Kopi TIMES

Arah Baru Jihad Politik Muhammadiyah

Jumat, 09 September 2022 - 15:32 | 97.51k
Ardi Firdiansyah, Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Renaissance
Ardi Firdiansyah, Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Renaissance

TIMESINDONESIA, MALANG – Bicara mengenai keterlibatan Muhammadiyah dalam politik seakan tidak habisnya, setiap menjelang Pemilu perdebatan mengenai keterlibatan Muhammadiyah dalam dunia politik pasti menarik untuk dibahas. Masih banyak yang menganggap Muhammadiyah tidak berani mengambil sikap tegas dalam politik, hal tersebut sebenar bukan tanpa alasan. Banyak masyarakat terkhusus warga Muhammadiyah tidak memahami peran Muhammadiyah dalam dunia politik praktis. Seolah Muhammadiyah dianggap lemah dalam urusan politik.

Ada dua alasan muncul anggapan tersebut, alasan pertama ialah sejak didirikan pada tahun 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan, Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah dakwah, pendidikan dan pelayanan sosial. Alasan kedua ialah lahir dari hasil keputusan Muktamar Ujung Pandang tahun 1971 yang memutuskan Muhammadiyah tidak terikat dengan partai politik mana pun. Keputusan itu lahir dari kekecewaan Muhammadiyah kepada rezim Orde Baru yang mengitervensi internal pengurus Parmusi. 

Keterlibatan Muhammadiyah dalam Politik Praktis

Pada tahun 1945 Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai Majelis Syuroh Muslimin Indonesia (Masyumi) bersama organisasi Islam lainnya. Setelah NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952, Muhammadiyah mendominasi kepengurusan dalam internal Masyumi. Pada tahun 1955 Muhammadiyah mengeluarkan edaran agar warga Muhammadiyah untuk memilih Masyumi.

Namun, pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan oleh rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno, karena dianggap sebagai oposan. Hal tersebut juga menyebabkan beberapa tokoh Muhammadiyah yang menjadi pengurus Masyumi dipenjarakan tanpa alasan yang jelas dan tanpa melalui proses peradilan. Setelah pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, pada tahun 1968 beberapa tokoh Muhammadiyah kembali mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Lahirnya Parmusi sebagai upaya untuk mengembalikan kejayaan Masyumi pada rezim sebelumnya. Sebelumnya, bahwa pada Muktamar ke 38 di Ujung Pandang 1971, Muhammadiyah kembali berjuang di tiga ranah seperti di awal didirikannya Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan.

Setelah mengalami kefakuman yang begitu lama dalam politik praktis, pada tahun 1998 tokoh Muhammadiyah sekaligus tokoh reformasi Amin Rais (AR) mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, PAN tidak diakui secara keorganisasian oleh Muhammadiyah. Bahkan Amien Rais diminta untuk mengundurkan diri dari kepengurusan Muhammadiyah jika mau terlibat aktif dalam politik praktis.

Atas dorongan organisasi tersebut, akhirnya Amien Rais memilih berjuang di ranah politik praktis melalui PAN bersama tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya. Hasilnya, pada pemilu tahun 1999 PAN memperoleh 34 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seiring berjalannya waktu hubungan PAN dan Muhammadiyah mengalami dinamika yang begitu alot, bahkan setelah Pemilu 2004 Muhammadiyah melihat bahwa PAN tidak mampu mengakomodir kepentingan Muhammadiyah.

Lahir dari kekecewaan tersebut, pada Sidang Tanwir yang dilaksanakan di Mataram pada Desember 2004 melahirkan rekomendasi agar organisasi mendirikan partai politik sebagai alat perjuangan dalam dunia politik. Menindak lanjuti rekomendasi itu, para tokoh-tokoh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) seperti Imam Addaruqutni, Ahmad Rofiq, Masyuri Masyuda dan tokoh lainnya yang pernah berkecimpung dalam Organisasi Otonom (Ortom) Muhammadiyah, lebih khusus di AMM seperti Pemuda Muhammdiyah (PM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), pada 16 Desember 2006 di Jogkarta mendeklarisakan Partai Matahari Bangsa(PMB).

Walaupun secara keorganisasian PMB tidak diakui sebagai bagian dari Muhammadiyah, tetapi secara moral Muhammadiyah mendukung keberadaan PMB. Bahkan, ada pandangan bahwa PMB merupakan kendaraan politik Din Syamsuddin (DS) untuk maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2009. Pandangan tersebut akhirnya menjadi kenyataan, ketika PMB mendeklarisakan DS sebagai calon presiden pada Pemilu 2009. Namun sayang, kehadiran PMB tidak begitu diterima oleh masyarakat, khususnya warga Muhammadiyah sendiri. Hal tersebut dibuktikan dengan kekalahan PMB pada pemilu 2009.

Jihad Politik Muhammadiyah

Istilah Jihad Politik Muhammadiyah (Jipolmu) bertama kali dikenalkan pada konsolidasi nasional Maret 2018. Jipolmu dilakukan melalui upaya mendorong kader-kadernya yang memiliki kemampuan dalam politik untuk ikut dalam pemilu 2019. Kader Muhammadiyah yang memiliki kemampuan dan dianggap potensial oleh organisasi akan didorong serta disiapkan. Hal tersebut dilakukan agar kader Muhammadiyah mampu membawa nilai-nilai yang diinginkan oleh Muhammadiyah dalam dunia politik.

Bahkan pada sidang tanwir Muhammadiyah ke-51 Bengkulu 2019, Haedar Nasyir lebih banyak mendorong kader Muhammadiyah dalam dunia politik. Bahkan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah akan membina secara khusus kadernya yang akan maju ke dunia politik. Memang, tidak ada data yang jelas berapa kader Muhammadiyah yang berhasil lolos dalam Pemilu 2019, baik di Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR), Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tidak adanya data tersebut menunjukkan tidak ada indikator keberhasilan yang jelas mengenai Jipolmu.     

Hanya terdapat satu Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) yang bisa menjadi acuan dalam mengukur keberhasil Jipolmu. Hal tersebut bisa dilihat di PMW Jawa Timur. Dimana ada dua nama yang diusung untuk berlaga di Pemilu 2019 yaitu Nadjib Hamid M.Si sebagai calon anggota DPD dan Prof Zainuddin Maliki untuk DPR RI Dapil Lamomgan-Gresik. Dari kedua nama tersebut hanya Prof Zainuddin Maliki yang berhasil lolos ke Senayan, Prof Zainuddin yang memilih Partai Amanat Nasional (PAN) memperoleh suara sebesar 51,125 suara, sedangkan Nadjib hanya berada di posisi ke-9 di tingkat DPD daerah pemilihan Jatim.

Dari hasil tersebut bisa kita lihat bahwa ada upaya Muhammadiyah untuk mejawab persoalan bangsa beberapa tahun terkahir, namun sangat disayangkan Jipolmu tidak benar-benar di konsep dengan baik.

Menjelang Muktamar ke-48 dan Pemilu 2024, Jipolmu harus dikonsep dengan baik oleh Pimpinan Muhammadiyah. Mulai dari indikator kader yang akan diusung sampai pada tingkat keberhasilannya. Bahkan kendaraan politik harus benar-benar ditentukan. Hal tersebut harus dilakukan agar kader Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik tidak terpengaruh oleh ideologi lain. Bila perlu Muhammadiyah harus mempunyai Partai Politik (Parpol) sendiri, agar alat perjuangan Muhammadiyah dalam dunia politik jelas dan hanya ada satu Parpol Muhammadiyah. Tidak seperti saat ini, kader Muhammadiyah atau yang hanya mengaku sebagai kader Muhammadiyah memanfaatkan Muhammadiyah sebagai kepentingan pribadinya. Perlu arah baru jihad politik Muhammadiyah.

***

*) Oleh: Ardi Firdiansyah, Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Renaissance "FISIP" Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_____
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES