Peristiwa Daerah

Kemasyhuran Arca Joko Dolog, Raja Thailand Bahkan Datang Demi Ritual Khusus

Jumat, 23 September 2022 - 01:22 | 108.66k
Foto : Joglo megah tempat Arca Joko Dolog di Surabaya, Kamis (22/9/2022).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Foto : Joglo megah tempat Arca Joko Dolog di Surabaya, Kamis (22/9/2022).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Tiga pohon beringin besar tegak berdiri memayungi Arca Joko Dolog. Berkali-kali dedaunan gugur tersapu angin. Nampak pria paruh baya dengan sabar menyapu dan membersihkan area arca seluas 23 kali 17 meter tersebut. Pagar besi hijau melingkari.

Ia sangat berhati-hati karena kanan kiri terdapat patung-patung kecil penjaga. Bagian pintu gerbang kokoh menyambut sepasang Patung Singo Barong. Agak masuk ke dalam, terdapat Patung Lingga Yoni sebagai perwujudan Marwati dan Maha Dewa. 

Selebihnya tertata presisi Patung Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, arca anjing atau arca prajurit. Ada juga arca kepala naga, patung dayang-dayang perempuan, tiga Patung Ganesha, patung mahkota dan sepasang relief bunga teratai. 

Sementara di area paling sakral menuju joglo, terdapat dua patung penjaga bernama Dwarapala. Patung ini biasanya merupakan penjaga pintu gerbang masuk candi. Seolah menjaga tempat persemayaman Arca Joko Dolog. Enam helai daun pohon beringin jatuh di lantai joglo.

Juru-kunci-Arca-Joko-Dolog-Pak-Sugianto.jpgJuru kunci Arca Joko Dolog, Pak Sugianto atau Pak To menunjukkan lokasi arca, Kamis (22/9/2022).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)

Pria itu terus menyapu, sesekali duduk sejenak. Ia bernama Sugianto. Orang-orang memanggilnya Pak To atau Mbah To. Dia merupakan juru kunci Arca Joko Dolog sejak tahun 1978 sampai sekarang. 

Pak To bercerita, bagaimana arca berwarna hitam legam berkilau itu sampai di Surabaya. Letaknya memang unik karena berada di tengah kota. Tepatnya seberang Gedung Negara Grahadi atau Area Taman Apsari. 

Arca Joko Dolog merupakan perwujudan Raja Kertanegara, Raja Singhasari yang terakhir. Ia adalah cucu dari Ken Dedes dan Tunggul Ametung. 

Berdasarkan silsilah, Ken Dedes dan Tunggul Ametung memiliki anak bernama Anusapati. Kemudian Anusapati memiliki anak Ranggawuni yang mendapat gelar Raja Wisnu Wardhana. Wisnu Wardhana kemudian memiliki anak bernama Kertanegara. 

Menurut sejarah, Raja Kertanegara menjadi pemimpin Kerajaan Gelang-gelang Madiun pada tahun 1254-1269. Raja bawahan di bawah Kerajaan Singhasari. 

Setelah Raja Wisnu Wardhana meninggal, Raja Kertanegara menggantikan ayahnya menjadi raja besar di Singhasari pada tahun 1269-1293.

Kepemimpinan Raja Kertanegara diteruskan oleh Raden Wijaya yang mendirikan Kerajaan Majapahit pertama dan menikahi empat anak perempuan Kertanegara. Tribhuwana Tunggal Dewi, Nalendra Juwita, Prajna Paramita dan Gayatri. 

Karena kemasyhuran Kertanegara, Mpu Barada kemudian membuat monumen patung dengan tinggi 1,6 meter, lebar 1 meter dan panjang 1 meter. Arca Joko Dolog sekaligus merupakan gambaran sosok Raja Kertanegara sebagai pengikut ajaran Budha Tantrayana.

"Arca Joko Dolog merupakan maha karya Mpu Barada pada tahun 1289. Seorang resi terkemuka. Ia juga merupakan pembuat Arca Airlangga," tutur Pak To, Kamis (22/9/2022). 

Menurut asal usul keberadaan, Arca Joko Dolog ditemukan di Desa Kandang Gajah Trowulan Kabupaten Mojokerto pada tahun 1812. Keterangan versi pertama, arca ini berasal dari Candi Jawi Malang atau Nganjuk. 

"Karena yang tahu itu orang-orang Majapahit. Karena yang membawa ke Trowulan itu orang-orang Majapahit waktu zaman Kerajaan Majapahit," tambahnya.

Arca ini tertanam dalam tanah di bawah tumpukan gelondongan kayu jati atau kayu dolog. Orang Belanda menyebutnya kayu dolken. 

"Makanya disebut Patung Dolog. Sebetulnya Patung Dolog, bukan Joko Dolog. Njogo Dolog aslinya, karena lidah orang Jawa jadi dipaskan Joko Dolog," kisahnya. 

Pada tahun 1817, Belanda memboyong Arca Joko Dolog ke Surabaya. Kemudian ditempatkan di Museum Von Faber di sebelah Grahadi. 

Pada tahun 1950-an, Museum Von Faber diubah menjadi SMA Trimurti. Sementara seluruh benda bersejarah dipindahkan ke Museum Von Faber yang baru dan kemudian dikenal sebagai Museum Mpu Tantular Wonokromo. Namun Arca Joko Dolog tidak ikut serta.

Patung ini sengaja ditempatkan di bawah pohon beringin seberang gedung bekas museum. Konon lahan tersebut merupakan tempat keramat yang dikenal juga sebagai tempat Mbah Simpang Jaengan. 

Sosok Mbah Simpang Jaengan juga dikenal gaib dan misterius. Menurut RW setempat, ia pernah melihat pria berjubah putih dan berkuda putih keluar dari tempat itu ke arah Grahadi lalu kembali lagi ke tempat semula. Kisah itu kerap terjadi pada malam Jumat legi. 

Petilasan Mbah Simpang Jaengan dahulunya berupa gundukan tanah seperti makam tanpa nisan. Berdasarkan keterangan juru kunci secara turun temurun, gundukan tanah tersebut tidak bisa diratakan. Setiap kali diratakan, kembali dalam bentuk asal gundukan tiga hari setelahnya. Kekeramatan itu menjadi pertimbangan untuk tempat baru Arca Joko Dolog. 

"Akhirnya patung itu ditempatkan di gundukan tersebut dengan pondasi bebatuan. Sehingga sampai saat ini dinamakan Mbah Jogo Dolog," ucap Pak To. 

Pada awalnya, posisi arca menghadap arah timur laut tanpa pelindung. Hanya pohon beringin besar menaungi. Saat itu yang menjadi juru kunci bernama Mbah Sunarjo. 

Joglo-megah-a.jpgArea arca seluas 23 kali 17 meter penuh dengan patung peninggalan Kerajaan Majapahit, Kamis (22/9/2022).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)

Pada masa itu pula, ada seorang pengunjung bernadzar jika keinginannya tercapai, maka akan merenovasi area Arca Joko Dolog dengan membangun pondasi sebagai tempat khusus. Karena saat itu jika hujan, air tergenang dan membanjiri sekeliling arca. 

"Jadi airnya menggenangi sampai dada patung dan bunganya hanyut semua," ungkap dia. 

Bisa dibilang, area arca dulunya tidak terawat, karena nadzar sejumlah orang akhirnya perlahan menjadi sebuah bangunan pondasi dengan susunan paving lebih rapi. 

Magnet Para Biksu

Arca Joko Dolog berwarna hitam legam, berasal dari batuan alam pilihan berkilau. Di kening tengah arca terdapat bubuk emas tempel pemberian seorang pengusaha Cina. Arca Joko Dolog juga memakai selendang berwarna emas. 

Demikian pula payung-payung merupakan pemberian pengunjung. Sementara kain yang membungkus pepohonan beringin adalah pemberian peziarah dari Pulau Dewata Bali. 

Karena di Area Arca Joko Dolog, juga ada sejumlah patung lain yang ditemukan pada masa Majapahit atau era Hindu. 

Arca Joko Dolog telah menjadi magnet bagi peziarah sejak dahulu kala. Bahkan sejak juru kunci pertama.

Mulai Mbah Siti, Mbah Loso, Mbah Seger, Mbah Luru, Mbah Sunarjo, Mbah Sidi, dan Pak To sebagai juru kunci ke-7. Ada juga juru kunci kedelapan bernama Pak Handoko. Namun Pak Handoko sudah tidak berada di tempat ini.

Arca ini menjadi magnet bagi para peziarah berbagai latar belakang agama termasuk tempat berkumpul para pegiat budaya. 

Bahkan peziarah datang dari berbagai negara. Para biksu Thailand dan Tibet. Mereka datang memakai jubah kuning. Mereka kemungkinan mengetahui lokasi ini dari para guru sebelumnya. 

"Kalau dari Tibet yang datang orang-orang Biksu Buddha, kalau Thailand campur," ucapnya. 

Pada tahun 1990-an, Raja Thailand bahkan datang khusus untuk ziarah. Ia datang dengan kawalan Polisi Militer hingga memenuhi depan gerbang. 

"Ingat saya kalau nggak 1995 atau 1996. Joglo ini belum dibangun, masih di tanah di bawah pohon beringin," ungkap Pak To. 

Karena area ini menggambarkan peradaban Hindu Buddha, banyak juga orang India datang ke sini. Namun yang membedakan adalah proses sembahyang. Mereka akan memberikan persembahan terlebih dulu kepada lingga yoni.

Sementara rata-rata peziarah lokal datang setiap malam Jumat. Rombongan kadang berjumlah 20-30 orang. 

"Malam jumat pokoknya nggak hujan, ramai di sini," kata Pak To.

Kadang mereka betah sampai dini hari. Ada Pak Arifin yang berjualan kopi di area tersebut. Karena Pak To harus pulang ke rumah setiap pukul lima sore.

Biasanya pengunjung datang untuk berziarah. Karena dianggap sebagai leluhur orang Jawa. 

Bahkan ada yang membaca Surat Yasin Tahlil. Rombongan itu dari Ampel. Ramai tiap Jumat Legi, Jumat Kliwon, Jumat Pahing, Jumat Wage. Juga malam Kamis Legi biasanya rombongan dari Kediri, Gresik dan Krian. Terutama pada Bulan Suro. Rata-rata aliran Kejawen.

"Jadi macam-macam agama yang ke sini, ada Islam, Katolik, Hindu, Budha juga kejawen," ujarnya. 

Pak To mengatakan hanya ada satu pantangan bagi peziarah. 

"Kalau mau naik ke atas umpama mau sembahyang, mau nyekar kalau ada ketamuan (haid) nggak boleh. Tapi kalau mau duduk-duduk aja nggak apa-apa. Itu ceritanya mbah dulu, mbah mewariskan saya begitu, " ucapnya. 

Pengunjung biasanya selalu bertanya dulu sebelum naik ke joglo. Sedangkan aturan pemerintah, dilarang mencoret atau merusak patung. 

"Kalau merokok bebas asal menjaga kebersihan," katanya. 

Kisah Mistis 

Selama menjadi juru kunci, Pak To hanya sesekali mengalami kejadian mistis atau gaib. Itupun sudah lama sekitar tahun 1980-an. 

Saat itu Arca Joko Dolog hanya dipayungi lima pohon beringin dan sebatang pohon mangga. Pohon beringin itu kemungkinan telah berusia ratusan tahun. Sejak 1952 pohon itu sudah kokoh berdiri. Namun satu pohon beringin masih kecil. Suasana sangat rimbun. 

"Tahun 1990 ke bawah itu sering ditemui barang-barang gitu. Tapi bentuknya ya nggak macam-macam, bentuknya ya manusia, kalau perempuan pakai kebaya ijo ada yang kebaya kuning. Ada yang pakai kemben gitu ya. Kalau ketemu rajanya ya pakai mahkota. Itu di bawah tahun 1990. Di atas itu uda nggak pernah," kisahnya. 

Kejadian mistis itu tak lagi ia jumpai sejak Arca Joko Dolog menempati joglo megah. 

Pak To mengatakan, arca ini belum pernah dipindah. Memang pernah ada rencana memindahkan patung ini ke Malang atau Trowulan pada masa Gubernur Soelarso. Namun tidak jadi. 

Kepuasan Batin 

Tugas Pak To sehari-hari membersihkan area arca. Dedaunan gugur berkali karena tertiup angin. Namun ia merasakan kepuasan batin. 

Pria kelahiran tahun Agustus 1956 ini mendapat honor dari dinas pariwisata sejumlah Rp750 ribu setiap bulan dengan jam kerja pukul sembilan pagi sampai pukul lima sore untuk menjaga arca di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan BPCB Jatim tersebut. 

"Ya senang, duduk-duduk, bersih-bersih. Jadi ada kesibukan," ujarnya. 

Namun demikian, Pak To mengaku belum ada anggaran untuk perawatan dari pemerintah setempat. Rata-rata pembangunan merupakan sumbangan pengunjung. Memang, wali kota yang lama pernah beberapa kali datang. Tapi ia mengaku Wali Kota Eri belum sempat datang ke tempat ini. 

"Paving ini juga pengunjung," ujarnya seraya menyebutkan nama-nama sejumlah pengusaha. 

Joglo dibangun oleh pemilik Marina Budi Said. Tinggi joglo sekitar 80 sentimeter dengan lebar 6 meter dan panjang 4 meter. 

Paving oleh pemilik Dealer Toyota Gresik Ping Wi. Paving jalanan oleh Purnomo, anggota purnawirawan polisi bintang dua. Ada juga pemilik pabrik minyak goreng Dorang.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES