Kopi TIMES

Anomali Presidential Threshold dalam Negara Demokrasi

Kamis, 28 Juli 2022 - 01:11 | 76.66k
Muhammad Hasan Basri, Alumni Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Muhammad Hasan Basri, Alumni Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Dalam buku yang berjudul, Democraties in Development: Politics and Reform in Latin America, Pipit R. Kartawidjaja memaknai Presidential Threshold sebagai syarat calon Presiden terpilih menjadi Presiden. Misalnya di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10 persen dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10 persen dari saingannya terkuat dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian diatas maka semestinya yang dimaksud dengan Presidential Threshold untuk konteks Indonesia adalah ketentuan Pasal 6A ayat (3 dan 4) UUD 1945 yang mengatur bahwa pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan wakil Presiden.

Namun demikian, dalam praktiknya di Indonesia selama ini, Presidential Threshold dimaknai sebagai perolehan suara Pemilu legislatif atau perolehan kursi dengan jumlah minimal tertentu di Parlemen sebagai syarat untuk mengajukan calon Presiden dan calon wakil Presiden. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa: Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. 

Anomali Presidenthial Threshold

Politik Hukum Presidential Threshold adalah sebuah praktik anomali dalam negara-negara demokrasi sehingga perlu direkonstruksi. Ada alasan yang mendasari sehingga Politik Hukum Presidential Threshold perlu direkonstruksi.

Pertama, melihat praktik di berbagai negara yang menganut sistem Presidensial justru apa yang dimaksud dengan Presidential Threshold bukanlah syarat pencalonan melainkan syarat keterpilihan. Diperkuat dalam studi Syamsuddin Haris, praktik yang lazim dalam di negara-negara penganut sistem Presidensial, Presidential Threshold adalah ambang batas untuk keterpilihan Presiden.

Kedua, ambang batas pencalonan Presiden diambil dari hasil Pemilu sebelumnya, partai politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2019 otomatis kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ini tentu tidak sesuai dengan prinsip keadilan pemilu (electoral justice). Meskipun putusan MK Nomor Perkara 14/PUU-XI/2013 menyatakan PT adalah Konstitutional, “Ketentuan pasal pesyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dengan tetap berdasarkan pada ketentuan UUD 1945.” Mahkamah Konstitusi menafsirkan PT sebagai kebijakan hukum terbuka (Open legal policy). 

Putusan MK menyatakan Presidential Threshold adalah konstitutional, tetapi putusan ini masih dapat diperdebatkan. Sebab prinsip dasar negara demokrasi adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi warga negara untuk berkumpul dan berserikat yang pada konteks ini negara harus memberikan hak yang sama bagi partai politik untuk mencalonkan Presiden dan wakil Presiden dalam pemilihan umum.

Selain karena melanggar asas keadilan pemilu (karena hanya memberikan kesempatan bagi parpol lama untuk mencalonkan), juga ditinjau dari sistem Presidential itu sendiri Presidential Threshold dalam pasal 222 UU Pemilu memiliki cacat konsep. Dalam teori Presidensial, Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga siapapun bisa mencalonkan diri sebagai Presiden tanpa membatasi hak politiknya dengan penerapan Presidential Threshold ini secara tidak langsung melakukan pembatasan bagi partai politik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. 

Negara Demokrasi

Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie melihat jumlah parpol yang banyak tidak harus selalu dipandang sebagai hal yang negatif. Menurutnya, di masyarakat super majemuk seperti Indonesia, jumlah partai politik seharusnya tidak dianggap sebagai masalah, karena banyaknya partai politik justru penting untuk membuka ruang seluas-luasnya keanekaragaman aspirasi masyarakat politik Indonesia. Oleh karena itu, banyaknya partai jangan dianggap sebagai sumber masalah, melainkan seharusnya dipandang sebagai solusi untuk mengakomodasi semua kepentingan rakyat Indonesia yang berdaulat dan merdeka. 

Berdasarkan pendapat Jimly Asshddqie di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa partai politik merupakan pilar demokrasi, partai politik dibentuk sebagai jaminan konstitutional yang diakui dan dilindungi dalam UUD 1945 dalam hal kebebasan untuk berkumpul dan berserikat. Sehingga ketika Presidential Threshold diterapkan sebagai syarat ambang batas maka akan membatasai hak-hak partai politik sebab salah satu indikator kemunduran demokrasi adalah membatasi hak asasi sipil atau politik.

Penelitian yang dilakukan oleh Juan Linz soal bagaimana dan mengapa demokrasi mati. Banyak kesimpulan Linz bisa ditemukan dalam karyanya berjudul The Breakdown of Democratic Regimes. Buku yang terbit pada tahun 1978 itu menyoroti peran politikus, menunjukan bagaimana perilaku mereka bisa memperkuat atau mengancam demokrasi.

Itu sebabnya politik hukum Presidential Threshold yang diterapkan hari ini merupakan kesepakatan para politikus untuk membatasi ruang-ruang demokrasi padahal Presidential Threshold itu adalah ambang batas minimum untuk keterpilihan presiden. Dalam konteks Indonesia, prasyarat presidential threshold jelas dan terang benderang diatur dalam konstitusi. Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen mengamanatkan: “ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di indoneisa, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.

Berdasarkan uraian diatas, penulis memberikan saran, bagi Pemerintah dan DPR untuk segera mengkaji pemberlakuan Presidential Threshold dalam rangka untuk menciptakan demokrasi yang lebih berkeadilan. 

***

*) Oleh : Muhammad Hasan Basri, Alumni Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.   

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES