Kopi TIMES

Benarkah Kita (Indonesia) Sudah Merdeka?

Kamis, 18 Agustus 2022 - 17:40 | 186.86k
Ilustrasi - (Foto: ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)
Ilustrasi - (Foto: ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sudah 77 tahun kita merdeka, tiap tahun kita kibarkan bendera, tapi mengapa masih ada yang menderita?

Demikian cuplikan salah satu audisi stand up comedi yang diperankan oleh Abdur, warga Lamakera, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Pertanyaan ini tentu menggugat, apakah kemerdekaan hanyalah sebentuk  simbolisasi atau sekadar ritual tahunan yang digelar setiap tanggal 17 Agustus. Ataukah kemerdekaan itu lebih dari sebuah ritual yang  memiliki sejumput makna yang perlu kita renungkan bersama. 

Soekarno pernah mengeritik pendapat Profesor Veth, yang mengatakan bahwa  Indonesia tidak bakalan merdeka. Dari zaman purbakala, dari zaman ribuan  tahun sampai sekarang, dari zaman Hindu hingga kini.

 Pemikiran sang Profesor ini dibantah oleh  Soekarno : “Ini kali salah raba. Ia lupa yang satu menilai, kemerdekaan itu mustahil. Indonesia adalah terra incognito. Dia tidak diketahui. Tidak ada tidak bakalan menjadi. Kalaupun ada Indonesia itu hanyalah satu himpunan pulau yang tidak diperhitungkan” (Soekarno: Mencapai Indonesia Merdeka, hlm. 11-12). 

Jika kita melihat pendapat profesor Veth, maka kita ketemukan ada sebuah gejala keraguan terhadap kemerdekaan di tubuh NKRI. Mungkin saja keraguan ini muncul ketika terjadi banyak pergolakan, baik dari benturan luar negeri maupun situasi politik dalam negeri.

Profesor Veth menilai bahwa Indonesia tidak bakalan merdeka.  Sikap pesimisme ini, bisa jadi disebabkan oleh  pergerakan politik saling tuding, saling menjatuhkan yang akhir-akhir ini kita alami bersama. Ada pelbagai macam ketimpangan di  bidang ekonomi, yang mana harga barang mentah, seperti mente, kakao, kopra dan lain sebagainya dikontrol oleh pihak pemodal. Seharusnya masyarakat yang menentukan harga pasar untuk hasil yang mereka peroleh. 

Selain itu, kita melihat ada pelbagai macam bentuk kriminalisme yang muncul akhir-akhir ini, seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan dan pencideraan terhadap kebebasan beragama dan martabat manusia.

 Aneka kasus di atas tentunya merugikan banyak pihak, serta menguntungkan segelintir orang yang punya maksud dan kepentingan tertentu. Karena itu, penjajahan terbesar zaman ini adalah penjajahan di tubuh negara sendiri. Anak bangsa menjajah  anak bangsa sendiri. Maka benar, apa  yang dikumandangkan oleh Berthold Brecht “Kasihanilah mereka yang membutuhkan pahlawan.” 

Dalam tulisannya tentang Alam Pikiran Yunani (1941), Hatta melihat Indonesia memiliki dua kelemahan.  Pertama, selalu provinsialis, selalu masuk dalam etnik, emosional. Kedua, perlu diperluaskan cakrawala pandangannya. Kenapa? Hatta melihat ada dua identitas. Yang pertama, agraris, terikat dengan tanah selalu menjadi katak dalam tempurung. Kedua, bangsa ini juga mentalitasnya insuler, kepulauan (Mudji Sutrisno.2006: hlm. 234).

 Menilik tulisan Hatta, kita dapat melihat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Dan sikap primordial, mementingkan kepulauan dan etnik sangat melekat erat dalam satu emosional yang kuat. 

Maka  perlu penyadaran bahwa bangsa Indonesia yang terbentang dari  Sabang sampai Merauke, terhimpun dalam satu bahasa, yakni bahasa Indonesia. Karena itu, rasa kesatuan seperti yang tertuang dalam Pancasila mesti menjadi kekuatan utama dalam membentengi kemerdekaan.

 Kemerdekaan itu perlu dimulai di dalam negara, sebelum mencuat ke permukaan bahkan ke tengah dunia.

 Satu hal yang perlu digalakan yakni memperluas wawasan berpikir,  dan selanjutnya bertindak benar-benar sebagai warga negara yang patuh terhadap bangsanya.

Apakah kita sudah merdeka? Pertanyaan ini menjadi semacam refleksi bagi semua orang yang mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia. Kita kembali kepada pemikiran Soekarno, yang  membantah profesor Veth  “Ini kali salah raba. Ia lupa yang satu menilai, kemerdekaan itu mustahil. Indonesia adalah terra incognito. Dia tidak diketahui. Tidak ada tidak bakalan menjadi. Kalaupun ada Indonesia itu hanyalah satu himpunan pulau yang tidak diperhitungkan”. 

Kita tentu sepihak dengan Soekarno, bahwa kemerdekaan itu pemberiaan Tuhan lewat usaha bersama. Dan atas restu itu,  kita merdeka, bebas dari rongrongan penjajah. Kemerdekaan itu tidak mustahil, jika kita semua bersatu hati memaknai serta mengisi kemerdekaan dengan peristiwa-peristiwa yang membesarkan nama bangsa serta menghargai harkat dan martabat manusia.

*) Oleh: Yurgo Purab, Jurnalis di Flores Timur, NTT

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____
**)
 Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES