Pendidikan

Fikih Peradaban, Fikih Siyasah dan Negara Bangsa dari Kacamata Ponpes Tebuireng

Sabtu, 17 September 2022 - 22:44 | 64.86k
Maskuri Bakri saat menyampaikan fikih peradaban pada halaqah di aula Yusuf Hasyim Tebuireng Jombang, Sabtu (17/9/2022). (FOTO: Rohmadi/TIMES Indonesia)
Maskuri Bakri saat menyampaikan fikih peradaban pada halaqah di aula Yusuf Hasyim Tebuireng Jombang, Sabtu (17/9/2022). (FOTO: Rohmadi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Menjawab tantangan zaman pada fikih siyasah dan negara bangsa, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang gelar halaqah kajian fikih peradaban di aula Yusuf Hasyim, Sabtu (17/9/2022).

Hadir sebagai pematik Maskuri Bakri. Ia menyampaikan bahwa kajian Fikih Siyasah dalam kajian klasik maupun modern tidak berkaitan dengan siyasah tathbiqiyah (politik praktis) namun lebih dititik beratkan pada aspek relasi antara agama dan negara.

Menurutnya, Al Juwaini yang berjuluk Imamul Haramain guru dari Al Ghazali dalam karyanya yang fenomenal al Ghiyatsi menjelaskan mendirikan negara atau membaiat pemimpin hukumnya adalah wajib (Al-Juwaynī, 1981).

Suasana-diskusi-halaqah-fikih-peradaban9312a3c3fd544e67.jpgSuasana diskusi halaqah fikih peradaban di aula Yusuf Hasyim Tebuireng Jombang, Sabtu (17/9/2022). (FOTO: Rohmadi/TIMES Indonesia)

"Secara tidak langsung hal ini berarti Syariat sangat memperhatikan adanya kepemimpinan yang sah mengingat antara agama dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Satu sama lain saling membutuhkan," ungkapnya dalam acara tersebut.

Maskuri Bakri lebih lanjut memaparkan, syariat mengatur sedemikian rupa dikarenakan agama berperan sebagai pondasi sementara negara adalah penjaganya. Agama tanpa negara maka akan sia-sia.

Untuk menegakkan berbagai macam aturan kehidupan manusia agar perintah dapat optimal dilaksakan serta larangan dapat dijauhi secara total dibutuhkan keterlibatan negara.

Agama atau dalam hal ini lebih spesifik diperankan oleh Fiqih merupakan prinsip yang menjadi landasan bagi para pemeluknya untuk melakukan amal terbaik sesuai bidang masing-masing, termasuk para penyelenggara negara dalam menentukan kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi warganya (Ghazali, 2010).

"Allah SWT menciptakan alam semesta ini bukan hanya sekedar menciptakan dan meninggalkannya, namun juga memberlakukan konsep tadbiir (manage) yakni alam semesta ini dikelola dan diatur oleh Allah SWT sebagaimana yang telah diatur diadalam Fiqih," jelasnya.

Asy-Syathibi (1997) menyatakan dalam Al Muwafaqotnya, kepentingan agama adalah menjaga keberlangsungan kehidupan manusia dari segi agama, diri, keturunan, aqal dan harta. Untuk melindungi kelima unsur tersebut diturunkanlah Al Quran dan Sunnah yang kemudian diinterpretasikan kepada Ijma’, Qiyas, istishab, maslahah mursalah, urf, amalu ahlil Madinah dan istihsan.

Dalam konteks relasinya pada akhirnya antara agama dan negara ini dibutuhkan sikap tawassuth fittadayyun (moderasi dalam beragama) agar perilaku yang timbul dari diri manusia dapat selaras tidak ekstrim ke kanan atau ke kiri.

Moderasi beragama berarti memoderasi sikap dalam beragama terutama kaitannya dengan perilaku berbangsa dan bernegara agar tercipta negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Untuk mewujudkan itu semua dibutuhkan nasionalisme atau paham kebangsaan (persatuan bangsa) dan cinta tanah air.

Nasionalisme harus terpatri dalam sanubari setiap anak bangsa demi menjaga semangat mempertahankan, siap berkorban dan berjuang demi bangsa sehingga tetap lestari kemajemukan baik di bidang agama, suku dan budaya, saat itu semua kuat maka dapat menjadi kekuatan riil yang memperkokoh kedaulatan satu negara.

"Nasionalisme ini adalah termasuk kesunnahan dalam prespektif Living sunnah berdasarkan sirah Nabawiyah Nash shorih tidak menjelaskan secara implisit aturan seputar bentuk negara," tutur lelaki yang akrab disapa Kiai Maskuri ini.

Menurutnya, dalam pembentukan negara merupakan persoalan siyasah yang secara teknis disesuaikan dengan kondisi, dengan memegang prinsip sekiranya lebih mnedekatkan pada kemaslahatan dan menjauhkan dari kemadharatan.

Seandainya bentuk negara adalah bagian dari syariat tentu secara spesifik al Quran sudah menentukannya. Al Quran berbicara tentang kisah para penguasa, seperti namrud di masa Nabi Ibrahim alahissalam, Fir’aun di zaman Nabi Musa alaihissalam,

Dzulqarnain, Nabi Sulaiman Alaihissalam, ratu bilqis, raja Jaluth dan Tholuth tetapi tidak ditemukan satupun teks al Quran yang menyoal bentuk negaranya.

"Al Quran justru lebih fokus memberikan catatannyaterhadap baik buruknya perilaku penguasa secara personal agar dapat dijadikan ibrah bagi umat-umat berikutnya," paparnya.

Sebagaimana Al Quran, teks teks hadithpun hanya menyoal kedisiplinan pemimpin dan tata hubungan sosialnya. Suatu Ketika Nabi Muhammad SAW menyebut penguasa dengan kata sultan (raja), pada kesempatan lain dengan kata Imam (pemimpin, di lain kesempatan juga dengan kata al Mas’ul (yang dimintai pertanggung jawaban).

Semua menegaskan persoalan bentuk negara merupakan bagian dari siyasah di mana kaitan pembahasan ini adalah diserahkan kepada para fuqoha’ yang menginterpretasikan kandungan-kandungan al Quran dan Hadith dalam mengkajinya.

Rasulullah Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmatan lil aalamin dalam  perjalanan dakwahnya baik di Makkah maupun di Madinah tidak pernah mengupayakan untuk mendirikan negara secara resmi sesuai espektasi beberapa kelompok tertentu.

"Beliau fokus pada pembenahan Aqidah dan akhlak serta menjadikan kedua hal tersebut prioritas utama dalam ‘garapan’ dakwahnya," tegasnya dalam menjelaskan.

Bahkan dalam karya fenomenal Fiqhussiroh An Nabawiyah (kajian Fiqh yang diadopsi dari sejarah Sirah Nabawiyah) karya Dr. Muhammad Said Ramadhan Al Buti dijelaskan saking kuatnya prinsip Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan innamaa buitstu liutammima makarimal akhlak.

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah umat semesta alam) pada saat beliau didatangi al Walid bin Mughirah serta ditawari beberapa penawaran-penawaran yang menggiurkan dari harta, tahta dan wanita, semua itu ditolak mentah-mentah oleh Nabi SAW.

Jika direnungi dengan seksama, andai Rasulullah SAW memiliki pola pikir politikus masa kini naudzu billah maka beliau pasti akan berfikir menerima tawaran Al Walid bin Mughiroh menjadi raja di tanah arab.

Di mana setelah beliau berkuasa dapat dipastikan dakwah Islam akan dengan mudah disebarkan dengan kekuasaan dan pengaruh yang telah digenggam.

Namun hal ini tidak dilakukan oleh beliau, Nabi SAW memilih dakwah yang dimulai dari bawah, melakukan pendekatan-pendekatan persuasive, menyentuh hati umatnya dengan perilaku-perilaku mulia, karena beliau memahami bahkan meskipun memiliki tujuan semulia apapun tidak boleh lantas menghalalkan segala cara dalam mencapainya.

Umat Islam Harus Perkuat Pemahaman Syariat Tanpa Meninggalkan Adab

Sementara itu KH Abdul Hakim Mahfudz, pengasuh pondok pesantren (ponpes) Tebuireng, Jombang menuturkan jika begitu banyak sumber keilmuan yang membuat bingung di dalam mencari sumber yang benar. Terutama ini adalah sangat penting bagi generasi penerus. Bagi masyarakat pun juga demikian harus bisa memperkuat ilmu yang ditinggalkan.

Yaitu ilmu-ilmu yang diwariskan oleh salafussholeh yang mana sanadnya bersambung kepada Rasulullah Muhammad SAW. Agar kita juga mampu untuk mewariskan ilmu-ilmu ini kepada generasi penerus. Bagaimana ini sangat menentukan perjalanan umat Islam.

"Hal ini sangat menentukan perjalanan bangsa ini, bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam  katanya," ungkapnya ditempat yang sama.

Menurutnya, perjalanan bangsa ini tidak lepas dari kontribusi pendiri Pondok Pesantren Tebuireng. Yaitu hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari dan muassis Pondok Pesantren Tebuireng.

Kontribusi itu misalnya banyak meninggalkan tulisan-tulisan. Tulisan-tulisan di mana kebutuhan-kebutuhan untuk bagaimana mengaplikasikan ilmu-ilmu yang begitu banyak. Salah satunya, pada tahun 1925 KH Hasyim Asy'ari menulis kitab Adabul 'Alim wal Muta'allim

"Di dalam kitab itu salah satu tulisannya, beliau menyampaikan sebagian ulama berpendapat bahwa ketika seseorang beriman apabila bersyariat paham ilmu-ilmu syariat tetapi tanpa adab, maka dianggap tidak sempurna," ujarnya.

Maka, lanjut lelaki yang akrab disapa Gus Kikin, itu menjadi salah satu kitab yang menjadi rujukan di ponpes Tebuireng ini. Bagaimana caranya membangun adab. Karena hanya di pondok pesantren lah tempat di mana kegiatan kegiatan belajar mengajar dari ta'lim, tarbiyah kemudian ta'dib bisa dilaksanakan.

Kembali lagi bahwa dengan ta'dib, kita mendidik adab. Yang bisa dipakai sebagai ilmu untuk membangun peradaban karakter-karakter yang sangat dibutuhkan di dalam membangun peradaban dan juga di dalam perjalanan sejarah Pondok Pesantren Tebuireng.

"Di zaman penjajahan, persatuan umat Islam bisa terbentuk. Di mana kita bisa mendapatkan sumber dari salah satu buku yang ditulis oleh hadratussyekh bahwa di tahun 1937 MIAI didirikan untuk menaungi 13 organisasi Islam yang ada di Indonesia. Dan semua organisasi Islam itu mewakili semua umat Islam yang ada di Indonesia di tahun 1937," tuturnya.

Gus Kikin berpesan, umat islam harus memperkuat pemahaman-pemahaman kita mengenai syariat, mengenai keimanan, dan mengenai keterkaitan agar kita bisa menjadikan semuanya menjadi perekat untuk bangsa ini tetap bersatu.

"Bangsa ini tetap mampu untuk kemudian membangun ukhuwah, membangun persatuan untuk kemajuan, untuk kekuatan bangsa di masa yang akan datang. Dan semoga acara ini menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bisa dipakai untuk landasan kita dalam berfikir dan berkegiatan. Sehingga menjadikan negara ini baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur" pungkasnya.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES