Kopi TIMES

Muslim Pengemis

Jumat, 15 Juli 2022 - 10:25 | 69.60k
Moh Ramli, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta
Moh Ramli, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta

TIMESINDONESIA, JAKARTASAYA sengaja tak memakai tanda (") dalam kata pengemis, karena seperti itulah realitanya hingga sekarang. Ketika pulang kampung ke Sumenep, Madura, muslim pengemis ini meresahkan sekaligus memalukan. 

Meresahkan karena jalan untuk umum berpotensi tersendat dan bisa fatal karena kecelakaan. Memalukan jelas, karena ko seakan-akan wajah Islam adalah agama yang menganjurkan meminta-minta di jalan untuk pembangunan Rumah Tuhan.

Jika ke Sumenep, pembaca akan menjumpai beberapa titik orang-orang membangun pos kecil di pinggir jalan. Lalu mereka berjejer di tengah atau di pinggirnya. Memegang semacam tempat duit. Lalu berharap setiap manusia berbudi luhur dan baik hati yang lewat akan melempar recehan mereka.

"Pagegger duebu. Semoga berkah rezekinya buk, pak enggih," demikian kira-kira suara yang amat lantang dan menggelegar mereka karena menggunakan Toa Masjid. Untuk translate bahasa Madura di atas, Anda bisa tanya ke teman di sebelahnya.

Apakah pemandangan tak elok itu juga hanya ada di Madura. Ternyata tidak, di daerah lain pun begitu. Pun di Jakarta. Salah satunya Anda bisa saksikan sendiri di Jalan Proklamasi Jakarta Pusat. Anak muda, berbaju putih, berkopiah hitam, di pinggir jalan yang amat padat, lalu menengadahkan jaring, sembari menunggu para pengendara mobil dan motor yang mandi keringat karena sengatan matahari itu melempar recehannya.

Sepertinya mereka adalah panitia pembangunan masjid, ada juga yang hanya sekedar loyalitas saja. Rela panas-panas demi masjid yang diperjuangkan bisa segera terbangun segera mungkin. Benarkah itu adalah indikasi semangat beragama yang nyata yang diajarkan dalam Islam itu sendiri? Sebagai tafsir atau keyakinan mereka mungkin saja jawabannya: iya.

Cara-cara mereka itu sebenarnya sudah amat keras dikritik oleh banyak pihak. Entah apa gerangan, pemandangan tersebut hingga saat ini tak jua hilang. Apakah tafsir agama yang berbeda, saya tidak tahu. Apa karena Indonesia masyarakatnya mayoritas beragama Islam? Saya juga tidak tahu.

Namun, sungguh begitu amat menakutkan jika mayoritas juga membenarkan perbuatan tersebut. Citra muslim pengemis di tanah air jelas akan susah atau bahkan akan permanen hingga kiamat nanti.

"Yang bisa membuat citra agama ternista adalah umatnya sendiri, bukan orang luar. Citra Islam akan ternista oleh muslim sendiri. Yakni dengan tingkah lakunya yang tak islami atau bahkan bertentangan dengan ajaran Islam," demikian jika boleh meminjam kata-kata Habib Husein Ja'far Al Hadar dalam bukunya berjudul "Tuhan Ada Di Hatimu."

Menurut Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya berjudul "Berlomba Membangun Rumah Tuhan" menyampaikan, fenomena ini salah satu karena ada sikap masyarakat yang salah kaprah terhadap pembangunan masjid tersebut. Seolah membangun rumah ibadah sudah merupakan kebajikan yang dinilai tinggi oleh Tuhan.

Menurutnya, konsepsi sebagian besar umat mengenai tempat ibadah juga masih sering keliru. Masjid, secara harfiah, adalah tempat bersujud kepada Allah. Dengan demikian, pembangunan masjid dikhususkan hanya untuk kegiatan ritual belaka. Upaya membangun masyarakat agar berdaya dan sadar akan hak-haknya, baik secara politik maupun sosial, jarang dianggap sebagai bagian dari kegiatan memakmurkan masjid. 

Agar tak berlarut-larut, saya memandang, para tokoh agama atau pun para ulama harus memandang serius kembali persoalan ini. Atau bahkan pemerintah. Tapi jelas itu susah, potensinya bisa saja teriakan "pemerintah penista agama" pun kembali nyaring dan trending topik di media sosial.

Menurut saya, seperti apa yang selalu di sampaikan oleh almarhum Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, bahwa Islam adalah agama peradaban, agama yang mampu menjawab segala tantangan dari zaman ke zaman untuk umatnya, agar tak tertinggal dan digilas oleh kehidupan itu sendiri. Namun, sepertinya hal itu adalah akan hanya jadi selogan semata jika mentalnya masih muslim pengemis. 

Demikian.

 

***

* Oleh: Moh Ramli, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES