Kopi TIMES

Ziarah (Imajiner) Makam Bung Karno: 'Gerakan Hidup Baru'

Sabtu, 25 Juni 2022 - 13:24 | 73.19k
Andang Subaharianto, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia), Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi.
Andang Subaharianto, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia), Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Tepatnya 21 Juni 1970. Bung Karno, tokoh kemerdekaan Indonesia, wafat. Jasadnya dimakamkan di Blitar. Kabarnya, bukan kehendak keluarga. Lebih sebagai kehendak penguasa saat itu. Agar jauh dari pusat kekuasaan, Jakarta. 

Tapi, beruntunglah masyarakat Blitar. Makam Bung Karno mengalirkan rezeki berlimpah. Makam itu menjadi destinasi wisata spiritual dan edukasi. Dikunjungi banyak orang setiap hari. Setiap 21 Juni ribuan orang dari penjuru tanah air menziarahinya. Saya pun menziarahi secara imajiner.

Terlalu banyak jejak historis Bung Karno yang menarik diziarahi. Kali ini saya tertarik menziarahi jejak seruan Gerakan Hidup Baru. Seruan itu disampaikan oleh Bung Karno pada 1957 sebagai bagian dari menggelorakan revolusi mental.    

Kala itu Indonesia dihadapkan pada masalah rumit. Perbedaan kepentingan dan pertikaian antarkelompok membuat negara dan pemerintahan tidak kondusif. Pemilu 1955 memang berhasil membentuk Konstituante. Badan atau dewan perwakilan yang bertugas membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia. 

Konstitusi baru itu dibutuhkan untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUD) 1950. Yang semula dipakai sebagai konsekuensi pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949. Konstituante mulai bersidang pada November 1956. Namun, hingga 1958, Konstituante tidak berhasil menjalankan tugasnya. Perdebatan tak kunjung menemukan kesepakatan. Bung Karno lalu mengeluarkan Dekrit Presiden 1959. Intinya memberlakukan kembali UUD 1945.

Gerakan Hidup Baru ditawarkan sebagai bagian dari revolusi mental. Menurut Bung Karno, dua fase dari tiga fase revolusi bangsa telah dilalui. Dua fase itu adalah fase revolusi fisik (1945-1949) dan fase survival (1950-1955). Satu fase lagi menghadang sebagai tantangan, yakni fase investasi. Kata Bung Karno, seperti dikutip Latif (2020), 'Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment.' 

Bung Karno menyadari bahwa kolonialisme telah membentuk 'mentalitas jajahan'. Potensi hebat bangsa ini di masa lampau dikerdilkan. Lalu terbentuklah mentalitas rendah diri, penuh perasaan tak berdaya, tak percaya diri. Kata Bung Karno, bangsa besar namun bermental kecil. Suka geger urusan sepele. Kolonialisme juga melanggengkan feodalisme.

Maka, Bung Karno meyakini bahwa investasi keterampilan dan material tanpa investasi mental-karakter tak akan menciptakan persatuan-kesatuan dan kemakmuran bersama. Tanpa kekayaan mental, upaya pemupukan keterampilan dan material hanya akan melanggengkan penjajahan. 

Karena itu, Gerakan Hidup Baru dimaksudkan sebagai pelaksanaan pembangunan mental-karakter. Yang tak lain adalah gerakan revolusi mental: perombakan cara berpikir, cara kerja, cara hidup, yang merintangi kemajuan; peningkatan dan pembangunan cara berpikir, cara kerja, dan cara hidup yang baik. 

Seruan Gerakan Hidup Baru sebagai revolusi mental, saya kira, menemukan kembali relevansinya. Kita merasakan betapa Indonesia Raya yang sering kita nyanyikan masih sebatas 'pernyataan'. Bangsa besar tapi bermental kecil.  Pembangunan  'jiwa' ditinggalkan. Pembangunan 'badan' digelorakan. 

Tiga dekade lebih kepemimpinan Orde Baru terlena oleh doktrin 'ekonomi sebagai panglima'. Dianggap sebagai koreksi terhadap doktrin sebelumnya, 'politik sebagai panglima'. Konsekuensinya, kemajuan cenderung hanya dilihat dari besaran-besaran yang bisa diukur dalam variabel ekonomi. Hal-hal yang tidak bisa diukur dalam besaran ekonomi  cenderung dianggap tidak penting, bahkan diabaikan.  

Alhasil, kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi menjadi beban pemerintahan pasca reformasi. Korupsi menggejala dan menjadi problem akut birokrasi Indonesia. Kekerasan dan konflik sosial muncul di tengah lemahnya penegakan hukum yang berkeadilan. Perilaku instan, mental 'aji mumpung', dan feodalisme baru, tumbuh di mana-mana. 

Upaya pembangunan sumber daya manusia masih terasa hanya dilandaskan pada tingkat pendidikan formal. Bukan pada penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan olah budi, olah cipta dan olah karsa. Rupanya tiga puluh tahun lebih rezim Orde Baru yang menutup ruang pengembangan olah budi, olah cipta dan olah karsa masih berbekas. 

Saat Orde Baru, bukan hanya anti oposisi, tapi juga memberangus kebebasan berpikir. Pikiran lain tidak diperbolehkan tumbuh. Sejumlah media massa dibredel, karena memberi ruang pikiran lain. 

Tidak sedikit buku dilarang. Meski buku akademik. Karena dinilai mengganggu pemaknaan yang diinginkan penguasa. Seingat saya buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara karya Yoshihara Kunio (LP3ES, 1990) termasuk yang pernah ditarik dari peredaran. Padahal, buku itu sangat akademis, dan penting bagi perguruan tinggi.  Novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang sarat penguatan jiwa bangsa juga dijauhkan dari bangku sekolah.  

Dampaknya terasa hingga sekarang. Memori anak-anak sekolah kosong dari pemikiran besar bangsanya. Tak ada jejak pemikiran Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan tokoh besar bangsa Indonesia yang lain. 

Ekosistem yang tersedia tak menguatkan pembangunan mental-karakter, jauh dari makna Gerakan Hidup Baru yang pernah diserukan Bung Karno. Ekosistem itu tak cukup kuat mendorong persilangan antarteks sebagai syarat munculnya refleksi, munculnya sintesis-sintesis. Padahal, karya-karya besar para pendiri bangsa, di antaranya Pancasila, muncul sebagai sintesis dari persilangan antarteks. Karena itu, kita kehilangan kecerdasan kolektif untuk bergotong royong mewujudkan Indonesia Raya. 

Kini, tantangan yang menghadang makin berat: disrupsi digital. Ekosistem baru ini terkesan menjanjikan bentuk komunitas baru yang lebih partisipatif dan demokratis; menjanjikan komunitas yang lebih berkesejahteraan-berkeadilan sosial. 

Namun, sejumlah pakar telah memperingatkan. Ekosistem baru itu harus disikapi secara kritis, karena merupakan transformasi kapitalisme global. Disebut kapitalisme digital, kapitalisme virtual. Yang ujung-ujungnya tak lain adalah imperialisme baru, neo- imperialisme, imperialisme super modern. Bung Karno dalam Indonesia Menggugat telah mengingatkan bahwa imperialisme, tua maupun modern, bukanlah pemerintah, bukanlah bangsa asing, bukanlah kaum amtenar, bukanlah badan atau materi apapun juga. Katanya, 'Imperialisme adalah NAFSU dan SISTEM belaka... Nafsu dan sistem yang serakah.'

Tepat 21 Juni 2022, peringatan dan seruan Bung Karno terngiang-ngiang kembali. Saat ziarah (imajiner) di makamnya.

***

*) Oleh: Andang Subaharianto, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia), Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES