Kopi TIMES

Perbandingan Penerapan Haluan Negara di Beberapa Negara

Minggu, 24 Juli 2022 - 17:00 | 68.60k
Nando Yussele Mardika.
Nando Yussele Mardika.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pasca amandemen ke 4 UUD 1945 kewenangan MPR dalam membentuk GBHN dihapuskan, dengan alasan saat itu MPR tak lagi diberikan hak untuk membuat GBHN dikarenakan pengalaman sejarah pada masa Orde Baru, selain itu juga perencanaan GBHN pada masa Orde Baru tidak efektif dan realisasinya tidak baik.

Merujuk perdebatan pada amandemen UUD yang menghendaki dihilangkannya GBHN dengan anggapan GBHN era Orba disusun tidak melibatkan partisipasi masyarakat, juga tidak mencerminkan sistem presidensial karena pertanggungjawaban Presiden dilakukan ke MPR, pembangunan di era Orba bisa disimpulkan tidak demokratis dan bersifat top down. 

Implikasi hilangnya GBHN baru dirasakan saat ini ketika pembangunan tidak tertata dengan baik, sebagai contoh: 

1.    Dalam bidang pendidikan, berkenaan dengan kurikulum pendidikan, pasca reformasi telah terjadi perubahan kurikulum sebanyak tiga kali yaitu tahun 2004, 2006 dan 2013. Pada 2021, meskipun pemerintah tidak mewacanakan perubahan kurikulum, namun terdapat keinginan mengubah sistem Pendidikan nasional melalui revisi UU 20/2003 yang kemudian dimasukan dalam Prolegnas Prioritas. (Muhammadi tahun 2016)

2.    Dalam bidang ekonomi, kondisi perekonomian lndonesia masih sangat rentan terhadap kondisi eksternal dan internal, sebagai contoh dalam hal kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu. Kementrian perdagangan mengubah kebijakan enam kali dalam dua bulan, untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng. Namun, ketika dilaksanakan raker menteri perdagangan malah menyampaikan bahwa dia tidak mampu mengatasi penyelewengan minyak goreng. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa negara tidak memiliki roadmap dalam mengatasi problem yang menyangkut hajat hidup orang banyak. 

3.    Dalam bidang Kesehatan, ilmu pengetahuan dan Inovasi, tahun 2020 terjadi pandemi covid-19 tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Berbagai macam cara dilakukan untuk menekan kasus positif Covid-19 salah satunya adalah dengan melaksanakan vaksinasi. Indonesia sendiri per 31 Juli 2021 belanja vaksin telah mencapai Rp 11,72 triliun untuk 65,79 juta dosis vaksin. Memang tugas negara adalah melindungi segenap bangsa, namun jika saja Indonesia memiliki proyeksi pembangunan dalam bidang Kesehatan, Ilmu Pengetahuan dan Inovasi dana sebesar Rp 11,72 triliun dapat digunakan untuk penelitian untuk membuat vaksin sendiri. Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah ketika terdapat anak bangsa berhasi melakukan penelitian dan menemukan vaksin yang diberi nama vaksin nusantara tidak mendapat apresiasi malah diberhentikan dari pekerjaanya sebagai dokter. 

4.    Di bidang sosial dan budaya, jika dilihat secara seksama kondisi sosial budaya bangsa Indonesia masih jauh dari harapan, bisa dibilang indonesia sangat terbuka terhadap budaya negara lain. Tapi persoalannya, dari budaya asing itu diambil sisi negatifnya, bukan sisi positifnya. Misalnya, seks bebas, LGBT, gaya hidup bermewah-mewahan, minuman keras, narkoba dan lain sebagainya, bukan berarti indonesia tidak berusaha mengatasinya, akan tetapi secara praktik penanggulangan tidak efektif. Semuanya terjadi lagi-lagi dikarenakan tidak ada roadmap secara menyeluruh yang dapat memecahkan akar dari persoalan tersebut. 

Di atas merupakan beberapa contoh ketidak sinambungan pembangunan di Indonesia meskipun tidak secara menyeluruh namun secara kasuistis dapat dilihat dampak tidak adanya Haluan Negara, disi lain Indonesia mengadopsi SDGs sebagai indikator kesusksesan pembangunan yang hari ini menjadi konsentrasi Bappenas dalam pembangunan disemua sektor, apabila kita berbicara sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita memiliki indikator sendiri dalam hal pembangunan, kebutuhan suatu bangsa yang megetahui adalah bangsa itu sendiri.

Di sini akan dibandingkan Penerapan Haluan Negara di enam negara, yaitu Irlandia, India, Filipina, Afrika Selatan, Brazil, Korea Selatan sebagai sample, karena dalam perkembanganya dengan doktrin konstitusionalisme, secara khusus tentang Haluan Negara yang mengandung prinsip-prinsip direktif atau directive principle of state policy (DPSP) yang merupakan prinsip-prinsip umum yang memandu pemerintah dalam tindakannya saat ini dan arah masa depan mengenai bangsa dan rakyatnya. Prinsip ini selain menggambarkan Haluan Negara sebagai cita-cita yang harus dipertimbangkan oleh negara dalam perumusan kebijakan dan membuat undang-undang untuk mengamankan “keadilan sosial, ekonomi dan politik” bagi semua orang, juga mengandung “maksud dan tujuan negara” di bawah konstitusi. 

DPSP adalah seperangkat prinsip yang menghidupkan aspirasi rakyat dan bangsa. Penelitian  Chinnapa tahun 2016 menyatakan bahwa “directive principles specify the programs and the mechanics of the state to attain the constitutional goals set out in the preamble”. Selanjutnya ditegaskan bahwa DPSP adalah _core and living constitutional principles_. Hal senada juga dapat menggambarkan DPSP sebagai “collection of constitutional provisions that require a state to carry out certain obligations in fulfilment of its mandate for the citizenry”.

1.    Filipina: disebutkan secara tegas dalam Pasal II Konstitusi Filipina 1987 dengan Declaration of Principles and State Policies Principles. 

2.    Irlandia: Disebutkan secara tegas dalam Pasal 45 Konstitusi Irlandia 2015 yang berjudul Directive Principles of Social Policy.

3.    India: Disebutkan secara tegas dalam Bab IV Konstitusi India dengan judul Directive Principles of State Policy. 

4.    Afrika Selatan: Tidak disebutkan secara tegas dalam Konstitusi Afrika Selatan, namun beberapa pengaturan di dalamnya mengandung prinsip Haluan Negara.

5.    Brazil:Tidak disebutkan secara tegas dalam Konstitusi Brazil, namun beberapa pengaturan memperlihatkan prinsip-prinsip Haluan Negara. 

6.    Korea Selatan: Tidak disebutkan secara tegas dalam Konstitusi Korea Selatan, namun beberapa pengaturan memperlihatkan prinsip-prinsip Haluan Negara

Dari temuan di atas terdapat dua temuan yang utama yaitu, tegas diatur dalam konstitusi seperti Filipina, India dan Irlandia dan tidak tegas diatur Afrika Selatan, Brazil dan Korea Selatan.

Dari keenam negara di atas, jika melihat struktur konstitusi Indonesia lebih dekat dengan Afrika selatan, telebih mengenai pembangunan juga tidak di jelsakan secara tegas di dalam konstitusinya. 

Namun jika ingin merujuk terkait perincian Haluan negara dalam hal ini directive principle of state policy (DPSP) menurut penulis sangat cocok dengan model Filipina mempunyai suatu haluan penyelenggaraan negara yang tertuang dalam Pasal II yang berjudul Declaration of Principles and State Policies (DPSP). DPSP yang diadopsi Filipina membedakan secara tegas antara principles dan policies. Pasal II tersebut dibagi menjadi dua judul yaitu “Principles” dan “Policies”, dalam hal ini “Principles” memuat prinsip-prinsip fundamental ketatanegaraan Filipina seperti konsep kedaulatan rakyat, bentuk pemerintahan, demokrasi, supremasi masyarakat sipil diatas militer, tugas utama negara, pemisahan secara tegas negara dan gereja, dan lainnya. Sedangkan muatan dalam “Policies” mengandung arahan terhadap kebijakan yang lebih bersifat spesifik, seperti penjaminan hak asasi manusia, national economy and patrimony, persoalan reformasi agraria dan kekayaan sumber daya alam, land reform perkotaan dan perumahan, perburuhan, dan lain-lain.
 
Pembedaan tersebut memberikan signifikansi dikarenakan principles yang dijabarkan dalam Konstitusi Filipina bertujuan sebagai sebuah aturan yang mengikat (bindingrules) yang harus dipatuhi oleh pemerintah dalam melaksanakan penyelenggaraan negara. Termasuk pula dalam membentuk perencanaan pembangunan, penganggaran dan pembentukan aturan dan kebijakan. Beda halnya dengan policies, yang merupakan petunjuk (guidelines) bagi seluruh orientasi negara. 

Sedangkan model indonesia dengan Sistem Pembangunan Nasional UU Nomor 25 Tahun 2004 Indonesia lebih dekat dengan sistem negara Brazil. Negara ini memiliki National Congress dalam konstitusi yang diberikan kewenangan untuk menentukan haluan penyelenggaraan negara. Hal tersebut  dapat dilihat dalam konstruksi Pasal 48 Konstitusi Brazil, yang mana National Congress dapat menetapkan haluan penyelenggaraan negara dengan persetujuan atau dukungan Presiden sebagaimana tertulis: “pluriannual plan, budgetary directives, annual budget, credit transactions, public debts and issuances of currency” dan angka 4 “national, regional dan sectorial plans and programmes development;” Tidak hanya menetapkan, National Congress kemudian juga mempunyai kuasa untuk “...consider the reports on the execution of Government plans” apabila dikontekskan dengan Indonesia ini sama halnya ketika dalam penyusunan RPJPN harus disahkan dan disetujui oleh DPR dalam pelaksanaannya. 

Karena Pasal 48 angka IV Konstitusi Brazil menegaskan bahwa National Congress kembali menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan sektoral, bentuk perencanaan di Brazil bukan merupakan comprehensive aspects, akan tetapi bersifat kebijakan (policy) yang membidangi hanya sektor tertentu. Selain itu, ketentuan materi muatan daripada angka II dan angka IV Pasal 48 tersebut semuanya disusun oleh Presiden, sementara National Congress mengesahkan dan menetapkan.

Memang sebagaimana kondisi politik saat ini, amandemen terbatas belum disepakati dalam hal memasukan Haluan Negara kembali ke dalam UUD, namun demikian kebutuhan mengembalikan Haluan Negara menjadi hal yang sangat penting. Dari analisa di atas terdapat tiga hal yang dapat disimpulkan yaitu:

Pertama, sebagaimana dijelaskan pada latar belakang indikator pembangunan bertumpu pada SDGs yang menjadi konsen dari Bappenas dalam pembangunan, padahal jika merujuk pada sejarah, Bappenas ketika era Presiden Soekarno bernama Deppernas memiliki tugas merencanakan pembangunan berdasarkan kebutuhan bangsa Indonesia. Karena itu dalam hal pembangunan nasional sepantasnya Bappenas merancang perencanaan pembangunan nasional yang didasarkan pada kebutuhan bangsa bukan hanya menggunakan SDGs sebagai tolok ukur pembangunan. 

Kedua, sebagaimana dijelaskan dalam Bab analisis terdapat dua model Haluan Negara pada enam Negara yang pertama tertulis dan kedua tidak tertulis dalam konstitusinya, namun demikian dari kedua model tersebut terdapat lembaga yang mengesahkan dan membentuk, misalnya di Brazil ditetapkan dalam Nasional Kongres, jika dikontekskan dengan Indonesia harusnya ini menjadi wilayah MPR. 

Ketiga, sebenarnya bukan suatu hal yang aneh Haluan Negara dimasukkan ke dalam Konstitusi, terlebih tidak bertentangan dengan sistem Presidensial seperti halnya di Filipina dengan Declaration of Principles and State Policies (DPSP). (*)

*) oleh Nando Yussele Mardika, Tenaga Ahli MPR RI, Peneliti Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES