Kopi TIMES

Konstitusionalitas Durasi Kampanye Pemilu 2024

Rabu, 22 Juni 2022 - 17:46 | 67.85k
Nasarudin Sili Luli, Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraan
Nasarudin Sili Luli, Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kesepakatan DPR RI dan Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) terkait durasi kampanye Pemilu 2024 selama 75 hari ditengarai sarat kepentingan elite. Sebab, sepekan sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bersama KPU RI telah menyepakati masa kampanye 90 hari.

Tarik ulur pembahasan kampanye seolah atau terkesan mencerminkan suasana yang sarat kepentingan elite dalam berkompetisi. Semula KPU RI mengatakan 90 hari saat bertemu presiden, kini 75 hari saat bertemu dengan DPR RI. Kepentingan itu terkesan justru muncul dari pemerintah dan DPR RI, bukan sepenuhnya domain dari penyelenggara pemilu.

Keputusan masa kampanye menjadi 75 hari adalah bentuk lain dari pelanggaran Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilakukan oleh KPU dan Komisi II DPR RI. Sebab dalam Undang-Undang Pemilu sudah sangat jelas bahwa daftar caleg diajukan paling lambat sembilan bulan sebelum hari pemungutan suara. Tiga hari setelah daftar tersebut ditetapkan, masa kampanye sudah harus dimulai sampai dengan dimulainya masa tenang.

Bila merunut pada undang-undang, ketentuan Pasal 247 menyatakan Daftar calon Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diajukan paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum hari pemungutan suara. Merujuk pada rumusan norma tersebut, maka dengan telah ditetapkannya hari pemungutan suara pada tanggal 14 Februari 2024, logisnya jadwal penyerahan daftar bakal calon kepada KPU akan dimulai sekitar tanggal 14 Mei 2023.

Kesimpulannya masa kampanye seharusnya dimulai pada Juli 2023 dengan durasi tujuh bulan lamannya. Dari proses tahapan dan rangkaian waktu tersebut dapat disimpulkan bahwa UU Pemilu sesungguhnya menghendaki masa kampanye dilaksanakan antara Juli 2023 sampai dengan Februari 2024 atau sekitar tujuh bulan.

Dengan demikian, kehendak KPU RI dan DPR RI yang menginginkan masa kampanye hanya 75 hari nyata-nyata telah bertentangan dengan kehendak UU Pemilu yang menginginkan masa kampanye selama tujuh bulan. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendukung keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadikan masa kampanye selama 75 hari ini. Pemerintah berpandangan masa kampanye yang sedikit mampu mengurangi potensi konflik akibat perbedaan pilihan di antara masyarakat.

Dampak Durasi Kampanye 

Jika durasi kampanye 75 hari tetap dilaksanakan maka bisa berpotensi terganggunya beberapa tahapan dalam pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024.

Pertama, persoalan tenggang waktu kampanye yang didalamnya terdapat irisan dengan proses pemilu dan juga terkait aturan penanganan pelanggaran, penyelesaian sengketa proses telah diatur secarah khusus dalam undang-undang 7 tahun 2017. Sehingga jka waktu yang dikurangi akan tidak memberikan jaminan kepastian hukum untuk para peserta pemilu yang mencari keadilan.

Kedua, potensi masalah kampanye di luar jadwal serta pemberitaan dan penyiaran kampanye yang tidak berimbang. Persoalan ini sudah mulai muncul di permukaan seperti spanduk, baliho, deklarasi dukungan pasangan calon, serta banyaknya lembaga survei yang menyampaikan hasil surveinya kepada media.

Ketiga, beban kerja penyelenggara pemilu terutama penyelenggara (ad hoc) akan terbatas waktunya. Hal ini berpotensi membuat mereka kelelahan dan bisa menyebabkan meninggal dunia. Berkaca dari pemilu sebelumnya 2019, ada 894 orang meninggal dunia dan 5.175 orang sakit. Beban kerja pada tingkat (ad hoc) dan faktor time line waktu yang harus mereka kejar membuat mereka tidak punya cukup waktu untuk beristirahat.

Keempat, potensi manajemen logistik perencanaan, produksi, sortir sampai distribusi logistik tidak tepat waktu sehingga dapat menyebabkan pelaksanaan pemungutan suara tidak serentak. Pengalaman pada pemilu 2019, banyak temuan Bawaslu yang dianulir oleh KPU karena tidak bisa melaksanakan rekom Bawaslu karena tahapan yang begitu mepet. Ada rekom PSU sebanyak 1.114 TPS, PSS sebanyak 2293 TPS, dan PSL sebanyak 384 TPS.

Kelima, potensi uji materi terhadap PKPU tahapan pemilu. Jika dikabulkan, akan mempengaruhi proses tahapan pemilu. Hal ini harus dihindari karena beberapa partai politik nonseat di parlemen tidak sepakat dengan durasi waktu kampanye yang hanya 75 hari. Mereka beralasan karena tidak punya cukup waktu untuk memperkenal visi dan misi serta program unggulan yang akan ditawarkan kepada masyarakat  Jika uji materi terkait terhadap PKPU tahapan pemilu dikabulkan maka akan berdampak kepada semua jadwal yang sudah disusun dan disepakati bersama.

Keenam, potensi pencetakan alat peraga kampanye (APK) dan bahan kampanye tidak sesuai ketentuan (misalnya tidak tepat waktu). Pengalaman pemilu tahun 2019, banyak APK yang dicetak akan tetapi proses pendistribusian dan pemasangannya tidak tepat waktu sehingga banyak APK yang disediakan tdak bisa dipasang sesuai dengan zona APK yang di buat oleh KPU RI. Persoalan ini tentu merugikan bagi peserta pemilu karena masyarakat tidak mampu memprofiling lebih detail.

Ketujuh, potensi durasi yang sempit (75 hari) akan menutup ruang dialog bagi para kandidat dan pemilih. Proses pengenalan dan pembelajaran visi misi para calon kandidat tidak cukup jika hanya dilaksanakan selama 2,5 bulan. Mengingat pelaksanaan pemilu 2024 dilaksanakan serentak antara pemilihan presiden dan calon anggota legislatif DPR RI, DPD RI, ditambah DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (zonasi kampanye tatap muka dan dialog terbatas waktunya dimana pileg dan pilpres serentak kampanye).

Titik Temu Durasi Kampanye

Penulis sudah menyampaikan bahwa bagi peserta pemilu yang baru berkontestasi di Pemilu 2024, mereka butuh waktu yang cukup untuk mensosialisasikan diri ataupun visi, misi dan programnya pada calon pemilih. Selain itu, jika masa kampanye kurang dari 120 hari, khawatir praktik politik uang akan menjamur. Ini karena waktu yang tersedia tak cukup untuk mempromosikan diri ke calon pemilih, sehingga peserta pemilu memilih waktu yang ada untuk menebar uang ke pemilih agar memilihnya.

Parpol nonparlemen, Partai Perindo, bahkan mengusulkan masa kampanye lebih dari 120 hari. Menurut Sekjen Perindo Ahmad Rofiq, masa kampanye setidaknya perlu enam bulan agar pemilih lebih mengenal peserta pemilu. Masa kampanye yang panjang mampu mengurangi potensi politik uang dan cukup waktu pula buat calon pemilih untuk menimang-nimang siapa peserta pemilu yang akan dipilihnya. Jangan sampai pemilih dalam menentukan pilihan seperti membeli kucing dalam karung.

Penulis sependapat dengan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini bahwa durasi kampanye di pemilu negara lain pun beragam. Tak ada patokan khusus berapa hari, bulan atau tahun untuk sebuah masa kampanye yang ideal. Misalnya, masa kampanye di Kanada berlangsung selama 36 hari hingga 74 hari, Australia selama 33 hari hingga 77 hari, Perancis kurang dari 14 hari, Jepang selama 12 hari, dan Singapura selama sembilan hari.

Sejumlah negara ini memilih durasi kampanye yang terbilang pendek untuk menjaga level kompetisi yang setara berkaitan dengan pendanaan kampanye, yang terpenting dalam menentukan durasi kampanye adalah memastikan tersedianya kompetisi yang adil dan setara bagi para peserta pemilu, baik partai politik, calon anggota legislatif, maupun calon presiden-calon wakil presiden.

Keadilan dan kesetaraan itu penting karena jika kampanye berlangsung terlalu lama, bisa merugikan peserta pemilu dengan modal terbatas. Sebaliknya, yang diuntungkan parpol yang sudah mapan atau peserta pemilu petahana karena mereka sudah lebih dulu dikenal publik. Selain itu, masa kampanye yang terlalu pendek berpotensi membuat kandidat melakukan kampanye di luar jadwal. Kondisi ini dikhawatirkan bisa memicu konflik dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap keadilan kontestasi.

Yang juga tak kalah penting, keadilan bagi pemilih. Pemilu bukan hanya ajang bagi peserta pemilu berkontestasi untuk berkuasa tetapi menjadi momentum pemilih untuk memilih pemimpinnya. Karena itu, penentuan durasi kampanye juga harus mempertimbangkan waktu ideal yang dibutuhkan oleh publik untuk mengenal setiap peserta pemilu.

Bersamaan dengan itu durasi kampanye yang sudah diputuskan, peserta pemilu hendaknya tak lagi mengintensifkan kampanye di pengujung masa kampanye seperti pemilu sebelumnya. Dengan demikian, saat tiba waktu pemungutan suara, tak ada lagi istilah memilih kucing dalam karung. Setiap calon pemilih sudah punya bekal siapa di antara peserta pemilu yang bisa menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat.

***

*) Oleh: Nasarudin Sili Luli, Pegiat Kebangsaan dan kenegaraan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES