Kopi TIMES

Kok Bakat, Jadi petugas Upacara Saja tidak Kebagian

Rabu, 31 Agustus 2022 - 08:59 | 34.65k
Shulhan Hadi.
Shulhan Hadi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Bertugas menjadi pembaca doa saat upacara, menjadi pemimpin upacara, menjadi petugas pembaca UUD 45, Pancasila pernah saya alami selama bersekolah. Dari sekian waktu itu, kesempatan menjadi petugas pengibar baru saya alami saat SMA.

Padahal, jika mengacu jumlah siswa-siswa di kelas, semestinya semua posisi itu bisa saya lakukan selama duduk di bangku MI (SD). Tiba-tiba saya berpikir, bagaimana rasanya menjadi Paidi (bukan nama sebenarnya) yang sama sekali tidak pernah menjadi petugas upacara. Adakah penyesalan atau rasa kangen di dalam dirinya?

Sekolah, dunia yang semestinya belajar menjadi kesempatan anak-anak menjadi apa saja seringkali justru hanya menempatkan anak menjadi itu-itu saja. Boro-boro untuk hal-hal yang keren. Untuk urusan upacara bendera saja, belum semua anak berkesempatan merasakan menjadi petugas. 

"Kan tidak semua anak ingin jadi petugas?"

"Tidak banyak guru bisa memotivasi anak mau dan senang melakukan kegiatan ini".

Padahal urusan baris-berbaris dan upacara ini menjadi kesukaan komunal bangsa Indonesia, sampai-sampai dilombakan setiap tahun. Bahkan, kini merambah di anak-anak TK, hmm.

Tapi itu pengalaman yang saya alami, dan terjadi di periode menjelang tahun 2000 hingga tahun 2000 awal. Kini, tentu kondisi seperti ini sudah tidak ada.

Tentu, jika kondisi saat itu dianggap tidak benar, maka bukan berarti kesalahan bukan di pihak sekolah semata. Jamane memang sek sakmono. Masih banyak kebaikan yang diajarkan dan dibiasakan sekolah, tentu semua kembali kepada peserta didik. Ya seperti pembiasan daftar piket kebersihan yang setelah lulus pun masih sering sulit dibiasakan.

Sekolah hari ini, tentu jauh lebih baik, unik dan menggembirakan bagi guru dan juga peserta didik. Jauh dari kekhawatiran yang pernah saya alami sebagai peserta didik maupun tenaga pendidik.

Kegembiraan peserta didik atas inspirasi gurunya, lingkungannya dan juga Ayas dirinya sendiri seperti menjadi energi masa depan yang menggairahkan.

Saya jadi teringat ketika saya praktik lapangan di salah satu lembaga PAUD Kelompok bermain (pra TK). Kepada anak-anak yang masih sangat belia ini saya bertanya "Kalau sudah gede, nanti pengen jadi apa? Pengen melakukan apa?"

Saya ingat ada beberapa jawaban yang di luar pikiran saya, "menjadi Cinderella, menjadi manten dan ada yang menjadi 'maling'. Bahkan, saat itu tidak ada yang berkeinginan menjadi cita-cita umum anak SD -- Polisi, tentara dan dokter--.

Tentu, tujuan sekolah bukan melestarikan cita-cita maling seorang anak menjadi kenyataan. Namun juga tidak berarti mengarahkan ke dalam kebaikan yang kadang sangat tidak sesuai dengan kecenderungan anak. Menumbuhkan dan mengarahkan anak sekaligus merawat orisinalitas diri anak sepertinya sangat menarik. Tapi memang ini berat dan njlimet, karena setiap anak berbeda. Bukan seperti gedung sekolah yang RAB-nya bisa disamakan di setiap lembaga.

Dulu, suudon ini semakin kuat tatkala seorang anak, yang semasa di TK berkesempatan banyak merasakan panggung aktualisasi. Berbagai kegiatan yang mengasah sisi tumbuh kembang anak cukup banyak dilaksanakan, mulai tingkat lembaga pendidikan sampai tingkat daerah. Anak-anak yang tinggal di desa bisa melenggang ke ibukota provinsi dengan bekal kesukaannya bermain plastisin, menggambar atau bernyanyi. Bagi yang memiliki kemampuan standar, pihak TK biasanya memberi kesempatan ketika ada anjangsana rutin di rumah peserta didik -- biasanya dikemas acara makan bersama atau saat ulang tahun --.

Namun, ketika masuk sekolah dasar, keasyikan -keasyikan seperti itu seringkali mulai hilang. Jika beruntung, setelah tahun keempat mereka akan bisa kembali merasakan hal yang sama. Lomba-lomba biasanya mulai bisa mereka ikuti. Tapi seringkali lomba itu terkait MIPA, dan sesekali yang beraroma seni sastra. Biasanya lomba baca puisi, setahun sekali. Tapi ini dulu, pengalaman yang saya alami. Sekarang tentu tidak.

Oya, barangkali ada bapak ibu guru yang memiliki peserta didik dengan suara bagus nan lantang. Jika memungkinkan saya mau merepoti, bisa dong saat dia bertugas pada upacara bendera divideokan, karena saya pengen lihat.

Syukur -syukur jika dia di bagian pembacaan doa atau teks UUD 45, pasti serasa melihat Sukarno kecil yang berada di depan massa.

Kalau request kepada adik Farel, gimana?

*) oleh: Shulhan Hadi, Pemilik Babyshop Curahjati

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES