Kopi TIMES

Polemik Legalisasi Ganja di Indonesia

Sabtu, 06 Agustus 2022 - 15:27 | 68.75k
Muhammad Rezky Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember.
Muhammad Rezky Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember.

TIMESINDONESIA, JEMBER – Salah satu tanaman yang dilarang dalam regulasi narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah tanaman ganja. Ganja merupakan tanaman psikotropika yang memiliki senyawa bernama tetrahydrocannabinol dimana termasuk dalam Golongan I Narkotika sebagaimana dalam Pasal 6 UU Narkotika.

Legalisasi tanaman ganja guna kepentingan pengobatan (medis) saat ini kembali menjadi diskursus hangat di masyarakat setelah aksi seorang ibu bernama Santi Warastuti di kawasan Car Free Day (CFD) yang membawa poster berisikan pesan bahwa anaknya butuh ganja medis.

Salah satu upaya lain untuk melegalkan ganja medis juga tampak dalam permohonan pengujian undang-undang (PUU) di Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020.

Dikutip dari traveling.bisnis.com (29/06/2022), setidaknya 30 negara di dunia saat ini telah melegalkan ganja untuk kepentingan medis. Memang benar bahwa mengenai legalisasi ganja guna kepentingan medis ini tidak bisa semua negara bisa di samaratakan. Terdapat faktor-faktor tertentu yang dapat menjadi alasan bagi suatu negara untuk melarang ganja, seperti budaya hukum masyarakat di negara tersebut.

Di Indonesia, ganja tetaplah merupakan tanaman yang ilegal digunakan walaupun untuk kepentingan medis. Hal ini bertolakbelakang dengan ketentuan UU Narkotika khususnya Pasal 4 yang berbunyi “menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” dan Pasal 7 yang berbunyi “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.” Dari rumusan pasal tersebut, sejatinya narkotika termasuk ganja dapat digunakan guna kepentingan medis. 

Ketentuan Pasal 8 angka 1 UU Narkotika yang berbunyi “Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.” secara nyata telah menutup pintu dan berpotensi membatasi pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memanfaatkan tanaman ganja ini sebagai obat untuk kepentingan medis. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 28C ayat 1 dan Pasal 28H ayat 1 UUD NRI 1945 memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh manfaat berupa pelayanan kesehatan yang dihasilkan dari proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan berhak atas pelayanan kesehatan. Dengan demikian, pelarangan penggunaan ganja untuk kepentingan medis telah secara nyata bertentangan dengan amanat UUD NRI 1945.

Pelarangan penggunaan ganja untuk kepentingan medis juga bertentangan dengan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.”

Rumusan Pasal 102 UU Kesehatan membuka peluang untuk digunakannya narkotika (termasuk ganja) guna kepentingan medis (farmasi) dengan syarat-syarat tertentu. Artinya ganja berpotensi dijadikan sebagai obat. Dikutip dari jurnal berjudul “Legalisasi Ganja Dalam Sektor Medis Perspektif Hukum” yang ditulis oleh Syamsul Malik, dkk, berdasarkan penelitian ganja dapat digunakan untuk mengatasi penyakit Alzheimer, Multiple sclerosis, dan Parkinson. Namun, ketentuan UU Narkotika sendiri malah tidak membuka peluang untuk ganja dijadikan sebagai obat.

Pemerintah Indonesia dapat membuka kesempatan dan ruang yang lebih luas untuk dilakukannya penelitian dan pengkajian yang komprehensif dan mendalam secara ilmiah terkait penggunaan ganja untuk obat di Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah untuk melakukan legalisasi ganja sebagai obat. Legalisasi ganja ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Mengingat ganja selain bermanfaat sebagai obat penyakit tertentu, juga dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi pada pengguna serta dapat merugikan dan mengancam generasi muda penerus bangsa apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat.

Apabila setelah dilakukan penelitian dan pengkajian mendalam secara ilmiah di Indonesia terbukti bahwa ganja dapat menjadi obat penyakit tertentu, maka seharusnya Pemerintah dapat melegalkan penggunaan ganja sebagai obat. Hal ini semata-mata untuk memenuhi amanat Konstitusi khususnya Pasal 28H ayat 1 UUD NRI 1945. Jika di kemudian hari ganja dilegalkan, maka Pemerintah dan aparat penegak hukum wajib melakukan pengendalian dan pengawasan secara ketat agar tidak menimbulkan permasalahan sosial lainnya. 

Ganja, apabila hendak dilegalkan, maka UU Narkotika haruslah direvisi. Sebagaimana teori hukum progresif bahwa hukum tidaklah mutlak, melainkan bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Jika ganja ini kemudian dilegalkan, maka aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Narkotika Nasional harus tegas dan tidak pandang bulu dalam penegakan hukum bagi para penyalahguna ganja. 

***

*) Oleh: Muhammad Rezky Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES