Politik

Setara Institute: Dua Tahun Kedepan Akan Banyak Sirkus Politik

Rabu, 15 Juni 2022 - 13:11 | 33.97k
Presiden Jokowi bersama Megawati Soekarnoputri. (FOTO: dok TIMES Indonesia)
Presiden Jokowi bersama Megawati Soekarnoputri. (FOTO: dok TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setelah orkestrasi kampanye 3 periode untuk jabatan presiden gagal atau tertunda menjadi agenda politik nasional, segera proses dan tahapan Pemilu 2024 akan dimulai. Aktor-aktor politik telah dan akan terus berakrobat untuk memikat rakyat pemilih hingga hari pencoblosan tiba. Bukan hanya elit politik di luar pemerintahan, para menteri Kabinet Presiden Jokowi (Joko Widodo) juga memainkan peran politik sama.

"Dalam waktu lebih kurang 2 tahun kedepan, rakyat akan disuguhi sirkus politik yang nyaris tidak menyentuh kepentingan utama warga negara," kata Hendardi, Ketua SETARA Institute dalam keterangan tertulis Rabu (15/6/2022).

Ia mengatakan di tahun politik seperti ini, seorang presiden, sebagai pemimpin nasional yang dipilih langsung oleh rakyat diuji integritasnya untuk tetap memimpin pencapaian misi bernegara yakni melindungi hak-hak warga negara, memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan warga melalui berbagai program pembangunan yang telah dicanangkan.

"Sangat memprihatinkan ketika Presiden Jokowi justru menjadi sentrum kegaduhan politik yang mengganggu pencapaian misi bernegara. Setelah melalui tangan para pembantunya menjajakan gagasan 3 periode, Jokowi aktif menghadiri acara-acara kebulatan tekad dari berbagai kalangan, yang pada intinya meletakkan Jokowi sebagai praktisi politik yang tidak mencerminkan sikap kenegarawanan. Jokowi bahkan tampak menikmati keriuhan yang digelar Projo, HIPMI, bahkan di perayaan Hari Lahir Pancasila, di NTT, dengan melempar berbagai term 'ojo kesusu', 'ojo dumeh' dan lain sebagainya," jelasnya.

Kata dia, obsesi Presiden Jokowi untuk menunjuk suksesor dirinya, yang oleh sejumlah pihak diarahkan pada Ganjar Pranowo telah mengikis kewibawaan lembaga kepresidenan.

"Apalagi calon suksesor itu belum teruji kepemimpinannya dalam menyejahterakan rakyat. Justru di tengah kontestasi semacam ini presiden seharusnya menjadi solidarity maker, mengefektifkan kepemimpinan dan menjadi wasit yang adil," katanya lagi.

Ia melanjutkan, kesibukannya menjalani profesi sebagai politikus mengakibatkan agenda-agenda pemerintahan Presiden Jokowi juga diabaikan para menteri-menterinya.

Sementara kebijakan kebijakan baru yang diatur dengan regulasi presiden seperti Inpres No. 4/2022 tentang Percepatan Penanganan Kemiskinan Ekstrem, PP No. 23/2022 tentang Perubahan PP 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan, justru semakin menggambarkan paradoks kepemimpinannya.

"Program percepatan kemiskinan sulit dijalankan karena ego sektoral para menteri yang tidak bisa didisiplinkan Jokowi. Pendekatan penanganan kemiskinan juga sering berupa giat karitatif dalam bentuk bantuan-bantuan yang tidak akuntabel tanpa menyentuh aspek substantif akar kemiskinan, yakni ketidakadilan akses sumber daya, ketidakadilan akses atas tanah, ketidakadilan akses perbankan dan lain sebagainya," ucapnya.

Sementara terkait PP 23/2022, Presiden Jokowi salah satunya melarang direksi BUMN mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau calon anggota legislatif. Presiden tidak memahami bahwa membatasi hak asasi manusia itu harus berdasarkan UU.

"Di sisi lain, justru Presiden Jokowi membiarkan para komisaris BUMN yang terus berpolitik. Bahkan jugal membiarkan Menteri BUMN terus menerus mempromosikan dirinya sebagai calon presiden dengan berbagai instrumen milik negara. Sementara Jokowi tidak berbuat apa apa atas aspirasi yang menentang politisasi pengisian penjabat kepala daerah, agar sejalan dengan amanat Mahkamah Konstitusi," ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES