Peristiwa Nasional

International Rice Research Institute Berikan Penghargaan Swasembada Beras Indonesia

Senin, 15 Agustus 2022 - 20:45 | 48.31k
Presiden Joko Widodo menerima penghargaan IRRI atas keberhasilannya pada sistem ketahanan pangan Indonesia dari Direktur Jenderal IRRI Jean Balie di Istana Negara, Jakarta, Minggu (14/08/2022) - (FOTO: dok BPMI Setpres)
Presiden Joko Widodo menerima penghargaan IRRI atas keberhasilannya pada sistem ketahanan pangan Indonesia dari Direktur Jenderal IRRI Jean Balie di Istana Negara, Jakarta, Minggu (14/08/2022) - (FOTO: dok BPMI Setpres)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Presiden Joko Widodo menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas keberhasilannya pada sistem ketahanan pangan Indonesia dalam hal swasembada beras di Istana Negara, Jakarta, Minggu (14/8/2022).

Penghargaan untuk sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan swasembada beras tahun 2019-2021 melalui penerapan inovasi teknologi pertanian itu diberikan oleh Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Atas raihan itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengapresiasi komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dimana pemerintah tidak membolehkan impor pangan selagi masih bisa diproduksi oleh petani di dalam negeri. 

Selain implementasi UU Pangan, Henry Saragih juga menyebut adanya komitmen Pemerintah dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

"Presiden Jokowi, dia memang menekankan tidak akan impor beras. Itu saya pikir satu yang harus dihargai komitmen dia itu. Jadi karenanya, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan tidak mau impor beras, tidak bisa," tegas Henry dalam keterangannya, Senin (15/8/2022). 

Ia menekankan, seharusnya kebijakan beras itu bisa diimplementasikan untuk komoditas pangan lain. Bukan hanya untuk komoditas beras, melainkan juga untuk komoditas lain seperti daging, terigu hingga kedelai.

"Karena sesungguhnya Indonesia bisa untuk kacang kedelai, bahkan juga terigu," jelas Henry.

Menurutnya, swasembada beras harus didukung oleh pembangunan banyak irigasi pertanian oleh pemerintah. Dalam hal ini, Pemerintah disebutkan Henry masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan terkait beras.

"PR-nya begini, petani yang produsen beras itu kehidupan kesejahteraannya belum membaik. Itu bisa dilihat secara sederhana dari nilai tukar petani (NTP), di mana NTP tiga tahun ini menurun," tegas Henry.

Disebutkan, penurunan nilai tukar petani (NTP) menjadi indikator kerugian yang dialami petani pangan. Penurunan itu dipengaruhi mahalnya ongkos produksi tanaman padi. Dari  harga pupuk sampai benih padi.

Henry menyarankan Program Reforma Agraria menyasar petani penanam padi yang kini dihadapkan pada penyempitan lahan tanam dan kenaikan harga sewa lahan. Program yang dilakukan dengan membagikan tanah 9,7 juta hektare juga harusnya menyasar pada petani tanaman padi. 

Selain itu, Indonesia baru surplus beras 10 juta ton. Angka itu setara dengan kebutuhan nasional selama 3 bulan. Henry mewanti-wanti agar para produsen beras dalam negeri menggunakan benih lokal. Hal itu mesti dilakukan untuk menjamin kedaulatan pangan Indonesia. 

"Kita harus terus menggunakan benih yang diproduksi oleh petani, pemerintah, dan lembaga-lembaga kita," pungkasnya.

Iklim La Nina
Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dwi Andreas Santoso mengatakan produktifitas pangan oleh petani itu merupakan dampak dari iklim La Nina. Dimana dalam dua tahun terakhir, produksi padi meski tidak naik masih diselamatkan oleh La Nina.

Ia menyatakan, fenomena iklim La Nina atau kemarau basah jika mengamati data 20 tahun terakhir, iklim ini biasanya meningkatkan produksi padi dengan sangat signifikan. Namun pada periode 2019- sampai saat ini, kenaikan produksi padi dianggap lebih dari cukup untuk konsumsi dalam negeri. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Produksi padi pada 2021 yaitu sebesar 54,42 juta ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 233,91 ribu ton atau 0,43 persen dibandingkan produksi padi di 2020 yang sebesar 54,65 juta ton GKG.

Selama tiga tahun, Indonesia juga disebut sudah tidak mengimpor beras. “Betul kita tidak impor, penyebabnya ? Terjadi penurunan konsumsi beras. Kalau penurunan konsumsi beras, maka beralih kemana, yang paling nyata ke gandum,” terang Andreas. 

Pemerintah mengklaim, prognosis pangan nasional tahun 2022, khususnya pada komoditas beras, menunjukkan adanya surplus 7,5 juta ton. Hal ini melanjutkan tren positif swasembada beras dengan produksi beras pada tahun 2020 sebesar 31,4 juta ton dan tahun 2021 sebesar 31,2 juta ton. 

Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi produksi beras yang relatif stabil dari tahun ke tahun berdampak positif terhadap terjaganya harga beras nasional di tingkat konsumen.

"Swasembada beras yang telah dicapai tentunya masih dihadapkan oleh berbagai tantangan baik dari sisi hulu sampai ke hilir. Untuk itu, Pemerintah terus meningkatkan berbagai upaya perbaikan," terang Menko Airlangga.

Namun Andreas mengingatkan pemerintah untuk terus memperhatikan kesejahteraan petani. Bagi petani dengan lahan kecil, bercocok tanam padi malah bikin mereka rugi. Berbagai insentif dan bantuan macam pupuk subsidi, yang diberikan pemerintah tidak banyak berpengaruh pada kehidupan mereka. 

"Bahwa usaha tani sekarang rugi, (insentif) tidak banyak membantu. Ada masalah yang krusial disitu. Yang harus kita atasi bersama," ucap Andreas.

Belum lagi Nilai Tukar Petani (NTP) yang terus turun di sepanjang tahun 2022. Data terkini, BPS melaporkan, nilai tukar petani (NTP) Indonesia pada Juli 2022 sebesar 104,2. Nilai ini turun 1,61% dibanding NTP bulan sebelumnya yang sebesar 105,96.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES