Peristiwa Daerah

BrangWetan Gelar Training Pembuatan Konten dan Media Berbasis Toleransi Guru

Kamis, 23 Juni 2022 - 11:25 | 26.67k
Kepala Bakesbangpol Kabupaten Sidoarjo, Dr. Mustain Baladan saat menjadi pembicara Training Pembuatan Konten dan Media Pembelajaran Berbasis Toleransi Bagi Guru dan Pembimbing Ekstrakulikuler. (foto: Rudi Mulya/TIMES Indonesia)
Kepala Bakesbangpol Kabupaten Sidoarjo, Dr. Mustain Baladan saat menjadi pembicara Training Pembuatan Konten dan Media Pembelajaran Berbasis Toleransi Bagi Guru dan Pembimbing Ekstrakulikuler. (foto: Rudi Mulya/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SIDOARJO – Komunitas Seni Budaya BrangWetan menggelar Training Pembuatan Konten dan Media Pembelajaran Berbasis Toleransi Bagi Guru Mata Pelajaran dan Guru Pembimbing Ekstrakurikuler di Sidoarjo, Jawa Timur.

Kali ini BrangWetan menggandeng Badan Kesatuan Bangsa Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Sidoarjo, yang diikuti pengajar dari SMAN 1 Gedangan, MAN Nurul Huda Sedati dan 3 SMPN 1 dari Kecamatan Waru, Taman dan Gedangan, Sidoarjo. Tak hanya itu, BrangWetan juga menghadirkan pembicara dari  UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN MALIKI Malang dan dari Harmoni Jakarta.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik (Bakesbangpol), Kabupaten Sidoarjo, Dr. Mustain Baladan yang menjadi pembicara dalam kegiatan yang di gelar di Trawas Rabu (22/6/2032) hingga Kamis (23/6/2022) hari ini tersebut menyampaikan jika ada tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya intoleransi. 

"Pertama, mereka merasa dirinya benar dan orang lain salah. Kedua, menjalankan agama hanya secara tekstual saja, bukan kontekstual. Hal ini bukan hanya di kelompok muslim saja melainkan juga di penganut agama lain, meskipun yang banyak terlihat dari kelompok muslim. Ketiga, kurang pas memahami sunnah. Mereka mengidentikkan budaya Arab dengan ajaran Islam," kata Mustain Baladan saat dihubungi TIMES Indonesia, Kamis (23/6/2022).

Dalam acara yang merupakan bagian dari rangkaian program BrangWetan selama satu tahun dengan tema 'Cinta Budaya Cinta Tanah Air Tahap Dua' tersebut berlangsung hingga pertengahan tahun depan, Mustain mengungkapkan kegelisahannya melihat kondisi masyarakat dalam menyampaikan uneg-uneg atau masalahnya cenderung melakukan unjuk rasa.  

"Ungkapan takbir sekarang ini digunakan untuk menyerang teman sendiri yang dianggap berlawanan. Sudah terjadi pergeseran nilai, sehingga menjurus ke arah intoleransi," ungkapnya

Padahal, lanjut Mustain,  apa yang terjadi di negara-negara Arab sudah sedikit yang stabil, mulai dari Afganistan, Irak, Syria, Libanon. Semuanya hancur, Karena mereka tidak mampu menerjemahkan agama dalam wawasan kebangsaan. Akibatnya perang terus dan tidak sempat membangun. Bahkan di antara mereka terusir dari negaranya sendiri. Contohnya Afganistan. 

"Peran ulama atau pemuka agama sangat penting bagaimana menempatkan agama secara kontekstual. Saya mencobtohkan, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, KH.Wahab Hasbullah menciptakan lagu Hubbul Waton Minal Iman, yang kemudian menjadi semacam lagu wajib bagi kalangan Nahdlatul Ulama. Pesan ini menunjukkan bahwa ulama NU sudah menegaskan bahwa negara ini harus kita amankan," ceritanya

Bahkan, Mustain pernah meminta warga HKBP (Huriah Kristen Batak Protestan) menggubah lagu Hubbul Waton Minal Iman dengan aransemen yang menarik dan dinyanyikan di Pura. Inilah contoh toleransi yang mengedepankan kebangsaan di atas perbedaan agama.

"Sebagaimana pesan K.H. Said Agil, bahwa agama tetap dinomorsatukan tetapi budaya diutamakan. Sehingga semua berjalan dengan baik, tidak akan saling menyalahkan dan saling menjatuhkan," jelasnya.

“Kesemuanya ini harus kita pikirkan agar bangsa ini tidak hancur sebagaimana negara-negara di Timur Tengah, atau seperti Uni Sovyet, sehingga ke depan Indonesia menjadi negara yang Baldatun Thayyibatun Wa Robbun Ghofur (Negeri yang baik dengan Rabb (Tuhan) Yang Maha Pengampun),” imbuhnya.

Sementara itu, Harmoni Senior Technical Advisor, Umelto (Alto) Labetubun, dalam kesempatan yang sama menyebutkan bahwa tujuan kegiatan ini adalah bagaimana sekolah menjadi magnit bagi toleransi. Karena itu perlu pembatasan penggunaan kata-kata yang menimbulkan konotasi negatif atau rejection, misalnya radikalisme, intoleransi, dan lain-lain.

BrangWetan-2.jpgSejumlah guru dan pengajar ekstrakurikuler saat mengikuti Training Pembuatan Konten dan Media Pembelajaran Berbasis Toleransi Bagi Guru Mata Pelajaran dan Guru Pembimbing Ekstrakurikuler yang digelar Komunitas Seni Budaya BrangWetan Sidoarjo (foto: dok Brangwetan Sidoarjo)

"Pengalaman Harmoni bekerjasama dengan 93 sekolah di Sragen, menggunakan tema “membangun rasa percaya diri” karena kalau mereka sudah memiliki rasa percaya diri yang tinggi maka tidak gampang diajak nakal oleh kelompok manapun," kata Alto.

Alto melanjutkan jika ada teori yang menyebutkan mengapa seorang itu menjadi pelaku teror, yaitu 3 N yakni Needs (kebutuhan), Narasi (teks), dan Networking (jaringan).

"Mereka yang menjadi teroris karena kebutuhannya (needs) tidak tercapai,  dia merasa teralienasi di masyarakat. Kemudian ada rasa dirinya tidak signifikan, dianggap tidak ada di masyarakat. Hal ini tidak berhubungan dengan satu faktor, misalnya ekonomi," ungkapnya

"Terbukti para pelaku teror selama ini sebagian justru berasal dari kalangan mampu dan intelektual. Kebutuhan ini juga menyangkut respon dari masyarakat yang berkurang atau hilang terhadap apa yang disuarakan melalui media sosial. Untuk mencukupi kebutuhan itu mereka membutuhkan teks atau narasi untuk menguatkan pembiasaan di masyarakat," imbuhnya.

Lebih lanjut Alto memaparkan, mereka (teroris) yang melakukan teror selalu berada dalam jaringan (network), baik jaringan nyata di antara teman-temannya maupun jaringan di dunia maya atau media sosial.

Karena itu dalam training ini diajarkan seperti apa pesan-pesan yang akan dibuat agar orang yang membacanya sudah merasa signifikan, sehingga kebutuhan untuk mencari narasi yang membenarkan untuk melakukan tindakan-tindakan intoleran menjadi minimum.

"Seperti halnya anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian di rumahnya akan cenderung menjadi anak nakal di sekolah untuk menjadi signifikan di antara teman-temannya. Tidak ada gunanya 'perang ayat' tetapi yang penting adalah 'perang pemasaran' apakah yang kita ajarkan mampu diikuti oleh siswa ataukah mereka justru lebih tertarik dengan yang diajarkan mereka," tegas Alto

Sementara Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan, Henri Nurcahyo, memaparkan bahwa persoalan toleransi bukan hal yang baru.

"Toleransi adalah suatu hal yang sudah kita ketahui sejak lama dalam keseharian namun kadang-kadang tidak disadari. Maka pelatihan soal toleransi bukanlah mengajarkan sesuatu yang sama sekali baru melainkan bagaimana memahami apa yang sudah kita ketahui untuk disadari, dan yang paling penting adalah eksekusi," ucapnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES