Peristiwa Nasional

Pro-Kontra Jokowi Jadi Cawapres 2024

Jumat, 16 September 2022 - 13:32 | 20.55k
Presiden Jokowi (Joko Widodo). (FOTO: Setkab RI).
Presiden Jokowi (Joko Widodo). (FOTO: Setkab RI).

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Boleh dan tidaknya presiden dua periode seperti Presiden RI Jokowi (Joko Widodo) menjadi calon wakil presiden atau Cawapres berikutnya jadi pembahasan hangat. Hal itu pun menuai pro kontra.

Awalnya, pembahasan tersebut muncul kala Jubir Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan, tak ada aturan yang melarang jika memang presiden dua periode mau jadi Cawapres berikutnya.

Meski demikian, kemarin, lewat keterangan resminya, Humas MK menyatakan, hal tersebut adalah pernyataan pribadi Fajar Laksono, bukan resmi lembaga MK sendiri.

Kantor-Mahkamah-Konstitusi.jpgKantor Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (FOTO: Moh Ramli/TIMES Indonesia)

"Bukan merupakan pernyataan resmi dan tidak berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan mahkamah konstitusi RI," tulis Humas MK dalam pernyataan resminya diterima TIMES Indonesia.

Ragam tanggapan pun bermunculan. Termasuk dari mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie sendiri. Ia menilai, Presiden Jokowi tak memenuhi syarat untuk jadi Cawapres di Pilpres 2024. Kata dia, Presiden Jokowi tak bisa lagi maju sebagai Cawapres berikutnya.

"Tidak bisa jadi cawapres baik dari segi hukum mau pun etika," katanya dikutip dari CNN Indonesia. Menurutnya, Pasal 7 UU 1945 tak boleh hanya dibaca harfiah. Namun harus dibaca secara sistematis dan kontekstual.

Pasal 7 UU 1945 berbunyi: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Ia juga menyinggung Pasal 8 ayat 1 UUD 1945 yang bunyinya "Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya."

Kata Jimly, jika Presiden Jokowi wapres 2024, maka Pasal 8 ayat 1 UUD 45 tidak dapat dilaksanakan karena akan bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945.

"Makanya tak ada tafsir lain yang mungkin kecuali bahwa Jokowi tidak memenuhi syarat untuk menjadi cawapres dalam Pilpres 2024 nanti," ujarnya.

Sementara itu, Din Syamsuddin mengatakan, pernyataan Jubir MK Fajar Laksono itu mencerminkan sikap lembaga MK yang tendensius, free kick, dan potensial dianggap melanggar Konstitusi.

Pernyataan itu kata dia, tidak bisa tidak dianggap sebagai pernyataan lembaga MK. Seorang Jubir biasanya lanjut dia, mewakili lembaga, dan tidak akan berani mengeluarkan pernyataan kecuali atas restu bahkan perintah pimpinan MK sendiri.

"Kalau MK membantah maka harus ada sanksi tegas berupa pencopotan sang jubir yang telah melakukan pelanggaran, tidak hanya off side, tapi free kick," katanya dalam keterangan tertulis kepada TIMES Indonesia.

Ketua Dewan Pertimbangan MUI 2015-2020 itu menilai, pernyataan jubir MK itu, yang tidak atas pertanyaan atau permintaan seseorang atau lembaga adalah tendensius. Dan kata dia, itu membenarkan dugaan bahwa MK selama ini tidak netral.

"Tidak imparsial, dan tidak menegakkan keadilan menyangkut isu Pemilu dan Pilpres, seperti yang ditunjukkannya pada keputusan tentang Presidential Threshold (ambang batas pencalonan Presiden-Wakil Presiden)," jelasnya.

Jika itu benar lanjut Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 tersebut, maka merupakan malapetaka bagi Indonesia yang berdasarkan hukum tapi perisai terakhir penegakan hukum, justeru berkecenderungan melanggar hukum atau konstitusi itu sendiri.

"Maka, sudah waktunya rakyat mereview atau merevisi keberadaan MK dari perspektif UUD 1945 yang asli," katanya lagi.

Menurut Din Syamsuddin, MK tidak hanya harus mengenakan sanksi tegas atas jubirnya, tapi harus mengeluarkan pernyataan bahwa seorang presiden hanya untuk dua masa jabatan berturut-turut dan tidak boleh diotak-atik untuk diberi peluang mencalonkan diri lagi meski sebagai cawapres.

"Jika ini diabaikan oleh MK, saya sebagai warga negara bersedia bergabung bersama rakyat cinta konstitusi melakukan aksi protes besar-besaran," ujarnya.

PDI Perjuangan Sebut Bisa

Ketua Bappilu PDI Perjuangan Bambang Wuryanto menilai, sangat mungkin dan bisa jika nantinya Jokowi mau jadi Cawapres 2024. Namun hal tersebut tentu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.

Ia juga menegaskan, tak ada aturan yang melarang Jokowi mencalonkan diri sebagai wapres. Tapi terlebih dahulu harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik terlebih dahulu. "Kalau Pak Jokowi mau jadi wapres ya sangat bisa," katanya kepada wartawan.

Ia mengatakan, Jokowi memiliki potensi untuk hal tersebut. Karena tak ada aturan yang melarang. "Bukan buka peluang, aturan mainnya diizinkan (Jokowi jadi cawapres). Apakah peluang itu mau dipakai atau tidak, urusan Presiden Jokowi," ujarnya.

Mengomentari hal tersebut, mantan Wakil Menteri Hukum dan Ham, Denny Indrayana menilai, Jokowi tak bisa jadi Cawapres. Karena sudah menjabat dua periode. "Tidak bisa. Mengapa? Karena Pasal 7 UU 1945, membatasi masa jabatan presiden untuk maksimal 2 periode," katanya dalam keterangan resminya.

Ia juga menyebutkan, tak pernah ada presiden dua periode lalu menjadi cawapres. Kata dia, jika hal tersebut ada, dan terjadi nantinya, itu adalah keajaiban. "Kalau ada, itu akan menjadi rekor, dan keajaiban dunia ke-8," ujarnya.

Sekedar informasi, mengenai presiden dua periode boleh jadi cawapres berikutnya, hingga saat ini Presiden RI Jokowi belum berkomentar apapun mengenai itu. Beberapa waktu lalu, ia hanya mengomentari soal wacana presiden tiga periode. Kepala Negara menegaskan, tak akan melakukan itu karena menyalahi konstitusi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES