungkap Faisal. 

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengungkapkan keberhasilan menekan angka inflasi volatile food menjadi salah satu faktor penurunan tingkat inflasi. Pihaknya terus memonitor pergerakan harga komoditas pangan agar dapat segera melakukan antisipasi apabila terjadi lonjakan harga, serta menjaga rantai pasok terutama komoditas pangan. 

Pemerintah pusat melalui TPIP-TPID akan terus memperkuat koordinasi maupun sinergi program kebijakan untuk stabilisasi harga dan melakukan perluasan kerja sama antar daerah (KAD), terutama untuk daerah surplus/defisit dalam menjaga ketersediaan suplai komoditas.

"Seiring upaya TPIP dan TPID dalam melakukan extra effort pengendalian inflasi, kita akan terus menekan inflasi volatile food agar dapat mencapai komitmen awal pada HLM TPIP Maret lalu yang sebesar 3%-5%,"  kata Airlangga yang juga Ketum Partai Golkar. 

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menambahkan, sektor pangan sangat menentukan pengendalian inflasi. Berlaku demikian karena pada umumnya inflasi daerah dipicu oleh kurangnya ketersediaan pangan.

Untuk mengendalikan inflasi, kata dia, perluasan Kerjasaama Antar Daerah dan optimasilisasi sektor distribusi sangat penting dilakukan. Meski demikian, tidak semua daerah punya kapasitas produksi pangan yang mumpuni.

"Masalahnya transaksi pangan antara daerah penghasil dengan daerah-daerah yang bukan penghasil ini masih terbatas, baik karena jauhnya jarak, maupun terbatasnya jumlah pedagang antar daerah dan antar pulau yang menjadi faktor pengungkit transaksi antar daerah," jelas Eko.

Indef menyarankan daerah yang punya kemampuan produksi pangan baik mampu memaksimalkan produksi pangan seperti daerah berprestasi yang mendapat hadiah dari pemerintah pusat. Hal itu dinilai akan mampu membantu pemerintah daerah menurunkan angka inflasi di daerahnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES