Kopi TIMES

Bahaya Laten AKM dan Alternatif Mitigasinya

Selasa, 21 Juni 2022 - 15:56 | 52.34k
Ady Akbar, Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Dasar UPI Bandung.
Ady Akbar, Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Dasar UPI Bandung.

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Upaya perbaikan kualitas pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Baru-baru ini, melalui program Merdeka Belajar, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim memutuskan menghapus Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM).

Kehadiran AKM perlu dipandang sebagai embrio kemajuan pendidikan, paling tidak untuk melonggarkan cekikan masa lalu UN yang seringkali menjadi momok bagi kalangan guru, orangtua, dan siswa. 

AKM merupakan penilaian kompetensi mendasar yang diperlukan oleh peserta didik agar mampu mengembangkan kapasitas diri sehingga dapat memainkan peran mayor dalam proyek-proyek memajukan masyarakat.

Terdapat dua kompetensi mendasar yang diukur dalam AKM, yakni literasi membaca dan literasi matematika (numerasi). Secara umum, aspek yang dinilai pada kemampuan literasi membaca dan numerasi adalah komponen berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking Skills (HOTS) yang meliputi keterampilan berpikir logis-sistematis, keterampilan bernalar, serta keterampilan mengolah dan menganalisis informasi. Pada praktiknya, AKM menyajikan masalah-masalah dengan beragam konteks. AKM juga dimaksudkan untuk mengukur kompetensi secara mendalam, tidak sekedar penguasaan konten.

Menurut UNESCO Institute for Statistics (2018), asesmen skala besar seperti AKM dapat  menjadi landasan empiris bagi revisi kebijakan pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan. Revisi kebijakan ini antara lain dalam hal afirmasi dan pemerataan kualitas pendidikan, perbaikan proses belajar-mengajar, dan perbaikan kurikulum nasional. Hal ini sejalan dengan tujuan AKM yakni mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil (Pusmenjar Kemdikbudristek, 2021)

Kendati kehadiran AKM dipandang sebagai embrio reformasi dan perbaikan sistem penilaian pendidikan nasional, namun AKM juga harus diwasapadai oleh karena asesmen nasional berpotensi besar memberikan dampak negatif terhadap situasi pendidikan nasional, khususnya proses pembelajaran di kelas. (Emler, Zhao, & Wang, 2019). Oleh karena itu, rancangan asesmen untuk evaluasi sistem perlu memperhatikan potensi dampak, baik yang diinginkan maupun yang tidak.

Secara teknis, manakala pemerintah tidak mampu menyediakan berbagai instrumen untuk menjaga hasil AKM agar tetap dalam ambang batas normal, maka harus diwaspadai bahwa hasil perolehan AKM bisa menjadi ranah kontestasi pihak sekolah. Artinya, hasil AKM bisa menjadi skemata bagi pembedaan kelas dan pemapanan previlese sosial. Konsekuensi logisnya adalah hadirnya label sekolah unggul/favorit dan tidak unggul yang hanya didasarkan pada perolehan AKM sekolah.  

Pada sisi yang lain, sebagaimana yang dijelaskan Towles-reeves, Garrett, & Burdette (2006), asesmen nasional juga dapat mendorong penggunaan metode mengajar yang lebih sempit. Dalam hal ini, kehadiran AKM akan sangat mungkin mendorong mobilitasi guru secara kolektif untuk memarjinalkan pelajaran yang lain dan hanya fokus mengajarkan konten-konten yang beorientasi pada soal AKM. Hal ini secara implisit akan mempersempit ruang bagi penerapan metode pengajaran yang lebih bermakna, kontekstual, dan kreatif seperti pembelajaran berbasis masalah atau berbasis proyek.

Fenomena inilah yang mendorong negara-negara Asia Timur dengan sistem pendidikan yang baik (seperti Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Singapura) untuk mengurangi penggunaan tes terstandar dan mendorong guru untuk menerapkan asesmen yang lebih inovatif, holistik-komprehensif, dan autentik (Zhao, 2015).

Dari sisi psikologis, asesmen nasional berpotensi memicu depresi peserta didik jika nilai AKM dijadikan sebagai bahan ‘gengsi-gengsian’. Ini disebabkan oleh persepsi masyarakat yang memandang bahwa kredibilitas dan nilai sosial asesmen nasional jauh lebih tinggi dibanding asesmen lokal atau kelas. Adanya ketakutan dan kegelisahan juga memicu peserta didik hanya fokus mempelajari konten dan soal ujian dan mengabaikan pelajaran yang lain. Kasus ini mudah kita temukan dengan menjamurnya penyedia jasa bimbingan lulus AKM, atau terbitnya buku-buku yang berjudul Sikat AKM, Siaga AKM, Cerdas AKM, Intens AKM, dan sejumlah buku lainnya hanya fokus pada proses menyelesaikan soal AKM tanpa memperhatikan proses berpkir HOTS dalam proses pembelajaran. Menurut Marry James (2011), tantangan terbesar dari asesmen skala besar yakni bagaimana menghindari praktik asesmen agar tidak menjadi mekanistik, ritual dan akhirnya tidak berarti dan membosankan bagi siswa.

Idealnya AKM harus dipandang sebagai instrumen evaluasi yang hanya berfungsi untuk mengevaluasi sistem bukan evaluasi siswa. Dengan demikian, AKM sebagai asesmen nasional sekaligus fitur evaluasi sistem dapat dirancang agar tidak memiliki konsekuensi apa pun bagi siswa, khususnya secara psikologis bagi siswa peserta AKM.

Sebagai evaluasi sistem, maka hasil dari AKM seyogyanya hanya mejadi informasi internal pemerintah. Artinya, hasil AKM secara individu tidak perlu di sampaikan ke peserta didik yang bersangkutan agar tidak memberikan dampak psikologis kepada siswa maupun guru. Sebaliknya, hasil AKM ini dianalisis secara mandiri dan internal oleh pemerintah sebagai informasi untuk memetakan kualitas pendidikan dan memotret secara makro aspek-aspek apa saja yang harus diperbaiki dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Pada proses pelaporan hasil AKM, pemerintah juga hendaknya menekankan pada perubahan capaian di masing-masing sekolah agar guru maupun sekolah terpacu untuk memperbaiki kondisi internal masing-masing, bukan bersaing dengan sekolah lainnya. 

Terakhir, karena AKM hanya sebatas evaluasi sistem, maka pelaksanaan AKM tidak perlu dilaksanakan setiap tahun agar tidak menjadi ritual mekanistik yang dapat membebani guru maupun sekolah. AKM dapat dilaksanakan secara periodik sekali dalam tiga tahun yang disesuaikan dengan masa belajar pada setiap jenjang pendidikan, juga mengingat bahwa perubahan kebijakan pendidikan membutuhkan waktu cukup panjang sebelum dampaknya bisa terlihat. (*)

***

*) Oleh: Ady Akbar, Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Dasar UPI Bandung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES