Kopi TIMES

Hati-hati Parpol Mbelgedes

Selasa, 02 Agustus 2022 - 15:00 | 836.72k
Toto TIS Suparto, Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara.
Toto TIS Suparto, Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara.

TIMESINDONESIA, BANTUL – 1 Agustus 2022 sejumlah partai politik mulai mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bisa ikut Pemilu 2024. Ada banyak tahap untuk lolos ikut pemilu.

Kali ini, bukan soal proses verifikasi di KPU yang akan disoroti, tetapi perilaku parpol menjelang pemilu. Lho kan masih dua tahun lagi? Justru waktu panjang ini akan dimanfaatkan parpol untuk merayu pemilih. Begitu daftar pemilu, gaspol jual jargon.

Mari kita tengok pemilu sebelumnya, Pemilu 2019. Saat itu jargonisme sungguh membuat rakyat jenuh. Ingatlah pada masa-masa jelang pemilu, rakyat ada di mana-mana.  Rakyat ada di baliho, poster, spanduk atau atribut lain milik parpol atau kandidat dari parpol. Rakyat menjadi tagline, slogan, jargon, tekad maupun janji yang dijual parpol.  Tiba-tiba kata rakyat menjadi andalan. Kata rakyat dikomodifikasi.

Masih ingat bunyinya? Ya, di antaranya begini; Berkarya bagi Rakyat, Berjuang demi Rakyat, Maju Bersama Rakyat, Mengedepankan Hati Nurani Rakyat, Tekadku Memperjuangkan Rakyat, Mempertahankan Kedaulatan Rakyat, Penyambung Aspirasi Rakyat, dan Setia kepada Rakyat, serta beragam rakyat lainnya.

Namun semua itu, Mbelgedes, kata seorang warga Surabaya. Mbelgedes merupakan celetukan khas masyarakat Jawa. Kata itu muncul spontan untuk menggambarkan apriori. Ada yang mengartikan omong kosong atau terserahlah, namun bisa juga sekadar ungkapan tak mau tahu, biarlah”, gombal. Sebenarnya tak ada arti yang pas. Seperti bahasa gaul, Tau ah gelap Banyak tafsir, pangkalnya sama; kekecewaan. Semua itu berpangkal dari kekecewaan yang kemudian muncul apriori; kita tak boleh bersikap.

Kenapa apriori? Jika ditelusuri, apriori itu mengkristal ketika rakyat menjadi sadar bahwa mereka dibohongi terus menerus. Setiap jelang pemilu rakyat memang dirangkul, tetapi setelah kekuasaan direngkuh, rakyatpun disisihkan. Begitu yang selalu terjadi saban pemilu.. Habis manis sepah dibuang, kata peribahasa.

Itulah yang dinamakan politik feses. Sedikit dijelaskan di sini, politik feses itu metafor. Ya, itu metafor kekuasaan dari Elias Canetti, sastrawan Bulgaria yang meraih Nobel sastra pada tahun 1981. Perilaku kebanyakan politisi penunggang parpol adalah sebuah praktik politik feses. KataCanetti, feses mengandung seluruh kesalahan kita. Padanya dapat dikenali apa yang telah kita bunuh. Ia adalah jumlah lumatan dari seluruh indikasi-indikasi yang melawan kita. Lumatan itulah menghasilkan hal-hal negatif yang justru enggan dilihat sehingga melahirkan makna ketersia-siaan.

Penggunaan metafor itu mau mengatakan kekuasaan pada mulanya adalah kenikmatan. Para penguasa (peraih kursi kekuasaan) menyecap kekuasaan sebagai kenikmatan, walau kerap merendah dengan sebutan amanah. Ia menjadi sosok yang berlimpah fasilitas, setidaknya negara telah membuatnya hidup menjadi lebih hidup. Kekuasaan itu membuat sejumlah orang patuh -- rela atau tidak rela -- kepada kehendak orang lain, dan sungguh sebuah kenikmatan tatkala orang menjadi patuh kepada kehendak diri. 

Namun nanti dulu, kenikmatan itu bisa menjadi bumerang.  Hati-hati, menikmati kepatuhan bisa melahirkan kesewenangan. Tatkala kesewenangan itu dilumat habis-habis jadilah sesuatu yang negatif; di antaranya kebijakan yang merugikan rakyat. Namun ibarat feses, penguasa tak mau tahu rakyat yang dirugikan. Ia bukan saja tak mau melihatnya atau mencium baunya, tetapi malah menutup hidung, seolah ia mematikan nurani.

Efek domino dari gejala  habis manis sepah dibuang maupun politik feses, adalah  meniadakan rakyat. Parpol mencampakkan rakyat. Pada kondisi ini parpol mempunyai kepentingan sendiri sehingga terlepas dari kepentingan rakyatnya. Dengan kata lain, teori integralistik telah diruntuhkan penguasa. Padahal, teori itu jika bukan sekadar retorika politik mampu menjadi petunjuk jalan ke arah cita-cita luhur yang diidam-idamkan oleh rakyat.

Sudah barang tentu tatkala terjadi peniadaan rakyat maka mustahil untuk mewujudkan cita-cita luhur yang diidam-idamkan. Dalam konteks ini, kesejahteraan sebagai yang diidamkan rakyat tetap melayang di awang-awang.

Ini boleh dibilang pandangan pesimistis. Tetapi faktanya begitu. Dan fakta ini setidaknya membuat kita berhati-hati menilai parpol yang akan "bertanding" pada Pemilu 2024. Fakta itu pula yang menyebabkan sebagian masyarakat kesal. Bisa jadi merekapun bergumam, Mbelgedes!..des desss. Politik memang mbelgedes, atau orang politik yang mbelgedes? (*)

***

*) Oleh: Toto TIS Suparto, Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES