Kopi TIMES

Membangun Organisasi Pembelajaran di Era 4.0

Rabu, 20 Juli 2022 - 16:48 | 70.75k
Muliadi Tutupoho, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Maluku Utara
Muliadi Tutupoho, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Maluku Utara

TIMESINDONESIA, MALUT – "Jika organisasi tidak terus menerus beradaptasi dengan lingkungan melalui proses belajar cepat dan fektif, maka ia akan mati. Singkatnya, perubahan dan kekuatan eksternal menuntut adaptasi organisasi atau kemusnahan organisasi." (Marquardt, 2002 dalam Supriadi 2021).

Di era volatility, uncertainty, complexity and ambiguity (VUCA) yang semakin dinamis saat ini, pemerintah Indonesia berupaya untuk mewujudkan birokrasi berkelas dunia tahun 2024, dengan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) birokrasi yang agile (cekatan/lincah), mampu beradaptasi dan meningkatkan daya saing sehingga tidak tertinggal dengan bangsa lain. 

​Dengan kata lain, organisasi sektor publik atau birokrasi penting menyesuaikan diri dengan berbagai pekembangan dalam mengelola organisasi. Salah satu langkah yang dapat ditempuh ialah melalui organisasi pembelajaran.

Dawood et al (2015 dalam Supriadi, 2021) mengatakan, organisasi pembelajar harus mengubah proses pembejaran/pelatihan pegawai menjadi aktivitas pemecahan masalah organisasi, inovasi, dan pembelajaran. Organisasi pembelajar harus menjadikan pembelajaran sebagai bagian tidak terpisahkan dari semua aktivitas. Pembelajaran harus menjadi budaya organisasi. 

​Proses pembelajaran dalam organisasi birokrasi dapat terlaksana dengan baik sangat ditentukan oleh peran pemimpinnya. Yakni pemimpin yang memiliki kemampuan berpikir visioner, inovatif, berintegritas, bertalenta, memperhatikan pegawai, mempertahankan pegawai berkinerja terbaik, cekatan mengelola budaya organisasi, komitmen dengan pengembangan diri, menginspirasi, menyikapi ambiguitas, mendayagunakan seefektif dan seefesien mungkin sumber daya yang ada, membangun hubungan yang baik, dan mampu menentukan tujuan ke depan. 

Selain itu, pemimpin yang memimpin organisasi pembelajaran harus memperhatikan pemahaman dan keyakinan yang berbeda dari pegawainya. Heil dan Alepin (dalam Goldsmith et al., 2004; Supriadi, 2021) mengemukakan beliefs baru.

Pertama, trust is given, not earned. Kepercayaan merupakan hasil pemberian, kepercayaan didapat dari memberikan kepercayaan. Kedua, people want to do the right thing, orang cenderung bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Ketiga, freedom is the essence of motivation. Kebebasan adalah kebutuhan dasar, sehingga perlu menciptakan iklim kemandirian dengan tetap menjaga akuntabilitas secara bersama.

Keempat, manusia secara kondrati ingin menjadi lebih baik dan selalu mencari makna dalam pekerjaannya. Kelima, manusia memiliki kemampuan dan keinginan besar untuk belajar dan berkembang. Keenam, manusia lebih memilih tanggung jawab dibandingkan ketergantungan dan sesuatu yang menarik daripada yang membosankan. Ketujuh, people seek to be led, not managed, orang lebih memilih dipimpin daripada dikelola.

Kedelapan, orang ingin bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Kesembilan, harus berkomunikasi sebanyak mungkin dengan orang banyak. Kesepuluh, orang ingin memiliki dan merasakan perkembangan dalam pekerjaannya tentang organisasi dan perkumpulannya. Kesebelas, orang berbeda-beda dan ingin diperlakukan sebagai individu yang unik di tempat kerjanya; dan kedua belas, keinginan setiap orang untuk merasa penting, dibutuhkan, berguna, berhasil, bangga, dan dihormati.

​Proses pembelajaran di dalam organisasi dilakukan tidak sesaat, melainkan terus-menerus atau berkelanjutan. Ada pendekatan konkret sederhana untuk memulai penerapan organisasi pembelajar. Cara itu menurut Nonaka dan Takeuchi (dalam Milner, 2000) adalah dengan berbagai pengetahuan tersembunyi (tacitknowledge) melibatkan banyak orang yang memiliki latar belakang, perspektif, dan motivasi yang berbeda-beda. Ini merupakan langkah penting membentuk pengetahuan organisasi (organizational knowledge).

Organisasi pembelajaran juga dapat dibangun dengan melaksanakan sistem pembelajaran, transfer pengetahuan, berbagi pengetahuan, mengakumulasi modal manusia (human capital), dan menciptakan lingkungan kondusif untuk membangun elemen-elemen tersebut (Aliev dan Sigov, 2017).  Aliev dan Sigov berpendapat, langkah yang mesti ditempuh antara lain mengidentifikasi sejauhmana kondisi saat ini sesuai dengan prinsip baru organisai pembelajaran dan bagaimana prospek penerapannya. Mempelajari kemampuan dan kemauan pegawai bekerja dalam kelompok (departemen/bidang/bagian/sub bagian/tim). Mengidentifikasi tipe sosionik (socionic) pegawai (jenis metabolisme informasi) yakni ciri spesifik persepsi terhadap infromasi dan perilaku proefsionalnya dalam organisasi. Menetapkan perangkat (instrumen) sesuai dengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh manajemen.

​Oleh karena itu, Wheatley mengatakan, organisasi mesti mengubah informasi menjadi pengetahuan dengan pendekatan manajemen pengatahuan (knowledge management), survival skill yakni kemampuan individu pegawai untuk belajar termasuk belajar dalam kelompok (tim) dan organisasi. Pembelajaran menurut Smallwood (dalam Goldsmith et al, 2004) dapat ditempuh melalui choice, consequence, dan correction.  Pembelajar selajumencari alternatif (choice), memperhatikan  konsekuensinya baik atau buruk (concequence),  dan memperbaiki yang didapat dari pembelajaran sebelumnya jika terjadi hal yang buru atau tidak memuaskan (correction). 

Proses membangun dan mempraktikkan organisasi pembelajar ialah pada semua komponen organisasi melalui pendekatan yang sistematis, disebut system learning organization model (Marquardt, 2000). Organisasi pembelajar dapat berjalan jika dilakukan dengan prinsip-prinsip pembelajaran di dalam organisasi, misalnya dikemukakan oleh Schwand dan Marquard (2000). Yakni partisipasi aktif, pembelajar mengetahui pengetahuan yang didapat, mentransfer hasil pembelajaran khususnya di luar waktu kerja, penguatan pada perilaku yang sejalan, ada motivasi dari pembelajar, punya kemauan untuk berubah, melatih dan mengulang, dan menyediakan waktu untuk melakukan refleksi. 

​Seperti dikatakan di atas, tipe kepemimpinanlah yang menentukan keberhasilan dalam melaksanakan organisasi pembelajar, dimana prinsip dan langkah sederhana dikemukakan beberapa ahli tersebut. Saat ini, tipe kepemimpinan yang berkembang termasuk di birokrasi pemerintah adalah pemimpin partisipatif, demokratis, digitalis, dan kewirausahaan atau memiliki jiwa wirausaha. Di samping itu, mesti didukung oleh setiap pegawai yang memiliki mindset untuk berubah. Bukan pegawai yang apatis atau bersikap masa bodoh.Tipe kepemimpinan otoriter atau semi otoriter sudah ketinggalan dengan perkembangan dan kemajuan di era revolusi 4.0. Tipe kepimpinan otoriter dan semiotoriter dan pegawai apatis tidak relevan dengan upaya membangun organisasi pembelajar di lingkungan organisasi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah!

***

*) Oleh: Muliadi Tutupoho, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Maluku Utara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES