Kopi TIMES

Pandemi Pergi, Krisis Pangan dan Energi Menanti?

Senin, 13 Juni 2022 - 18:29 | 114.29k
Eko Apriyanto, SST, Statistisi Ahli Pertama BPS Kab Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.
Eko Apriyanto, SST, Statistisi Ahli Pertama BPS Kab Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.

TIMESINDONESIA, HALMAHERA TIMUR – Perekonomian dunia, termasuk Indonesia, mulai bangkit imbas pandemi Covid-19 yang selama dua tahun terakhir menggerogoti berbagai lini kehidupan masyarakat. Ekonomi Indonesia di kuartal pertama pun tumbuh posisif di angka 5,01 persen (year on year). Optimisme pemulihan perekonomian muncul mengingat sudah tak lagi diterapkan kebijakan pembatasan aktivitas yang sebelumnya diberlakukan selama pandemi Covid-19.

Namun, belum lama negeri ini bangkit dari krisis akibat pandemi Covid-19. Kini sederet tantangan baru menanti di depan mata seperti krisis pangan dan energi. Ibaratnya pandemi pergi, krisis pangan dan energi kini menanti. Imbas konflik berkepanjangan Ukraina-Rusia pun disinyalir sebagai salah satu penyebab krisis pangan dan energi dunia. Alhasil berbagai negara di belahan dunia terperangkap dalam ancaman krisis tersebut tak terkecuali Indonesia. 

Lalu seberapa kuatkah pengaruh konflik Ukraina-Rusia terhadap krisis pangan dan energi dunia?

Bukan menjadi rahasia lagi bahwa Ukraina dan Rusia merupakan dua dari sekian negara yang mempunyai andil besar sebagai pemasok utama gandum dunia. Penjualan dari kedua negara tersebut bahkan mencapai sepertiga dari penjualan gandum tahunan secara global. Di bidang pangan, Rusia pun dikenal sebagai eksportir pupuk terbesar di dunia.

Tak hanya itu, Rusia bisa dikatakan salah satu raja minyak bumi dan gas alam dunia. Tak ayal jika Rusia menjadi negara nomor empat eksportir minyak mentah di dunia dengan pangsa pasar 11,4 persen dan cadangan gas alamnya setara dengan 19,9 persen cadangan dunia. Sementara itu, Ukraina selain sebagai salah satu negara penghasil utama gandum, juga dikenal sebagai eksportir bahan pangan lainnya seperti jagung, serelia, biji-bijian dan gula. Imbas konflik Rusia-Ukraina tentunya akan berpengaruh terhadap rantai pasok komoditas-komoditas tersebut.

Lalu apa saja kira-kira yang perlu diwaspadai terhadap perekonomian Indonesia?

Krisis Pangan dan Energi dan Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) melihat masih ada peningkatan harga pangan dan energi sehubungan dengan eskalasi konflik Ukraina-Rusia. Kenaikan harga pangan yang sedari awal tahun sudah merangkak naik, pun masih bertahan sampai beberapa bulan terakhir ini. Tekanan tersebut terlihat dari tingkat inflasi Mei 2022 Indonesia sebesar 0,40 persen.

Jika dirinci, andil komponen bahan makanan mencapai 0,17 persen. Kemudian bila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, inflasi bahan pangan mencapai 5,93 persen (year on year). Kenaikan harga pangan tersebut didorong oleh kebijakan negara-negara mitra dagang dalam merespons ketegangan konflik Ukraina-Rusia.

Pembatasan ekspor bahan pangan dilakukan sejumlah negara seperti Ukraina, Turki, Argentina, India, dan Malaysia. Pembatasan ekspor pupuk dilakukan oleh Tiongkok, Vietnam, dan Pakistan. Sementara itu, Rusia bahkan membatasi ekspor keduanya. Dampaknya peningkatan sejumlah bahan pangan di dalam negeri pun tak bisa dihindarkan. Alhasil beberapa komoditas seperti telur ayam ras, tepung terigu, daging sapi, dan mie kering instan sudah nampak mengalami peningkatan harga pada Mei 2022.

Belum lagi krisis energi diawali dengan lonjakan harga minyak mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dunia. Pemerintah pun terpaksa mengambil langkah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax hingga 30 persen per 1 April 2022. Kenaikan harga pangan, dan BBM pun praktis membuat masyarakat perlu merogoh dompet lebih dalam lagi setelah sebelumnya telah dibuat pusing imbas kenaikan harga minyak goreng. Belum lagi pemerintah dalam waktu dekat berencana untuk menaikkan tarif dasar listrik untuk konsumen nonsubsidi.

Hal yang patut diwaspadai yaitu dampak dari kenaikan harga pangan dan energi adalah terkait kenaikan jumlah penduduk miskin. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab komoditas pangan dan energi mempunyai andil yang tak sedikit terhadap Garis Kemiskinan (GK). Komoditas pangan memiliki porsi besar terhadap GK di Indonesia.

Menurut data Susenas September 2021, komoditi beras menyumbang 19,69 persen, telur ayam ras (4,30 persen), daging ayam ras (4,52 persen), mie instan (2,56 persen), tahu (1,88 persen), tempe (1,87 persen), roti (1,76 persen) dan bawang merah (1,73 persen) terhadap GK perkotaan.

Sementara itu, komoditi beras menyumbang 23,79 persen, telur ayam ras (3,69 persen), daging ayam ras (2,93 persen), mie instan (2,29 persen), bawang merah (1,92 persen), roti (1,70 persen), tempe (1,64 persen), dan tahu (1,56 persen) terhadap GK perdesaan.

Sedangkan porsi besar konsumsi komoditas energi terhadap Garis Kemiskinan di Indonesia disumbang oleh bensin, listrik dan minyak tanah. Komoditi bensin merupakan komoditi terbesar kedua penyumbang garis kemiskinan non makanan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Bensin menyumbang 3,89 persen di perkotaan dan 3,38 persen di perdesaan. Listrik menyumbang 3,38 persen di perkotaan dan 1,75 persen di perdesaan. 

Krisis pangan yang menerpa akhir-akhir ini berdampak pada berbagai lini kehidupan, tentu akan menjadi ancaman serius bagi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia di tengah persaingan antarbangsa yang semakin kompetitif. Hal tersebut terkait pemenuhan gizi yang cukup, utamanya bagi balita dan anak-anak yang berisiko terhadap kenaikan angka stunting. Pasalnya kemampuan daya beli orang tua akan melemah dan berpengaruh terhadap kualitas gizi yang diberikan kepada balita-balitanya. Padahal pemerintah menargetkan penurunan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024.

Namun jika dilihat data terkini, berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen atau sekitar 5,33 juta balita. Tentunya pekerjaan rumah pemerintah semakin tidak mudah jika krisis pangan benar-benar semakin tak terkendali.
 
Kolaborasi

Persoalan krisis pangan dan energi memang bukan persoalan yang sederhana dan tidak sederhana pula cara penyelesaiannya. Dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak agar efek dari krisis tersebut tidak separah krisis akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan negeri ini mengalami resesi. Sebagai negara agraris, potensi Indonesia terhadap sektor pertanian sangatlah besar.

Hal tersebut tentunya menjadi tantangan bagi kementerian terkait bagaimana agar pengelolaan sektor pertanian bisa maksimal dan secara perlahan mengurangi ketergantungan terhadap komoditas pertanian luar negeri. Selain itu, Badan Pangan Nasional juga perlu memperkuat rencana mitigasi kebutuhan pangan masyarakat.

Sementara terkait persoalan krisis energi, pemerintah perlu menyerap produk sawit dari petani rakyat kecil dengan harga wajar dan juga bisa lebih fokus dalam pengeloaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Aksi nyata dan kolaborasi pasca pandemi Covid-19 oleh berbagai pihak, perlu diperkuat agar terwujud kemandirian pangan untuk kecukupan gizi dan energi. Sehingga kita tak ketergantungan dengan impor bahan pangan dan energi.

***

*) Oleh: Eko Apriyanto, SST, Statistisi Ahli Pertama BPS Kab Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

________
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES