Kopi TIMES

Perundungan: Warisan dalam Pendidikan?

Kamis, 04 Agustus 2022 - 15:25 | 64.61k
Rama Fatahillah Yulianto, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).
Rama Fatahillah Yulianto, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).

TIMESINDONESIA, JAKARTAPerundungan selalu mewarnai kehidupan di negara kita. Pelaku dan korbannya bervariasi, mulai anak hingga dewasa, laki-laki maupun wanita, semuanya berpotensi menjadi pelaku atau korban dari perundungan.

Tak henti-hentinya masyarakat Indonesia disajikan berita perundungan, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, bahkan bangku perkuliahan. Saat kita berbicara tentang perundungan, terdapat beberapa hal yang linear diantaranya adanya unsur kesengajaan, repetitif, dan ketidakseimbangan dalam kekuasaan. Hal yang sering terjadi, perundungan sarat dengan hubungan superior dan inferior. Tapi tak selamanya selalu menghampiri kalangan superior, beberapa kasus mengisahkan mereka yang berasal dari keluarga cukup berada mengaku pernah mendapat cibiran dan pengucilan.

Lantas apa yang salah dari suatu budaya dan siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua ini?

Tindakan perundungan pasti menimbulkan trauma terhadap korban baik short term maupun long term. Banyak dampak yang akan terjadi seperti luka fisik, luka psikis, stress, depresi, dan sebagainya. Ada istilah, perundungan merupakan warisan yang tak perlu diturunkan, ternyata realisasinya tidak semudah itu. Dapat penulis beri identitas bahwa perundungan merupakan barang lama yang memiliki sejumlah wajah baru untuk menarik seseorang untuk membelinya. Oleh karena itu, banyak alibi yang bisa dilakukan untuk mengubah ‘wajah’ dari ‘perundungan’. Contoh yang sangat sering ditemui adalah kata ‘tradisi’. Banyak kalangan yang mengatakan perundungan dilakukan karena tradisi turun-temurun, membuat mental semakin kuat, dan sebagainya. Padahal inti dari perbuatan pelaku tersebut adalah perundungan, hanya kemasannya saja yang diubah agar orang memiliki persepsi yang berbeda.

Menilik dalam teori Adler yang mengatakan bahwa superior terjadi ketika diri seseorang memiliki perasaan berlebihan mengenai pentingnya diri sendiri. Sedangkan inferior terjadi ketika individu yang memiliki perasaan tertekan atas ekspektasi dalam dirinya atau dapat dikatakan memiliki kepercayaan diri yang lemah. Contoh yang biasa terjadi adalah kakak kelas yang membully adik kelas, laki-laki meremehkan perempuan, dan sebagainya. Mengapa demikian? Karena anak yang terlihat lemah akan rentan atau potensial menjadi korban perundungan.

Sejauh ini, perundungan telah berkontribusi untuk membuat seseorang menjadi gangguan mental atau yang paling parah stress, depresi, dan akhirnya meninggal dunia. Seperti yang dialami oleh bocah nahas yang berusia 11 tahun. Ia harus meregang nyawa setelah dipaksa kawannya untuk menyetubuhi seekor hewan yaitu kucing. 

Miris, generasi muda yang digadang-gadang menjadi penerus bangsa seakan telah membuat masyarakat ragu akan hal itu. Bagaimana tidak, anak yang seumur jagung memiliki pikiran yang liar dan ekstrem, sehingga mengakibatkan sang korban yang merupakan rekannya stress, depresi, dan meninggal dunia. Bukan tidak mungkin semakin lama perbuatan generasi muda kita semakin keji dan diluar nalar.

Diakui atau tidak moral anak bangsa terus mengalami degradasi. Dilansir melalui www.disdikkbb.org kekerasan remaja di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 50%, 3,8 % generasi muda menyatakan pernah menyalahgunakan narkoba, tawuran meningkat 1,1%. Parahnya 90% video porno yang beredar di masyarakat diperankan oleh generasi muda, seks bebas dan aborsi juga semakin tinggi di kalangan pelajar. 

Bocah nahas di Tasikmalaya diminta untuk melakukan asusila dengan kucing sambil direkam menggunakan ponsel oleh teman sebayanya, hingga depresi dan berakhir meninggal dunia. Beberapa hari sebelum meninggal, rekaman tersebut menyebar dan akhirnya perundungan yang menimpa dirinya semakin menjadi-jadi. Sejak kejadian itu, bocah nahas tersebut sering melamun, malu, dan enggan untuk mengonsumsi makanan. Sehingga sang korban sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Hingga akhirnya diputuskan meninggal dunia. 

Hukum di Indonesia telah bertransformasi menjadi hukum modern yang menginternalisasi nilai restoratif, korektif, dan rehabilitatif. Sehingga bukan lagi berbicara soal balas dendam, namun bagaimana cara memulihkan hubungan baik antara pelaku kejahatan dan korban, jika sang korban telah meregang nyawa? Akankah peringatan Hari Anak Nasional hanya formalitas perayaan belaka?

Perundungan merupakan perbuatan yang keji, dampaknya sangat luas bagi korban. Dilansir dari perkataan Reza Indragiri Amriel, seorang Ahli Psikologi Forensik dalam www.tribunnews.com, jika ditinjau dari kejadian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaku kejahatan sebenarnya terjerat empat tindak pidana, diantaranya kejahatan seksual, kekerasan, fisik, penganiayaan hingga meninggal dunia, dan penganiayaan terhadap satwa. 

Diakui atau tidak, generasi muda semakin rusak ditandai dengan perundungan yang dilakukan oleh anak semakin marak. Perilaku anak semakin amoral dan brutal. Pasca kejadian ini, bukan tidak mungkin beberapa anak di sekolah akan mengalami ketakutan. Hal ini merupakan efek dari kasus perundungan yang dilakukan anak semakin marak.

Sekolah aman, nyaman, dan menyenangkan menjadi kondisi ideal yang didambakan setiap anak. Lingkungan sekolah tersebut ditandai dengan suasana yang inklusif dan tidak diskriminatif. Artinya menerima semua golongan dan minat serta kebutuhan dengan baik. Mengurangi atau bahkan menghilangkan budaya ini membutuhkan perhatian dari segala kalangan, khususnya satuan pendidikan untuk mengembangkan aturan dan budaya yang anti terhadap kekerasan, selain itu juga perlu menciptakan circle yang baik, mulai dari hubungan yang paling dekat, seperti orang tua (keluarga), saudara, lingkungan rumah, sekolah, hingga lingkungan masyarakat.

Intinya, perundungan merupakan warisan yang tak perlu diturunkan dan pendidikan bisa dioptimalkan untuk mengatasi perundungan. 

***

*) Oleh: Rama Fatahillah Yulianto, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_____
*)
 Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES