Kopi TIMES

ACT, Ashiddiqiyah dan Kemuliaan Islam

Senin, 18 Juli 2022 - 15:00 | 69.97k
Amirudin Mahmud, Pemerhati Sosial Politik dan Keagamaan
Amirudin Mahmud, Pemerhati Sosial Politik dan Keagamaan

TIMESINDONESIA, INDRAMAYU – Dalam banyak teks, Islam diyakini sebagai agama yang mulia, unggul dan tinggi. Hadist Nabi Muhammad SAW menyebutkan al Islam Ya’lu Wala Yu’la ‘alai. Sementara dalam Alquran surat At-Taubah ayat 40 ditegaskan bahwa kalimat Allah itu tinggi, unggul.

Sebagai agama samawi yang turun dari langit keunggulan Islam mudah dipahami. Hanya keunggulan Islam tidak dapat terwujud dengan sendirinya. Keunggulan Islam wajib direalisasikan oleh pemeluknya dengan mempraktikkan ajaran yang ada di dalamnya. Akan berbalik arah ketika perilaku pemeluknya tak mencerminkan ajaran Islam yang mulia tersebut. Islam menjadi rendah, terendahkan.

Itulah yang dimaksud dengan ungkapan al Islam mahjubun bilmuslimin. Bahwa kemuliaan, keunggulan Islam terhalang oleh kaum muslilmin sendiri. Perilaku umat Islam telah mencemari, merendahkan agama yang dipeluknya. Inilah penistaan agama yang sesungguhnya. Perilaku oknum merusak semua. Ibarat pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga. Satu kesalahan menyebabkan semua bisa disalahkan. Perilaku oknum (baca:seorang muslim) mencoreng komunitas, jamaah bahkan Islam itu sendiri.

Belakangan Islam di nusantara dalam keprihatinan. Citra Islam rusak disebabkan perilaku dan praktik keagamaan pemeluknya. Islam sebagai agama yang mulia telah tercemari oleh perilaku umatnya sendiri. Islam nusantara yang digadang menjadi model Islam di dunia tercoreng disebabkan ulah sebagian dari kita. Ada serangkaian peristiwa yang memalukan sekaligus memilukan bagi umat Islam saat ini. Perilaku oknum ustaz, kiai, da’i yang dipandang sebagai tokoh justru tak mencerminkan keluhuran agama yang dipeluknya. Sebaliknya menjadi contoh buruk bagi khalayak luas.

Yang lagi viral, adalah ACT organisasi kemasyarakatan yang bergerak sebagai penggalang dana untuk berbagai aksi kemanusiaan dijadikan oleh sekelompok orang yang diklaim sebagai para ustaz diduga melakukan penyelewengan dana publik. Infak, sedekah dan dana sosial dari masyarakat dijadikan sebagai alat memperkaya diri. Mereka mengambil dari dana yang terkumpul sebagai uang operasional dan gaji mereka hingga mencapai 13 persen. Ini menyalahi aturan yang memperbolehkan menggunakan dana sosial sebagai operasional maksimal 10 persen. Tercatat dalam setahun donasi masyarakat luas itu terkumpul tak kurang dari 1 triliun rupiah.

Penulusuran majalah Tempo telah mengungkap betapa besar gaji para petinggi dan karyawan ACT. Untuk para petinggi gaji bulanan mereka mencapai ratusan juta rupiah dengan fasilitas yang serba mewah seperti mobil dan lainnya. Perbuatan mereka sungguh memalukan. Mengambil keuntungan besar dari donasi umat yang lugu. Belum lagi diberitakan bahwa ada aliran dana dari ACT ke gerakan terorisme internasional. Mereka seperti merampok uang umat dengan lebel donasi, kepedulian kemanusian, infak dan sedekah. Agama dijadikan alat untuk memperkaya diri.

Sebelumnya, menggunakan metode yang mirip, seorang ustaz kondang memperalat, membodohi umat dengan membawakan  konsep infak dan sedekah secara salah kaprah. Menarik uang jamaah dengan cara paksa berlebel sedekah dan infak. Menjanjikan akan melipatkangandakan rizki seorang jika mau bersedekah.  Sungguh sebuah pembodohan yang memalukan.

Ada lagi kasus pencabulan sejumlah (baca: belasan) santri yang diduga dilakukan oleh putra kiai dalam lingkungan pesantren tersohor bernama Ashiddiqiyah di Jombang Jawa Timur. Panutan umat yang sepatutnya menjadi teladan justru melakukan tindakan asusila, bejad, norak dan tak berprikemanusian. Lebih dari itu, sedih rasanya ketika menyaksikan sejumlah massa membentengi pelaku pencabulan dengan alasan melindungi marwah kiai dan pesantren. Sebuah kedunguan maksimal yang dipertontonkan. 

Sebelumnya kita juga dikejutkan dengan kelakuaan pimpinan salah satu pesantren di Bandung Jawa Barat terhadap santri yang notabene adalah anak-anak yatim yang diasuhnya. Jumlah korban pun tak sedikit. Anak-anak lugu tak berdosa itu menjadi korban nafsu bejad sang guru ngaji. Pemerkosaan dilakukan berulang-ulang dalam kurun waktu lebih dari satu tahun. Dari perbuatan keji nan menjijikan itu telah lahir sejumlah anak. Semua terjadi di lingkungan pesantren. Memalukan bukan?

Kenapa demikian?

Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang menelatarbelakangi serangkaian peristiwa yang memalukan sekaligus mencoreng wajah Islam tersebut. Pertama, terkait motif beragama. Dalam Alquran surat Al Bayyinah ditegaskan bahwa beragama (baca: menyembah Allah) itu sepatutnya dilakukan secara ikhlas, tulus semata-mata ingin mendekatkan diri pada Allah dengan menyembah, mengangungkan-Nya. Dalam beragama tidak boleh tercampur dengan motivasi duniawi atau lainnya. Contoh sederhana shalat yang dilakukan tak boleh dengan harapan guna banyak memperoleh rizki misalnya. Saat motivasi salah dalam beragama maka kita tak akan mendapatkan apa-apa dari beragama kecuali sesuatu yang menjadi motivasinya. Ada sementara orang beragama dengan motivasi kesenangan dunia semisal harta, tahta juga wanita. Bagi mereka agama tak lebih dari sekadar alat pemenuhan nafsu mereka belaka.

Kedua, keluguan umat. Lugu itu dikarenakan minimnya ilmu. Bisa juga karena disebabkan mengabaikan akal dalam berperilaku juga beragama. Beragama sepatutnya tak mengabaikan akal sehat. Di sini mempelajari logika menjadi tuntutan bagi setiap orang muslim dalam beragama. Banyak orang terjebak dalam beragama karena mengabaikan logika. Sekali lagi ditegaskan bahwa agama itu butuh akal. Agama akan sirna, hilang saat akal diabaikan. 

Hal di atas menjadi tantangan umat Islam sekarang. Oleh karena itu seharusnya disadari bahwa beragama itu butuh ilmu. Tak heran jika nabi Muhammad SAW mewajibkan umatnya untuk senantiasa belajar. Kewajiban belajar itu sepanjang hidup. Kemudian logika dan akal sehat kudu dijadikan alat atau pisau yang membedah berbagai pemahaman atau interpertasi terkait ajaran agama. Seperti menjadi maklum dalam agama terdapat banyak pandangan, golongan, dan madzhab. 

Disamping itu, umat membutuhkan model, teladan, contoh nyata. Ini tantangan bagi mereka yang ditokohkan dalam beragama seperti para ustaz, kiai, ajengan, habaib dan lainnya. Berhati-hatilah dalam berpendapat, bersikap dan bertindak. Terus terang umat Islam saat ini miskin teladan. Banyak orang pandai agama tapi sedikit orang benar dalam beragama. Berlimpah tokoh, kurang panutan.

Walhasil beragama itu butuh niat atau motivasi yang ikhlash. Beragama itu kudu dengan ilmu. Berlimu sepatutnya menggunakan logika adan akal sehat. Kemudian mari kita mengamalkan ajaran agama secara benar sehingga setiap dari kita menjadi teladan di lingkunganya masing-masing. Umat berakhlak mulia, Islam menjadi unggul dan jaya. Wa Allahu Alam Bishawab 

***

*) Oleh: Amirudin Mahmud, Pemerhati Sosila Politik dan Keagamaan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES