Kopi TIMES

Melihat HIV AIDS dari Kaca Mata Ushul al-Fiqh dan Maqashid al-Syariah

Minggu, 18 September 2022 - 19:38 | 46.57k
Zanuar Mubin, S.M.,M.EMuhadir/Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.
Zanuar Mubin, S.M.,M.EMuhadir/Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.

TIMESINDONESIA, PACITAN – Sampai detik ini, HIV AIDS merupakan wabah yang sangat berbahaya bagi manusia. Tidak lain penyebabnya adalah perilaku manusia itu sendiri sehingga menjadikan virus tersebut merenggut masa depan hingga nyawa.

Tidak hanya Negara, Agama Islam melarang keras pergaulan bebas yang mengakibatkan rusaknya generasi bangsa. Penyakit ini sesungguhnya tidak akan merebak jika kita memahami dan mengamalkan hukum-hukum Islam dengan baik dan benar.

Dalam al-Quran Surah al-Isra' ayat 32, sangatlah jelas bahwa perbuatan zina (seks bebas) dilarang oleh Allah SWT :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk". Dan banyak ayat dan hadits yang menjelaskan betapa besar konsekuensi bahaya zina.

Dalam pandangan kajian Ushul al-Fiqih disebutkan bahwa: "Pada dasarnya, suatu larangan adalah menunjukkan keharaman terhadap suatu perbuatan". Apabila ada kata larangan yang tidak diikuti qarinah, akal dapat mengerti keharusan yang diminta larangan tersebut yakni menjauhi dengan sungguh-sungguh, karena hal tersebut merupakan kebaikan/ kemaslahatan bagi manusia.

Begitupun dalam perkembangan Hukum Islam, melalui konsep Maqashid al-Syariah terdapat lima aspek yang harus dijaga di dalam kehidupan. Aspek pertama yakni; hifdz al-Din (menjaga agama), yang ke dua; hifdz al-nafs (menjaga jiwa/nyawa), ketiga; hifdz al-aql (menjaga akal), ke empat; hifdz al-nasl (menjaga keturunan) dan terakhir; hifdz al-maal (menjaga harta).

Dalam kasus HIV-AIDS, menjaga diri (hifdz al-nafs) agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan kesehatan dan kehidupan wajib dilakukan, juga dalam hal menjaga kelestarian keturunan (hifdz al-nasl) dengan jalan pernikahan adalah suatu keharusan secara mutlak dilakukan oleh seluruh umat manusia.

Melalui pernikahan yang sah secara Agama dan Negara akan mengurangi angka pergaulan bebas, dan seiring akan mengurangi korban keganasan HIV AIDS. Tindakan-tindakan preventif yang dilakukan oleh negara melalui penegakan undang-undang tentang larangan berbagai macam bentuk prostitusi adalah keharusan, begitupun tindakan preventif terhadap diri sendiri, keluarga dan lingkungan dapat dilakukan dengan pemerhatian terhadap pendidikan Agama.

Perkawinan merupakan hal yang memuat paling tidak tiga hal dari maqâshid al-syariah, yaitu memelihara agama (hifz al-Din), keturunan (hifz al-Nasl) dan jiwa (hifz al-Nafs).

Perkawinan dapat dikatakan memelihara agama dilihat dari sisi bahwa disamping kebutuhan dan fitrah manusia, perkawinan juga merupakan ibadah serta dalam rangka menjaga individu dari kemaksiatan, zina dan tindak asusila yang diharamkan.

Lebih jauh perkawinan dianggap sebagai setengah dari agama (nisfu ad-dîn), sehingga mereka yang telah berumah tangga dipandang telah sempurna agamanya.

Perkawinan adalah jenis kemaslahatan yang diresitir oleh syariat sebagai pemenuhan kebutuhan biologis. Akan tetapi bagaimana jika kemaslahatan yang diharapkan timbul pada saat yang bersamaan juga menimbulkan mudharat bagi orang lain.

Sehubungan dengan perbuatan yang memuat kemaslahatan dan kemudharatan, terdapat kaidah yang dapat digunakan sebagai analogi di antaranya:

  درء المفاسد أولى من جلب المصالح

Artinya : "Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari mendatangkan kebaikan,"

Kita sepakat bahwa menikah memiliki kemaslahatan baik dari sisi agama atau ditinjau dari segi biologis manusia itu sendiri. Pernikahan idealnya akan melahirkan kebaikan jika memang dipenuhi segala aspek yang mendukung dan mampu memelihara ara apa yang menjadi maksud dan tujuan pernikahan. Tetapi tidak menutup kemungkinan dari sekian banyak bentuk dan jenis pernikahan terdapat pernikahan yang memiliki tujuan dan niat tertentu, bahkan dimungkinkan niat itu didasari dengan tujuan yang tidak baik, sehingga melahirkan kemudaratan.

Perkawinan yang mencakup tujuan syariat yang benar dan tepat akan melahirkan satu kehidupan yang dipenuhi dengan mawaddah dan rahmah. Hal-hal ini jika kita lihat merupakan dasar dan motivasi agama menganjurkan perkawinan. Perkawinan yang terjadi dan tidak didasari atas maqashid al-syariah dan motif keagamaan akan meninggalkan pertanyaan.

Maslahat di dunia tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: dharuriyat, hajiyat dan takmilat atau tatimmat. Bahkan, taklif atas perintah syariat harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia. Begitu pula di akhirat.

Syari’at Islam datang sebagai rahmat bagi umat manusia, memberikan nasehat bahkan penyembuh segala penyakit yang terdapat di dalam hati, karena itu Islam dalam bentuk praktik hukum-hukumnya bisa dilihat dari segi: pertama, sebagai pendidikan secara individu untuk mampu menciptakan kebaikan secara kolektif; kedua, untuk melaksanakan keadilan dalam kehidupan masyarakat Islam secara keseluruhan yang nantinya kedudukan manusia sama di depan undang-undang dan putusan.

Sehingga tidak dibedakan lagi antara si kaya dan si miskin, yang kuat dan yang lemah; ketiga, dari aspek hukum Islam, esensi dan substansinya yaitu kemaslahatan, sebab apa yang disyari’atkan Islam lewat nash di dalamnya terdapat hakekat maslahat.

Setiap seruan Allah dapat dipahami oleh akal, alasan perintah-Nya sudah mengandung maslahat bagi manusia. Misalnya, suatu perbuatan kenapa dilarang? Pastinya, ada tujuan positif agar tidak terjerembab ke dalam liang kehancuran.

Penyakit HIV AIDS mungkin tidak akan hilang seketika, namun upaya-upaya pencegahan melalui pemberian pemahaman agama yang baik dan benar kepada masyarakat khususnya generasi muda, dan pengetahuan akan pentingnya keharmonisan dalam berumah tangga, setidaknya melawan wabah tersebut agar tidak bertambah dan meluas.

Namun demikian, HIV AIDS sejauh ini masih menjadi misteri. Namun, Allah sengaja membuat hal tersebut agar manusia dapat hidup dengan damai, bahagia hingga akhir zaman. Konsep ushul fiqh dan maqashid syariah di era kekinian seharusnya menjadi upaya preventif agar tidak merugi di kemudian hari. (*)

***

*) Oleh: Zanuar Mubin, S.M.,M.E; Muhadir/Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan, Alumni PIP Tremas, Ma'had Sunan Ampel Al Aly UIN Malang, S1 UIN Maliki Malang, S2 IAIN Ponorogo. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES