Kopi TIMES

Bureaucratic Corruption: Mengapa Masih Eksis Hingga Kini?

Rabu, 21 September 2022 - 05:22 | 103.43k
Akbar Faris Rama Hunafa, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.
Akbar Faris Rama Hunafa, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Berbicara mengenai korupsi selalu menarik untuk diperbincangkan karena korupsi menyangkut uang rakyat atau harta negara yang harus digunakan sesuai kebutuhan rakyat atau sesuai peraturan perundang-undangan yang telah dibuat.

Korupsi sendiri berasal dari kata corruptus yang memiliki arti perubahan perilaku dari baik menjadi buruk. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa yang penanganannya harus luar biasa melalui Pengadilan khusus, dengan hakim yang dilatih khusus dan hukuman yang lebih berat.

Pada tahun 2005, Organisasi non-pemerintah yakni Transparancy Internasional pernah menyampaikan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai 10 sangat bersih) pada saat itu Indonesia menduduki urutan ke 137 dari 159 negara yang disurvei.

Hingga kini fenomena kejahatan berdasi atau kerah putih yang terjadi di Indonesia masih menjadi permasalahan yang sangat serius. Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah belum dapat menyelesaikan persoalan ini. Hal itu dibuktikan oleh data yang dirilis oleh Transparancy International Indonesia (TII), bahwa IPK Indonesia pada tahun 2016 mendapatkan skor 37, urutan ke 90 dari 176 negara, IPK tahun 2017 ialah 37, urutan ke 96 dari 180 negara, pada tahun 2018 mendapatkan skor 38, urutan ke 89 dari 180 negara, selanjutnya pada tahun 2019 dengan skor 40, urutan ke 85 dari 180 negara, tahun 2020 mendapatkan skor 37 dengan urutan ke 102 dari 180 negara dan IPK pada tahun 2021 dengan skor 38 dengan urutan ke 96.

Lebih lanjut berdasarkan informasi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2021 dikemukakan bahwa terdapat 533 kasus korupsi yang ditangani oleh instansi penegak hukum dengan tersangka sebanyak 1.173 orang dan nilai kerugian negara sebesar Rp 29, 438 Triliun.

Dari 533 kasus tersebut, sebanyak 133 kasus merupakan penyalahgunaan anggaran, 109 kegiatan/proyek fiktif, sebanyak 79 penggelapan dan sisanya diterangkan oleh modus-modus lainnya. Hal ini menunjukkan gejala bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan negara yang terjadi di lingkungan birokrasi, lantas mengapa ini terus terjadi dan masih eksis hingga kini?

Korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi  dan pelakunya para birokrat atau pegawai negeri itulah yang disebut Bureaucratic Corruption. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menuturkan bahwa ada tiga hal penyebab kasus korupsi masih terus terjadi dilingkungan birokrasi. Pertama, masih adanya sistem yang membuka celah terjadinya tindakan korupsi, seperti sistem yang masih menggunakan kontak fisik, alur yang berbelit, dan regulasi yang terlalu panjang. Kedua, terkait dengan kurangnya integritas yang dimiliki individu. Ketiga, terkait dengan budaya (culture) tidak jarang dilapangan ditemukan bahwa praktik yang salah sering dianggap benar karena banyak yang melakukannya.

Pada intinya korupsi dalam pemerintahan adalah fenomena yang sangat kompleks yang harus diatasi dengan berbagai cara, beberapa diantaranya jangka panjang, jangka menengah dan beberapa diantaranya praktis dan dapat langsung terlihat memengaruhi. Tidak ada penyebab tunggal korupsi juga tidak ada dua atau tiga penyebab tunggal. Namun jika legislatif yang kuat dan sarana administratif yang mendukung serta pemimpin yang berbudi luhur, maka suatu bangsa dapat mengharapkan untuk mengalami tingkat kejujuran yang tinggi dalam birokrasi.

Tindakan konkretnya untuk dapat mengatasi perilaku korupsi di lingkungan birokrasi ialah, pertama memperkuat peran kepala satuan kerja (Satker) dan jajarannya dalam hal pengelolaan anggaran, kedua memprioritaskan dan melakukan akselerasi reformasi birokrasi agar birokrat yang menempati posisi strategis dapat menggunakan wewenang pengelolaan anggaran secara lebih baik, memperkuat sinergi antara penegak hukum dalam kaitannya pemberantasan korupsi dan keempat, Pemerintah dan DPR segera memprioritaskan agenda pemberantasan korupsi dengan segera mengesahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai atau Uang Kartal.

***

*) Oleh: Akbar Faris Rama Hunafa, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES