Hukum dan Kriminal

Diduga Jadi Korban Mafia Tanah, Keluarga di Banyuwangi Minta Pendampingan Pemuda Pancasila

Rabu, 15 Juni 2022 - 15:56 | 101.91k
Sumarah (paling kiri) bersama perwakilan saudara saat menandatangani surat kuasa pendampingan kasus dugaan praktik mafia tanah dengan MPC Pemuda Pancasila Banyuwangi. (Foto : Syamsul Arifin/ TIMES Indonesia)
Sumarah (paling kiri) bersama perwakilan saudara saat menandatangani surat kuasa pendampingan kasus dugaan praktik mafia tanah dengan MPC Pemuda Pancasila Banyuwangi. (Foto : Syamsul Arifin/ TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Kisah Fiftiya Aprialin sekeluarga, dalam memperjuangkan hak atas tanah warisan terus berlanjut. Warga Desa Sumbergondo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut kini meminta pendampingan MPC Pemuda Pancasila.

"Kami ingin mendapatkan keadilan. Dan kami yakin di negeri ini masih banyak orang yang berani mengungkapkan kebenaran," katanya, Rabu (15/6/2022).

Apa yang dilakukan Fiftiya bersama lima saudara kandungnya memang cukup masuk akal. Mereka menginginkan hak mereka. Yakni hak atas tanah warisan, yang kini sertifikatnya tiba-tiba berganti atas nama orang lain. Diduga enam wanita bersaudara di Banyuwangi ini adalah korban praktik mafia tanah.

Pendampingan ormas loreng hitam oranye terhadap Fiftiya sekeluarga ditandai dengan penandatangan surat kuasa. Ditanda tangani keenam bersaudara. Dan pihak Pemuda Pancasila Banyuwangi, diwakili Ketua Harian, Irwanto. Disaksikan oleh sejumlah teman dan kerabat.

Saat tatap muka, Sumarah, kakak tertua Fiftiya bercerita tentang kasus dugaan praktik mafia tanah di Bumi Blambangan tersebut. Menurutnya, kisah bermula dari akad utang piutang dengan Galih Subowo, warga Desa Tegalarum, Kecamatan Sempu, sekitar tahun 2010 silam.

Kala itu, Sumarah menyerahkan 3 sertifikat tanah sebagai jaminan. Jumlah hutangnya pun hanya sekitar Rp 16 juta.

Dari situ, Galih Subowo tahu bahwa ada 2 sertifikat tanah milik saudara si Sumarah, sedang menjadi agunan di BPR Tawangalun dan KSP Hindu. Dengan rincian, satu sertifikat tanah sebagai jaminan hutang Rp 120 juta. Dan satu lainnya jadi jaminan hutang Rp 80 juta.

Disebutkan, selayak pahlawan, saat itu Galih Subowo menawarkan untuk membantu pembayaran hutang. Dan sebagai syarat, setelah pinjaman di BPR Tawangalun dan KSP Hindu terbayar, maka kedua sertifikat tanah dia yang pegang. Namanya orang sedang terbelit keadaan, tawaran manis itu pun langsung disepakati.

Sumarah bersama lima saudara mulai panik ketika semakin merasa kesulitan mengambil kembali sertifikat tanah warisan mereka. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa kelima sertifikat tanah miliknya beserta lima saudara lain, telah berganti atas nama Galih Subowo.

Dan itu terjadi dengan tanpa sepengetahuan. Berbagai upaya terus dilakukan. Termasuk dengan iktikad baik melakukan pembayaran pinjaman.

"Sekitar tahun 2018, kita mau membayar pinjaman kita ke Pak Galih Subowo, sebesar Rp 300 juta lebih. Niatan baik kita ditolak, padahal hutang kita sebenarnya tidak sampai segitu," kata Sumarah.

Hingga akhirnya pada 2019, dilakukan gugatan di Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi. Dan tercetuslah Surat Perjanjian Perdamaian Bersama antara Sumarah beserta lima saudara dengan Galih Subowo, tertanggal 29 Nopember 2018. Salah satu isinya, Sumarah sekeluarga harus membayar piutang sebesar Rp 958.000.000, selambat-lambatnya 29 Januari 2019.

"Kami sudah datang dengan membawa uang, bahkan uang tersebut kita tata dimeja di PA Banyuwangi, Pak Subandi, Ketua Panitera PA Banyuwangi, juga tahu sendiri. Bahkan Pak Subandi meminta satpam PA Banyuwangi, untuk ngawal kami, karena bawa uang banyak," jelas Sumarah.

"Pak Galih yang tidak datang ke PA Banyuwangi. Tapi entah kenapa, malah kami yang diputuskan kalah. Dan yang tidak menghadiri undangan PA Banyuwangi malah dinyatakan menang," imbuhnya.

Satu lagi, Sumarah menambahkan, saat proses gugatan, Galih Subowo sempat meminta uang sebesar Rp 45 juta. Galih menyebut, jika permintaanya dikabulkan maka dia akan mengembalikan seluruh sertifikat tanah. Nyatanya, setelah uang Rp 45 juta diterima, sertifikat tanah milik Sumarah dan keluarga tidak diberikan.

Mendengar penjabaran tersebut, Ketua Harian MPC Pemuda Pancasila Banyuwangi, Irwanto, mengaku makin bersemangat. Menurutnya, saat ini kasus mafia tanah adalah tugas bersama. Dan membongkar kasus mafia tanah merupakan instruksi pemerintah pusat kepada seluruh jajaran aparat penegak hukum di Indonesia.

"Tapi kita harus berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah. Tidak boleh menjustifikasi si A, atau si B sebagai mafia tanah. Yang pasti, seluruh masyarakat Indonesia wajib taan dan patuh pada Undang-Undang yang berlaku," katanya.

Rencananya, lanjut Irwanto, sebagai langkah awal pendampingan, pihaknya akan menggelar aksi damai didepan Kantor PA Banyuwangi. "Jika memang seluruh oknum pegawai PA Banyuwangi, bersih dari KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena kami hanya aksi damai," ungkapnya.

Demi memperjuangkan hak atas tanah warisan dengan luas sekitar 4,5 hektar, kini Sumarah bersama lima saudara, meminta pendampingan MPC Pemuda Pancasila Banyuwangi. Indikasi ketidakadilan PA Banyuwangi, ini juga dilaporkan kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Namun sayang, Panitera PA Banyuwangi, Subandi, selaku panitera saat gugatan, masih saja enggan berkomentar. Begitu juga Galih Subowo. Pertanyaan awak media juga tak pernah diberi jawaban. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES