Kopi TIMES

Kita yang Non-Tionghoa dan Konghucu di Bangka Belitung Semestinya Mendukung!

Selasa, 28 Juni 2022 - 17:00 | 68.05k
Herza, M.A. Dosen Universitas Bangka Belitung
Herza, M.A. Dosen Universitas Bangka Belitung

TIMESINDONESIA, BANGKA BELITUNG – Pada tanggal 31 Mei 2022 kemarin, di Kantor DPRD Kabupaten Bangka Tengah, sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Bangka Tengah melakukan aksi penolakan terhadap kebijakan Pemerintah yang ingin mendirikan Perguruan Tinggi Negeri Agama Konghucu berskala International di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tepatnya di Desa Batu Belubang, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah.

Alasan penolakannya, dianggap tidak tepat sasaran jika didirikan di Bangka Belitung (karena ada daerah lain yang dinilai lebih representatif, seperti di Singkawang, Kalimantan Barat), lalu dinilai juga akan berpotensi menimbulkan konflik sosial (Bangka Pos, 2022; Kompas.com, 2022).

Kabar penolakan pendirian Perguruan Tinggi Negeri Konghucu ini bahkan sudah menjadi sorotan pegiat media sosial sekaligus influencer dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Ade Armando, melalui salah satu kanal Youtube yang subscriber-nya sudah mencapai 1,87 juta. Ade Armando pada postingan yang tayang tanggal 8 Juni 2022, intinya memberikan argumentasi, yang bisa disebut semacam counter wacana terhadap Aliansi Umat Islam Bangka Tengah atas penolakan keras mereka terkait dengan pendiriaan Perguruan Tinggi Negeri Agama Konghucu di Kabupaten Bangka Tengah.

Melalui tulisan ini, tentu apa yang akan penulis uraikan bukan untuk mendukung penuh setiap butir argumentasi dari Ade Armando, bukan juga untuk menegaskan apa yang sudah disuarakan Aliansi Umat Islam Bangka Tengah, sudah pasti salah. Urusan untuk sampai pada kesimpulan “salah atau benar”, bagi penulis terlebih dahulu harus diisi dengan dialog atau argumentasi-argumentasi yang konstrukstif dari pelbagai perspektif. Biarkan dialog itu menghuni ruang publik secara intensif.

Tepat pada posisi inilah, penulis bermaksud untuk memberi salah satu perspektif terhadap persoalan ini, yang kemudian terbuka untuk ditanggapi kembali oleh siapa saja, serta dari kalangan mana saja.

Apakah Warga Tionghoa Bangka Belitung akan Di-Homo Sacer-kan?

Bagi penulis, sikap yang ditunjukkan oleh Aliansi Umat Islam Bangka Tengah ini bisa dimaknai sebagai upaya untuk mendorong agar warga Tionghoa di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi apa yang disebut oleh Giorgio Agamben (Filsuf Politik dari Italia) sebagai Homo Sacer.

Konsep homo sacer dipakai oleh Giorgio Agamben (1998) untuk menyebut sekelompok manusia yang sebagian hak politisnya sebagai warga negara ditanggalkan/ditiadakan. Mereka adalah sekolompok manusia yang tetap masuk dalam kehidupan politik, tapi tidak memiliki hak setara (secara politik) dengan manusia-manusia lainnya (Wibowo, 2020). Kehidupan politis homo sacer ini menurut Agamben telah ditelanjangi (barer life) oleh pihak yang berdaulat atau the sovereign (Herza, 2021). 

The sovereign yang dimaksudkan Agamben ini sebetulnya tak mutlak melekat pada satu pihak/lembaga— Ia juga terkadang tampil anonim. Dengan demikian, the sovereign dalam praktik berdemokrasi, bagi penulis sebetulnya bisa termanifestasikan secara konkret kepada mereka yang memiliki otoritas, bisa karena kelompoknya mayoritas, bisa karena relasi atau modal sosial yang sudah terbangun dengan elite politik, dan lain-lain. 

Berkenaan dengan pemikiran Agamben tersebut, bagi penulis, sekali lagi, apa yang dilakukan oleh Aliansi Umat Islam Bangka Tengah ini adalah sebuah upaya yang serius mendorong the sovereign atau pihak yang berdaulat (mayoritas penduduk atau para elite yang memegang otoritas pendirian Perguruan Tinggi berbasis agama) menjadikan warga Tionghoa Babel kehilangan salah satu hak politisnya sebagai warga negara Indonesia. Ingat, hak politis warga negara itu bukan hanya perkara diizinkannya berpartisipasi dan berkompetisi dalam pemilu, atau sejenisnya.

Namun, hak dalam hal mendapatkan akses untuk pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, juga bisa dikatakan sebagai salah satu hak politis warga negara. Bahkan bisa disebut sebagai salah satu hak politis mendasar atau fundamental bagi warga negara. Dalam konteks hari ini, warga Tionghoa (di Provinsi Bangka Belitung Khususnya) bisa dikatakan betul-betul mebutuhkan kehadiran Perguruan Tinggi Agama Konghucu ini. Di provinsi Bangka Belitung sendiri, sebetulnya sudah lama terdapat problem kurangnya stock guru yang bisa mengajar Agama Konghucu.

Kita yang Non-Tionghoa Semestinya Mendukung !

Orang-orang Tionghoa di Bangka Belitung, secara kuantitas adalah penduduk terbanyak kedua (setelah etnis Melayu) di provinsi ini, yang semestinya dimaknai memiliki hak politis yang setara dengan orang-orang Melayu. Salah satunya adalah hak politis dalam hal menginginkan berdirinya kampus yang dianggap menjadi kebutuhan mereka. Negara dan kita sebagai warga non-Tionghoa, sudah semestinya mendukung pemenuhan hak tersebut. Apalagi faktanya, saat ini guru agama Konghucu di negara ini, dan khususnya di Bangka Belitung, masih sangat minim (babelprov.go.id, 2022), sehingga sudah dipastikan kalau para pelajar Tionghoa yang beragama Konghucu tidak mendapatkan porsi dan kualitas pembelajaran agama laiknya pelajar Islam ataupun Kristen. 

Dengan berangkat dari realitas tersebut, hemat penulis—  aspirasi warga Tionghoa sebagai Bios Politicos (Manusia yang hidup secara politis) ataupun upaya pemenuhan salah satu hak politis mereka oleh negara terkait kepentingan pendidikan agama Konghucu, harus dimaknai sebagai sesuatu yang normal dan wajar saja. Menentang atau menolaknya secara terbuka di ruang publik demokrasi, bagi penulis, sama saja dengan kita berupaya menjadikan mereka sebagai homo sacer.

Terakhir, jangan lupa, bahwa secara historis, warga Tionghoa di Bangka Belitung tidak bisa juga diposisikan sebagai “warga baru”, lalu dianggap hak politik mereka tidak terlalu penting. Warga Tionghoa hadir di pulau ini sudah sangat lama, yakni sejak abad ke-18 (Ibrahim, dkk., 2021; Akbar, 2018). Mereka sudah beranak pinak hingga generasi ke-empat, dan bahkan Nasionalisme mereka juga seutuhnya milik Bangsa dan Negara ini, bukan untuk negara Republik Rakyat Cina (RRC) yang jauh di seberang sana (Ibrahim, dkk., 2021). 

Lagi pula, bukankah orang-orang Melayu yang beragama Islam di sini juga sudah memiliki kampus yang berbasis agama Islam, dan bahkan dengan jumlah kampus yang lebih dari satu. Dengan realitas begitu adanya, lantas, secara kehidupan bernegara dan dari sisi kemanusiaan, apakah adil dan pantas kita sebagai warga Bangka Belitung non-Tionghoa, bersikeras ingin menghalangi terealisasinya pendirian Perguruan Tinggi Agama Konghucu di tengah pemeluknya yang memang membutuhkan? Dengan kata lain, sebegitu jahatkah kita yang ingin menanggalkan hak politis mereka, menjadikan mereka homo sacer, hanya berdasarkan pelbagai alasan kecemasan yang sifatnya masih utopis?
  

***

*) Oleh: Herza, M.A. Dosen Universitas Bangka Belitung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES