Kopi TIMES

Resuffle Kabinet dan Implementasi Zaken Kabinet Jauh dari Harapan

Minggu, 19 Juni 2022 - 01:07 | 72.94k
S. Izzah Afadha (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Airlangga)
S. Izzah Afadha (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Airlangga)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pasca dilaksanakannya resuffle kabinet Rabu 15 Juni 2022, ternyata telah berhasil mengundang perhatian khalayak. Apalagi menjelang dua tahun masa presiden akan berakhir, dalam artian mendekati perhelatan pemilu sebagai pesta demokrasi mulai tampak keriuhan yang dimulai dari adanya setting pengisian kabinet oleh presiden.

Jika diperhatikan kabinet saat ini diisi oleh beberapa menteri yang menjabat ketua umum partai semakin bertambah. Sebelumnya ada 3 orang, yakni Prabowo (Gerindra), Airlangga Hartarto (Golkar), dan Suharso Monoarfa (PPP).

Saat ini ditambah dengan adanya Zulkifli Hasan (PAN). Dan entah disengaja atau tidak, ternyata semua ketua umum parpol tersebut, masuk dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

Tidak salah jika pasca resuffle kemarin menimbulkan sikap skeptis dari berbagai pihak, adanya resuffle sebanarnya bertujuan untuk memperbaiki kinerja kabinet dalam menjalankan fungsi pemerintahan atau alih-alih malah sebagai penopang politik kekuasaan. Agenda resuffle ini jelas mencerminkan bahwa implementasi zaken kabinet semakin jauh dari harapan.

Zaken kabinet sejatinya merupakan kabinet yang berisi para ahli dan professional pada hal yang dibidanginya, serta bukan representasi dari partai politik tertentu. Zaken kabinet merupakan bagian dari upaya untuk menjaga marwah konstitusi melalui penempatan pos-pos jabatan strategis khususnya jabatan menteri, untuk bisa mewujudkan kemaslahatan bagi kepentingan dan kelangsungan hidup masyarakat. 

Padahal di tahun 2019, saat awal terpilihnya Jokowi sebagai presiden Indonesia periode kedua, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Syafii Ma'arif pernah memberi saran kepada Presiden Jokowi untuk membentuk zaken kabinet. Hal itu dilandaskan berdasarkan alasan bahwa zaken kabinet dapat membuat Jokowi bisa berdaulat dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

Namun jika dianalisis lebih jauh, rasanya zaken kabinet memang sulit untuk diterapkan di Indonesia. Ada beberapa faktor yang membuat zaken kabinet sulit diimplementasikan di Indonesia diantaranya adalah pertama, konstelasi politik negara Indonesia lebih terfokus pada kepentingan pihak yang memiliki kekuasaan politik, ditambah lagi Indonesia pasca reformasi menganut sistem multipartai.

Jumlah partai yang gemuk cenderung mengakibatkan adanya gesekan kepentingan yang cukup kuat antara partai-partai mayoritas di parlemen dan presiden yang mana notabene sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintah. Tidak heran jika presiden melakukan koalisi dengan partai mayoritas di parlemen untuk mendapatkan dukungan dan menciptakan relasi yang harmonis.

Begitu jelas saja, jika kemudian formasi kabinet diisi oleh orang-orang yang berasal dari partai pendukung. Rasanya sulit memang untuk tidak memberi jatah posisi-posisi strategis atau bahkan kursi menteri kepada partai pendukung. Faktor selanjutnya adalah, adanya sistem pemilihan presiden yang dilaksanakan di Indonesia yakni sistem presidential threshold.

Partai politik berebut suara dengan melakukan koalisi agar lolos melebihi ambang batas. Pasangan calon presiden dan wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh setidaknya 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Jadi, tidak bisa dipungkiri kemungkinan dilakukannya agenda resuffle kemarin sebagai bentuk upaya parpol untuk masuk dalam gerbong agar mendapatkan suara sebanyak mungkin dan bisa melebihi ambang batas. Regulasi sistem presidential threshold bisa menjadi distraksi atau hambatan dalam rangka implementasi dari zaken kabinet.

Jika dirasa oleh pihak tertentu bahwa adanya zaken kabinet sebagai gagasan untuk menyingkirkan peran parpol dalam pemerintahan, hal itu nampaknya kurang tepat, karena sejauh sistem politik di Indonesia masih berpusat pada kepentingan kekuasaan, menganut model multipartai dan sistem presidential threshold, maka keterlibatan parpol dalam pemerintahan atau kabinet tidak bisa dihindari.

Jika kemungkinan kabinet pada akhirnya diisi oleh orang-orang dari parpol, maka mereka memang ahli dalam bidangnya. Dikatakan ahli dalam hal ini setidaknya memenuhi tiga aspek.

Pertama, berintegritas yang berarti mereka memiliki karakter yang meletakkan kepentingan masyarakat menjadi hal utama, serta patuh pada regulasi yang ada. Apalagi posisi menteri setidaknya menjadi role model yang baik bagi para staff atau bawahannya. Kedua, profesional, dalam hal ini orang-orang parpol yang menduduki posisi strategis benar-benar memiliki latar belakang kapabiltas dan pengalaman yang sesuai dengan bidang kinerjanya di kementerian. Ketiga, independen yang berarti mereka tidak terikat dan tidak terpusat dengan kepentingan parpol atau pihak lain, sehingga mereka dapat fokus untuk melaksanakan tugas pemerintahaannya. 

Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah bisa hal tersebut diimplementasikan dalam kinerja kabinet? Padahal sejauh ini masyarakat sebenarnya juga tidak bisa menutup mata, dimana pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan wakil parpol yang terlibat dalam kabinet nyatanya kurang menampakkan kapabilitasnya dalam menjalani kinerjannya sebagai pejabat yang berintegritas, profesional, berintegritas, apalagi independen.

Bukan hal tabu lagi, jika ada sebagaian menteri yang berasal dari parpol menjadikan posisi menteri sebagai pintu untuk lebih leluasa mengibarkan layarnya dalam menghadapi ombak pertarungan politik, bahkan dengan menduduki posisi menteri dijadikan sebagai pintu ATM milik partai. Negara dan pemerintah yang benar-benar ideal memang sulit untuk diwujudkan, namun terus melakukan ikhtiar atau usaha untuk memberikan kemaslahatan bersama harus terus dilakukan dan menjadi sebuah kewajiban.

***

*) Oleh : S Izzah Afadha (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Airlangga)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES