Kopi TIMES

Menilik RUU Sisdiknas

Selasa, 20 September 2022 - 08:35 | 43.00k
Eri Hendro Kusuma, Guru di SMPN Satu Atap Pesanggrahan 2 Batu, Sekretaris MD KAHMI Kota Batu.
Eri Hendro Kusuma, Guru di SMPN Satu Atap Pesanggrahan 2 Batu, Sekretaris MD KAHMI Kota Batu.

TIMESINDONESIA, BATU – Sesaat setelah pemerintah secara resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) kepada DPR RI dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2022, banyak sekali pegiat pendidikan yang langsung menyampaikan pandangannya.

Sejak awal munculnya draft RUU Sisdiknas ini, sebenarnya sudah menuai pro dan kontra di masyarakat. Kebanyakan yang mengkritisi RUU Sisdiknas ini menganggap jika belum sepenuhnya memuat substansi dari tiga Undang-Undang tentang pendidikan yang akan dicabut, yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Periodisasi Kurikulum

Stigma "ganti menteri ganti kurikulum" seharusnya menjadi salah satu perhatian utama pemerintah dalam menyusun RUU Sisdiknas ini. Penerapan kurikulum yang berbeda antar satuan pendidikan pada beberapa tahun belakangan ini berdampak pada kesenjangan kompetensi yang dimiliki pelajar. Hal ini terbukti dari hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 yang disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim pada saat peluncuran episode merdeka belajar ke-19 awal bulan April yang lalu. Mendikbudristek menyampaikan jika hasil AN menunjukkan kesenjangan kompetensi antara sekolah di pulau jawa dengan sekolah di luar pulau jawa. 

Memasukkan periodisasi perubahan kurikulum pada RUU sisdiknas, sudah selayaknya menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk menjamin kualitas mutu pendidikan nasional secara merata. Jangan sampai anak-anak generasi penerus bangsa menjadi korban dari kebijakan yang mengutamakan kepentingan sesaat.

Perubahan kurikulum secara berkala memang sangat diperlukan sebagai bentuk adaptasi dengan perubahan zaman. Akan tetapi, perubahannya harus dilakukan melalui periodisasi yang jelas dan sistematis. Misalnya perubahan kurikulum itu dilakukan selama 10 tahun sekali. Sehingga guru sebagai pelaksana kurikulum tidak kebingungan dan pelajar juga bisa mencapai kompetensi yang diharapkan secara optimal.  

Hilangnya Mapel Bahasa Inggris

Berbeda dengan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat "bahasa", maka pada pasal 81 ayat (1)  RUU Sisdiknas kali ini secara tegas berbunyi "Bahasa Indonesia" dan tidak ada poin lain yang berbunyi bahasa asing. Hal ini menunjukkan bahwa mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah akan dihapus.

Secara spontan pasti muncul pertanyaan tentang bagaimana nasib teman-teman guru Bahasa Inggris. Tapi bukan sekedar itu saja yang perlu dikaji bersama. Salah satu dimensi profil pelajar Pancasila adalah berkebhinekaan global. Salah satu yang menjadi capaian pada dimensi itu adalah pelajar memiliki kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama. 

Untuk mencapai kemampuan komunikasi itu, perlu kiranya pelajar dibekali dengan kemampuan berbahasa asing. Mata pelajaran bahasa asing memang lebih baik tidak ditentukan secara tegas berbunyi "bahasa inggris", melainkan cukup dengan kata "bahasa asing", sehingga bisa disesuaikan dengan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Satuan pendidikan dapat memilih menerapkan Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Mandarin, atau bahasa asing lain yang sesuai kebutuhan pelajar.

Kesejahteraan Guru

Pasal 105 ayat (1) RUU Sisdiknas menyatakan bahwa "pendidik berhak memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Sesuai dengan penjelasan pada  RUU Sisdiknas tersebut, bahwa guru dan dosen ASN berhak mendapat penghasilan yang layak sesuai dengan Undang-Undang ASN, sedangkan guru lainnya berhak mendapat penghasilan yang layak sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan.  

Tentu ini adalah kabar gembira bagi guru-guru di sekolah swasta. Akan tetapi apakah sekolah swasta siap dengan pemberian upah sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan?. Selama ini, banyak sekolah swasta yang hanya mengandalkan dana dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Guru digaji seadanya sehingga hanya bergantung pada tunjangan sertifikasi. Saat memperoleh tunjangan sertifikasi pun terkadang masih dipotong untuk membantu pengembangan sekolah. 

Apalagi jika mencermati pasal 146 ayat (2) RUU Sisdiknas yang berbunyi,  "setiap guru dan dosen selain guru dan dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima besaran penghasilan /pengupahan paling sedikit sama dengan penghasilan/pengupahan yang diterima saat undang-undang ini diundangkan sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Artinya bagi guru baru yang diangkat setelah RUU ini disahkan menjadi undang-undang, maka menurut pasal tersebut mereka tidak memperoleh tunjangan sertifikasi guru. Tentu hal tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi sekolah swasta dan guru-gurunya. 
 
Pasal itu juga akan menjadi problematika ketersediaan profesi guru di masa mendatang. Para pelajar kemungkinan enggan melanjutkan ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Guru akan dianggap oleh generasi milenial sebagai profesi yang kurang menjanjikan. Apalagi pelajar yang memiliki kecerdasan khusus, sudah pasti tidak akan memilih profesi guru untuk masa depannya. 

Meskipun demikian, bagi guru yang saat ini telah menerima tunjangan profesi masih bisa bernafas lega karena pasal 146 ayat (1) menyatakan bahwa, "setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebelum Undang-Undang ini diundangkan, tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". 

Adanya pasal 146 ayat (1) dan (2) ini sebenarnya memberikan gambaran tentang penghapusan tunjangan profesi guru. Agar tidak terjadi polemik, maka tunjangan profesi guru tidak akan dihapus untuk guru-guru yang saat ini memperoleh tunjangan sertifikasi, karena sudah pasti jika itu dilakukan maka gelombang protes akan terjadi. Sehingga menghentikan tunjangan sertifikasi untuk "guru masa datang" menjadi pilihan.

Memang menjadi guru adalah pengabdian, akan tetapi guru juga manusia biasa yang berkewajiban memenuhi kebutuhan. Sebaik apapun kurikulum yang tertulis, tidak akan bermakna ketika tidak ada kurikulum yang hidup. Kurikulum yang hidup itu adalah guru. Jika guru mengajar tapi masih memikirkan tentang apa yang dimakan, jangan harap kualitas pendidikan akan berkualitas baik. Oleh sebab itu, tunjangan profesi guru masih harus tetap ada, agar anak bangsa yang memiliki kompetensi unggul banyak tertarik memilih profesi guru.

***

*) Oleh: Eri Hendro Kusuma, Guru di SMPN Satu Atap Pesanggrahan 2 Batu, Sekretaris MD KAHMI Kota Batu.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES