Kopi TIMES

Memahami Subkultur dari Citayam Fashion Week

Jumat, 22 Juli 2022 - 02:37 | 218.62k
Toto TIS Suparto; Penulis Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara.
Toto TIS Suparto; Penulis Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Bila Bonge ber-catwalk di zebra cross Taman Dukuh Atas, Jakarta, tentu merupakan hal biasa. Bonge, remaja Citayam, menjadi terkenal karena aksinya itu. Namun jika Wakil Presiden Bank Investasi Eropa Kris Peeters dan rombongan catwalk di tempat itu, tentu menjadi pertanyaan: ingin jadi "member" Citayam Fashion Week mister?

Ternyata bukan itu tujuannya. Peeters penasaran dengan viralnya Citayam Fashion Week (CFW). Pada mulanya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menunjukkan video CFW, dan pada akhirnya melihat Taman Dukuh Atas, kemudian sekalian jajal catwalk zebra cross itu pada Selasa (19/7/2022) lalu. Tentu saja ditemani Gubernur Anies dan beberapa petinggi lain, seperti Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket, Head of VP Kris Peeters' Office Sunita Lukhoo, dan Head of EIB Group for Southeast Asia & The Pacific Lucas Lenchant.

Orang-orang sibuk itu masih juga penasaran dengan CFW. Banyak orang penasaran juga, kok bisa jadi viral begitu? Lantas sejumlah pertanyaan lain muncul, gejala apakah ini?

Saya melihat Citayam Fashion Week sebagai bentuk pembebasan dari sekelompok anak muda ( dalam hal ini dari pinggiran Jakarta : seperti Citayam, Bojonggede mungkin sampai Cilebut) dari patron budaya yang ada. Pembebasan itu bisa  lewat tata rias, pakaian, model rambut, bahkan sepatu.

Namun pembebasan itu bukanlah perlawañan total. Fenomena CFW adalah sub culture ( subkultur / sub budaya ), bukan counter culture.
Subkultur merupakan gejala budaya yang keluar dari induk budaya. Pelaku subkultur acap mengekspresikan lewat simbol-simbol. Maka dari itu, kajian subkultur sering dikaitkan dengan simbolisme entah itu dalam bentuk fesyen/ pakaian, musik maupun perilaku pelakunya. 

Mereka menyempal dari induk budaya, tetapi tidak bertpretensi mengubah budaya arus utama. Bukan melawan total, namun tetap ada ketidakpuasan terhadap budaya arus utama karena tidak mengakomodir aspirasi, bahkan ekspresi, pelaku subkultur. Atas dasar inilah mereka berkreasi sendiri tanpa memedulikan diterima atau tidak oleh publik. Yang penting: berekspresi semau dorongan aspirasi mereka.

Sementara counter culture yang ditampilkan oleh seseorang atau sebuah kelompok acap bertentangan dengan mainstream culture. Tujuannya adalah menentang kemapanan yang kaku bahkan sering dianggapnya hypokrit, mereka menginginkan perubahan menuju sebuah norma dan perilaku baru yang lebih bisa diterima oleh generasi yang lebih muda.

Celakanya  seringkali counter culture menunjukkan perilaku ekstrim demi perubahan tersebut. Inilah  yang justru menyulut konflik yang memungkinkan berujung bentrok. Bisa dengan siapa saja, entah pemegang wewenang norma, adat, agama, sampai pemerintahan.

Sekali lagi, subkultur merupakan gaya hidup maupun perilaku - bahkan sikap dan nilai - yang berbeda dengan budaya masyarakat umum, tetapi tetap punya relasi dengan budaya dominan tersebut. Nyempal tetapi bukan melawan.

Tinggal kita mengolah energi positif dari subkultur tersebut. Ketika pelaku subkultur beraksi, dari mereka ada  energi positif, termasuk dari Citayam Fashion Week. Pada mulanya mereka tampil beda. Seadanya. Tetapi sejalan waktu, beda mereka mulai mengusung nilai kreativitas. Tidak lagi seadanya. Mulai dipikirkan disain busana, kelayakan fesyen dan hitungan ekonomis. Kalau ini dipupuk, bisa saja lahir tren fesyen dari Citayam Fashion Week. Inilah subkultur yang naik kelas menjadi budaya dominan. Kita lihat kasus Harajuku di Jepang. Puluhan tahun lalu adalah subkultur.

Tahun 2013, semisal, ada kebiasaan  anak muda Jepang "mejeng" di bagian luar Stasiun Shibuya yang letaknya tak jauh dari kawasan Harajuku, Tokyo. Pelaku tampil di pusat keramaian dengan tujuan ekspresi mereka dilihat banyak orang.

Begitupun Citayam Fashion Week, dipilih Stasiun Dukuh Atas tempat lalu lalang orang banyak. Lagi pula, dari Citayam maupun Bojonggede mudah dijangkau dengan KRL yang murah.

Kalau energi positif itu dipupuk, mereka akan berkembang. Jika mereka tumbuh menjadi komunitas, apalagi meruncing sebagai identitas, maka akan bertahan. 

Kita berharap mereka tumbuh sebagai komunitas, bahkan identitas mereka jelas. Sebagai komunitas, mereka saling berkomunikasi. Punya media sesama mereka. Punya event untuk menyalurkan  hasrat. Siapa tahu bakal menjadi kiblat mode tanah air. 

***

*) Oleh: Toto TIS Suparto; Penulis Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES