Kopi TIMES

Sketsa TWKM ke-32 Mahasiswa Pecinta Alam se-Indonesia

Sabtu, 25 Juni 2022 - 00:51 | 141.04k
Rahmad Rizki (Paddle), Ketua Umum Mahasiswa Gajah Putih Pecinta Alam (MAHAGAPA) Universitas Gajah Putih Aceh.
Rahmad Rizki (Paddle), Ketua Umum Mahasiswa Gajah Putih Pecinta Alam (MAHAGAPA) Universitas Gajah Putih Aceh.

TIMESINDONESIA, ACEH – Mahasiswa Pencinta Alam merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berorientasi pada kecintaan pada alam serta lingkungan. Mahasiswa Pencinta Alam yang dikenal dengan sebutan Mapala, merupakan organisasi intra kampus yang berorientasi pada kegiatan sosial untuk melindungi berlangsungnya kehidupan alam serta lingkungan. 

Unit kegiatan para mahasiswa yang berada di seluruh penjuru tanah air ini, juga memiliki pertemuan besar yang rutin digelar setiap tahun, yaitu Temu Wicara Kenal Medan (TWKM) Mapala Indonesia. Kegiatan ini merupakan satu dari sekian banyak kegiatan mahasiswa pencinta alam tingkat perguruan tinggi se-Indonesia untuk dapat menjembatani arus informasi antara mahasiswa pencinta alam sekaligus ajang silahturahmi. 

TWKM Mahasiswa Pecinta Alam tingkat perguruan tinggi se-Indonesia ini, juga menjadi bagian penting dari kegiatan para mahasiswa pecinta alam dalam menyamakan visi dan misi antar organisasi pegiat alam terbuka yang dituntut peduli kepada lingkungan serta kondisi sosial. 

Kegiatan ini berawal dari acara Kemah Bakti Mapala se-Jawa dan Bali yang digelar pada 1987 oleh UPL Unsoed. Perhelatan itu dihadiri oleh perwakilan Bidang

Kemahasiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi dalam acara sarasehan. Kala itu, para Mahasiswa Pecinta Alam yang hadir ditantang untuk membuat kegiatan berskala nasional. 

Pencemaran dan kerusakan ekosistem laut menjadi motivasi besar lantaran mesti dikendalikan. Musababnya, pencemaran air laut dapat mengurangi pemanfaatan air tersebut. Jumlah limbah yang mencemari laut di Indonesia ini semakin lama kian bertambah dengan volume terus
membesar, salah satunya adalah sampah plastik. 

Ancaman kerusakan ekosistem laut juga disebabkan oleh tingginya pencemaran industri, reklamasi pantai, dan pengasaman laut akibat dampak perubahan iklim. 

Pada TWKM ke-32 yang dihelat di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan tuan rumahnya Mapala Khaniwata Universitas Siliwangi Tasikmalaya mengusung tema "Konsistensi Mahasiswa Pecinta AlamDitengah Pandemi Terhadap Penyelamatan Ekosistem Laut". 

Pertemuan besar Mapala Indonesia ke XXXIII itu berlangsung selama sepekan, berakhir pada 12 Juni 2022. Kegiatan TWKM ini sempat tertunda selama dua tahun lantaran pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan seluruh negara di dunia. Meski sempat ditunda selama dua tahun, kegiatan ini ternyata diwarnai beragam kekurangan. Padahal  mahasiswa pecinta alam dari ujung-ujung pelosok negeri ini  hadir dalam pertemuan ini. 

Menilik Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dan SK Mendikbud RI Nomor 155 tahun 1998 tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi, ternyata tidak terimplementasi dengan baik. 

Para anggota Mapala menilai aturan-aturan tersebut tidak sejalan dengan realisasi yang mereka rasakan. Ironisnya, para anggota Mapala juga tidak diberi hak yang semestinya didapatkan. Padahal mereka yang hadir dari ujung negeri berikrar serta menyatakan diri memerangi kerusakan alam dan lingkungan yang menjadi tugas bersama seluruh lapisan masyarakat NKRI. 

Kehadiran pemerintah dalam kegiatan ini tentunya memiliki peran yang sangat penting sebagai motivasi para anggota Mapala. Sayangnya, saat ini pemerintah pusat dalam hal ini Kemendikbud, seakan tak peduli dan terkesan memandang sebelah mata peran penting Mapala Indonesia yang terus melakukan edukasi lingkungan dan mengawal advokasi kerusakan lingkungan. 

Kekecewaan terhadap pemerintah pusat muncul di benak para anggota Mapala, termasuk penulis selaku putra daerah Aceh sangat merasakan tidak mendapatkan hak yang diatur undang-undang dan surat keputusan menteri. Padahal pertemuan ini sempat ditunda dua tahun. 

Kami melihat dan merasakan langsung, bagaimana konsep dan jalannya acara yang dilaksanakan panitia pelaksana selama 6 hari tidak maksimal. Padahal anak-anak bangsa ini berkumpul dari Sabang hingga Merauke untuk berdiskusi dan menciptakan kesempatan dalam berperan untuk menjaga lingkungan hari ini. 

Pertanyaannya, apakah pemerintah pusat sebagai penjamin hak dalam pendidikan  sudah melakukan itu dengan baik? Saya rasa, tidak. Karena saya merasakannya beberapa hari lalu, peran dari pemerintah pusat yaitu Kemendikbud tidak hadir untuk mendukung secara penuh. 

Harapan penulis, sebaiknya pemerintah mengutamakan hak-hak pendidikan terutama Mapala Indonesia, karena apabila pemerintah terus-menerus tidak hadir, akan memunculkan rasa kekecewaan yang amat besar dari generasi penerus yang akan membangun bangsa ini di masa depan. 

***

*) Oleh: Rahmad Rizki (Paddle), Ketua Umum Mahasiswa Gajah Putih Pecinta Alam (MAHAGAPA) Universitas Gajah Putih Aceh.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES