Kopi TIMES

Bahasa Tidak akan Pernah Netral (Hubungan Antara Kognisi dan Ideologi)

Sabtu, 09 Juli 2022 - 16:03 | 69.32k
Andre Anugrah, Mahasiswa Doktoral Linguistik, Pemelajar, Pengajar dan Peneliti Bahasa, serta Kritikus Susatera.
Andre Anugrah, Mahasiswa Doktoral Linguistik, Pemelajar, Pengajar dan Peneliti Bahasa, serta Kritikus Susatera.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ma’ruf dikenal di dunia linguistik kognitif sebuah sirkuit tuturan yang diperkenalkan oleh Bapak Linguisitik Modern Ferdinand de Saussure (1957-1913) bahwa setiap usaha manusia membuat tuturan baik terucap maupun tertulis setidaknya akan melewati lima tahapan yang saling berkesinambungan; psychology—physiology—physics —physiology—psychology.

Tahap pertama tuturan akan diproses terlebih dahulu di dalam otak si penutur; apa yang hendak ia katakan? Bagaimana ia akan mengatakannya? Dan mengapa ia akan mengatakannya? Proses ini kita kenal dengan istilah konsep mental atau persepsi.

Pada tahapan kedua, otak mulai mengirim sinyal kepada organ-organ yang akan terlibat dalam melaksanakan perintah dari persepsi ini yang dikenal dengan proses fisiologi tuturan. Kemudian, setelah sinyal sampai ke organ-organ terkait, maka organ-organ tersebut merealisasikan perintah dari persepsi yang dikenal dengan proses produksi atau fisik.

Tahapan keempat kembali lagi pada proses fisiologi dimana ketika sebuah perintah persepsi telah dilakukan ia akan terbaca oleh mata, terdengar oleh telinga, dan teraba oleh kulit. Peristiwa ini akan kembali mengirimkan sinyal pada otak agar otak memaknai produksi tersebut apakah sudah sesuai dengan kehendak, perlu perbaikan, repetisi, dan lain sebagainya.

Pada tahapan kelima (tahap persepsi lagi) otak kembali mengonsepkan ulang perintah berbasis produksi atau tindakan yang sudah dilakukan organ-organ terkait. Jika kita lihat dengan kaca mata Post-Structuralist, sebelum sebuah tuturan diproduksi, ia melalui fase psikologi atau persepsi dulu di mana otak mengonstruksi sebuah ide untuk dieksekusi. Nah apakah ini hanya sebuah ide atau konsep mental bebas nilai? Mari kita lihat lebih jauh. 

Pada tahapan persepsi (psikologi), Bahasa yang merupakan sistem mental dari tuturan akan melakukan pelbagai pertimbangan sebelum memerintahkan otak untuk mentransmisikan sinyal fisiologis.

Tahap persepsi ini akan menarik semua informasi sebelumnya yang sudah ada di otak guna merumuskan sebuah formula baru untuk dipraktekkan. Tidak hanya pre-existing knowledge (pengetahuan dasar sebelumnya) yang akan disertakan, namun juga pengalaman suka duka, motif, tujuan, ideologi, bahkan Afek de Kommandos (yang menurut Nietzche sebagai birahi untuk berkehendak).

Jadi tidak benar bahwa tuturan netral atau murni dari manifestasi leterleik interfasi antara bahasa dan tuturan. Sebelum tuturan diucapkan telah dibekukan di dalamnya ideologi, kehendak birahi, motif, dan aneka macam selubung lainnya. Jika kita sandarkan pada J.L. Austin (1911-1960) di bukunya yang sangat berharga How to do things with words, maka konsep ilokusi (maksud penutur) seharusnya diletakkan sebelum lokusi (bentuk tuturan tertutur) dikarenakan sebelum tuturan itu diproduksi maksud si penutur dulu akan dikonstruksi oleh sistem mental bahasa kita. 

Pada tahapan kedua dan ketiga (fisiologi dan fisik), sinyal bahasa akan disampaikan kepada organ-organ terbaik untuk merealisasikannya.

Mengapa saya katakan organ-organ terbaik karena di dalam proses bertutur tentu disamping organ artikulatoris seperti alveolar, palatal, glotal, dan seterusnya yang bertindak memproduksi segmen bunyi dan intonasinya, keikutsertaan mata, tangan, postur tubuh, gaya bicara, dan otot-otot tubuh akan menjadi pelumas yang mempercepat terwujudnya maksud dari lokusi (tuturan) agar mencapai dampak yang diinginkan atas dipetutur (yang dikenal dengan istilah prelokusi).

Sosiolog Pierre Bourdieu (1930-2002) mengistilahkan hal ini dengan sebutan Hexis yakni dimana gaya bahasa seseorang yang sudah terinternalisasi ke dalam kognisinya akan mengirimkan sinyal tambahan bagi anggota-anggota tubuh suplementaris guna memujudkan tercapainya tujuan.

Coba kita lihat praktik-praktik penipuan di era digital 4.0, salah satunya yang telah saya sajikan di artikel sebelumnya “Membongkar Tipu Daya Muslihat Para Penipu di Era Digital 4.0” tentang argumentasi ekstrapolasi di mana penipu hanya mengeluarkan tuturan yang berbasis data minim untuk menghalau sebuah keyakinan mayoritas.

Apakah si penipu tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah di dalam kognisinya? Tentu tidak. Namun, guna mewujudkan hasrat tirani, sistem bahasanya akan selektif untuk memberi sinyal kepada angota-angota tubuh terkait hal-hal yang mencocoki kehendak tiraninya saja. Ideologi dan Tirani yang disembunyikan di dalam praktek bertutur harus kita sadari, dengan cara mengajukan pertanyaan kritis seperti siapa yang mengatakan tuturan tersebut?

Apa kepentingannya mengatakan tuturan tersebut dan dalam konteks dan situasi apa tuturan tersebut diutaran. Saya beri contoh riil yang saya alami ketika makan siang bersama kolega di sebuah restoran, pada dinding-dinding restoran tersebut ditempelkan macam rupa Nash baik dari al-Quran maupun al-Hadits terkait larangan mencela makanan salah satunya Hadits Masyhur Riwayat Bukhari dan Muslim: “Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela suatu makanan sedikit pun. Seandainya beliau menyukainya, beliau menyantapnya. Jika tidak menyukainya, beliau meninggalkannya (tidak memakannya)”.

Sekalipun tuturan di atas keluar dari Mulut mulia Baginda Nabi, namun tuturan ini sudah tidak netral dan sudah digunakan sebagai instrumen metafisik untuk berkuasa. Mengapa? Karena ia diletakkan di dinding-dinding restoran yang jujur saya katakan rasa masakannya jauh dari kata “enak” mungkin lebih cocok “enek” untuk mengomentarinya.

Nash suci digunakan sebagai instrumen untuk berkuasa, pelanggan akan ketakutan untuk berkata negatif, mengkritik, ataupun berkhobar buruk kepada relasi mereka akan “keenekkan” masakan yang disajikan sebagai menu di resto tersebut. Di dalam Sosiologi Kritisnya Bourdieu ia mengatakan hal ini sebagai wacana alternatif membelokkan fakta dengan argumen de-politisasi wacana metafisis. 

Pada tahapan keempat dan kelima, ketika produksi telah menjadi praksis, hasil tuturan akan diproses lagi oleh fase fisiologi untuk kirimkan kembali ke otak agar dipersepsi ulang. Dalam pemersepsian ulang, output yang telah dihasilkan akan dipelajari ulang oleh otak, ia bisa diperbaiki, ditambah dan dimodifikasi oleh otak dengan pengetahuan baru berbasis pengalaman empiris (empiris-based intake) ketika output ini dipraktekkan. Sejalan dengan yang dikatakan Filsuf Kritis Friedrich Nietzsche (1844-1900) bahwa tahu sama dengan berkuasa (to know is to power), hasrat tirani dan ideologi tersembunyi yang tidak berhasil mencapai kehendaknya akan senantiasa mencari jalan baru menuju pencapaiannya sehingga setelah mengetahui apa yang bekerja dan apa yang tidak setelah sebuah tuturan diutarakan, selanjutnya tingkat pemodifikasikan bahasa yang lebih manipulatif akan diciptakan otak dengan lebih kreatif lagi.

Walhasil, lisan para penipu akan senantiasa mencari cara yang terbaik untuk mewujudkan aksinya melalui beragam hal yang memungkinkan. Berbagai jenis strategi bahasapun akan digunakan, dari yang bersifat penyamaran realita (simulasi simulakra) bertutur bak Konglongmerat untuk menutupi tindak penipuannya. Coba perhatikan gaya bahasa para crazy rich di youtube. Ada yang bertutur dengan strategi kondensendens yakni merendah untuk menyombongkan diri, ada yang menggunakan strategi distingsi dengan sengaja berbicara menggunakan kosakata yang super aneh yang tidak dikenal oleh masyarakat umum sehingga orang awam akan berpikir bahwa penutur adalah seorang intelek, dan banyak lagi strategi bahasa yang semakin menunjukkan bahwa bahasa dituturkan dengan motif yang di dalamnya telah dibekukan ideologi, birahi dan tirani penutur. 

Sebagai wacana penutup, saya hanya ingin menegaskan bahwa tidak mungkin bahasa itu netral dan bebas nilai. Di dalam kepala setiap penutur bahasa, telah bersembunyi ideologi baik-buruk, naluri maupun tirani, altruisme maupun birahi semata. Pada kedua polar negatif maupun positif tetap akan tersembunyi motif dan kehendak untuk berkuasa. Oleh karena itu dengan mempertajam berpikir kritis dan realistis mencoba melihat sebuah tuturan dari ragam sudut pemaknaan insyaa Allah akan meminimalisasi kemungkian kita menjadi korban dari tuturan-tuturan yang distruktif. 

***

*) Oleh: Andre Anugrah, Mahasiswa Doktoral Linguistik, Pemelajar, Pengajar dan Peneliti Bahasa, serta Kritikus Susatera.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES