Kopi TIMES

Eksistensi Pesantren di Tengah Peliknya Persoalan

Jumat, 23 September 2022 - 17:21 | 45.53k
Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA). Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura.
Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA). Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dunia pesantren terguncang. Kasus meninggalnya santri AM (17) di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo pada 22 Agustus lalu mencuat ke permukaan setelah ibu korban meminta pengacara kondang Hotman Paris Hutapea memviralkan kasus ini.  Kematian korban akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh sesama santri.

Tulisan ini tidak bermaksud mengeraskan tombol volume di tengah bisingnya keributan tentang kasus pesantren. Sangat disadari, sampai detik ini pesantren masih menjadi tonggak utama dalam mencetak manusia yang berakhlak mulia meski di tengah terjangan teknologi dan globalisasi yang meluluhlantakkan nilai-nilai moral. Pesantren adalah cikal-bakal generasi-generasi tangguh yang tidak hanya mengedepankan IPTEK akan tetapi juga IMTAQ. Terbukti, alumni-alumni pesantren kerap menjadi agen pembangunan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.   

Dalam kacamata historis, sumbangsih pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata. Pesantren selalu menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia dari penindasan para kolonial. Bahkan, para pendahulu (santri dan kiyai) Pesantren Modern Darussalam Gontor yang saat ini sedang tersandung kasus di atas, ikut serta dalam perjuangan melawan pemberontakan PKI pada tahun 1948 dan 1965. Pesantren adalah tulang punggung (back bone) bagi dunia pendidikan islam.  

Kaitannya dengan kasus di atas, akankah kontribusi pesantren tiba-tiba lenyap tak dianggap lantaran satu kasus yang mencederainya? Apakah benar karena nila, rusaklah susu sebelanga?

Banyak pihak beropini bahwa ini adalah fenomena gunung es yang hanya menampilkan hancurnya kapal Titanic di depan publik, seolah masih banyak problema serupa yang masih mengendap di dasar lautan. Terlalu dini jika mengklaim bahwa pesantren mengajarkan tindak kekerasan. Mengeneralisasi suatu kasus hanya mengandalkan hipotesa bukan hal yang bijak. Padahal, problema yang menimpa pesantren juga bisa terjadi di lembaga lain.  

Namun demikian, pesantren bukan lembaga pendidikan yang paripurna. Dalam perjalanannya pesantren akan menginjak kerikil tajam yang dapat menggoyahkan marwahnya. Kasus di awal paragraf tadi adalah salah satu contoh kerikil yang harus dihadapi oleh pesantren. Menyingkirkan kerikil tersebut perlu pembenahan dan evaluasi dari segala sisi sehingga pesantren tidak mudah digoyang oleh pihak yang antipati terhadap pesantren. 

Tidak dapat dinafikkan bahwa di tengah keterbukaan informasi saat ini permasalahan yang terjadi di pesantren mudah muncul ke permukaan publik seperti perundungan, pelecehan seksual, dan tindak kekerasan. Menghadapi tantangan yang cukup kompleks ini pesantren tidak hanya berpangku tangan sehingga ketinggalan pesawat, akan tetapi pesantren harus terus berbenah. 

Berbenah

Dalam proses pembenahan di lingkup pesantren, penulis hanya akan memaparkan tiga pendekatan. Pertama, kultur senioritas yang biasanya disebut mudabbir (pengurus) harus tetap berada di bawah pengawasan para ustad dan kiyai. Santri senior diangkat menjadi pengurus yang akan mengawasi dan mengontrol kehidupan santri junior mulai dari kegiatan ibadah, olahraga, belajar, bahkan waktu tidur. Para pengurus ini yang akan mengawasi santri junior jika mereka melakukan pelanggaran. 

Budaya semacam ini merupakan tren positif di pesantren. Para pengurus ditempa untuk solutif meski secara usia bisa dibilang cukup belia. Segala macam pelanggaran yang akan dilakukan santri bisa terkendali dengan adanya peran para pengurus yang selalu standby mengawasi santri. Tak ayal, para alumni pesantren memilik jiwa tangguh ketika harus terjun ke masyarakat karena berbekal pengalaman mengurus santri selama di pesantren. 

Namun, kadangkala otoritas yang diberikan pesantren terhadap pengurus disalahgunakan, dijadikan kesempatan aji mumpung bagi sebagian oknum mudabbir untuk mempermainkan adik-adik kelas. Nah, ketika tindakan menyimpang seperti kekerasan baik berupa verbal maupun fisik dilakukan oleh pengurus kepada santri junior, maka akan terjadi pola yang berulang dan berkelindan. Dalam artian, santri junior yang menjadi korban kekerasan akan membalas dendam jika kelak mereka menjadi pengurus. Ini yang tidak boleh diabaikan.  

Mudabbir yang secara psikologis masih memiliki jiwa yang rentan, riskan melakukan tindakan yang bersebarangan dengan ajaran pesantren. Maka dari itu, pengurus tidak hanya dibekali dengan segepok teori organisasi dan kepemimpinan, akan tetapi harus diberikan pembinaan dan pelatihan dalam membimbing adik-adik junior. Pembinaan ini dapat dilakukan secara berkala oleh ustad senior, kiyai atau para ahli sehingga pengurus tetap ter-update kejiwaanya dalam membimbing dan membina santri. 

Kedua, pendekatan pendidikan yang seimbang. Menurut Imam Shamsi Ali keseimbangan di sini meliputi ranah dogmatis (imani) dan rasionalitas (aqli). Pendidikan pesantren kerap kali lebih menitikberatkan pendidikan pada pemahaman imani yang kurang diimbangi dengan pemahanan aqli. Ketimpangan semacam ini riskan menelurkan efek esktrem, yaitu santri bersikap saklek (dogmatis) dalam beragama sehingga sulit menerima keberagaman. Hal ini riskan memicu ketegangan dan konflik. 

Keseimbangan lain adalah pemahaman terkait adab dalam menuntut ilmu. Salah satu adab menuntut ilmu adalah memuliakan guru (suhbatul ustad). Menghormati guru adalah sebuah keniscayaan. Hanya saja, mengikuti guru tanpa reservasi merupakan tindakan yang kurang dibenarkan. Jangan sampai nasihat Imam Ghazali “Murid di depan gurunya dalah mayat” membentuk sebuah cara pandang bahwa seolah guru atau kiyai terlepas dari benar dan salah. Sehingga apa yang dilakukan guru meski menyimpang dianggap suatu kebenaran. Paradigma semacam ini mendesak untuk diluruskan. 

Ketiga, keterbukaan. Pesantren harus bersikap terbuka jika terdapat masukan dan kritik membangun dari pihak yang kompeten. Keterbukaan pesantren terhadap dunia luar tidak akan mereduksi independensi pesantren. Masukan dari wali santri, alumni, pihak kesehatan, pakar, psikolog, BNN, dan lembaga lain dapat menjadi bahan evaluasi demi perbaikan pesantren. 

Pesantren tidak boleh gengsi melibatkan pihak luar untuk mengatasi permasalahan yang terjadi jika itu dibutuhkan. Keterlibatan pihak luar tidak akan meruntuhkan harga diri dan martabat pesantren. Pesantren tidak boleh mengklaim sebagai lembaga pendidikan yang sempurna sehingga bersifat tertutup. Apalagi beranggapan bahwa masalah internal pesantren tidak boleh diintervensi pihak lain. 

Hilangnya nyawa santri tidak dapat ditoleransi dan jangan terulang kembali, oleh karena itu tiga pendekatan di atas menjadi modal untuk meminimalisir perilaku menyimpang di kalangan pesantren. Dengan demikian, pesantren akan tetap eksis dengan sifatnya yang humanistis, sarat dengan nilai-nilai moral yang menjujung tinggi aspek kemanusiaan.  

***

*) Oleh: Nurul Yaqin, Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA). Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES