Kopi TIMES

Kompensasi Pasien dan Pembiayaan Berbasis Nilai Pada JKN

Senin, 13 Juni 2022 - 15:28 | 52.51k
Warsi Maryati, S.K.M., MPH, Dosen Universitas Duta Bangsa Surakarta dan Mahasiswa S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat UNS.
Warsi Maryati, S.K.M., MPH, Dosen Universitas Duta Bangsa Surakarta dan Mahasiswa S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat UNS.

TIMESINDONESIA, SURAKARTA – PADA 6 Januari 2022, Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Inpres tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan program JKN, meningkatkan akses layanan kesehatan yang berkualitas, dan menjamin keberlangsungan program JKN. Secara tidak langsung melalui Inpres tersebut, pemerintah mendorong agar masyarakat segera mendaftar menjadi peserta program JKN serta bagi yang sudah terdaftar rutin membayar iuran. 

Penerbitan Inpres ini dilatarbelakangi defisit keuangan BPJS. Sejak awal diberlakukannya BPJS pada tahun 2014, sudah tercatat defisit sebesar Rp1,9 triliun. Defisit tersebut meningkat pada tahun berikutnya yaitu sebesar Rp9,4 triliun. Pada tahun 2016, defisit mengalami penurunan dengan adanya kebijakan penyesuaian iuran menjadi Rp6,5 triliun. 

Penyesuaian iuran ternyata belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah terdebut, faktanya pada tahun 2017 sampai 2019 defisit keuangan mencapai belasan triliun. 

Defisit keuangan BPJS sebenarnya terus menerus mengalami setelah tahun 2019 namun defisit ini tetap harus diantisipasi oleh BPJS mengingat target capaian kepesertaan juga masih kurang optimal. 

Sesuai RPJMN bahwa kepesertaan BPJS dalam rangka mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada tahun 2024 yaitu sebesar 98 persen. Sedangkan pada tahun 2022 ini ditagetkan jumlah peserta BPJS sebesar 245,14 juta (88,51 persen dari total penduduk Indonesia). 

Data kepesertaan per November 2021 menunjukkan jumlah peserta BPJS mencapai 229,51 juta dan sekitar 17 persennya merupakan peserta yang tidak aktif. Dalam rangka menjamin keberlangsungan program JKN memang harus ada upaya untuk menekan jumlah peserta tidak aktif dan meningkatkan kepsertaan baru. 

Pada instruksi presiden tersebut, terdapat dua poin utama kebijakan, yaitu peserta JKN dapat mengakses layanan kesehatan yang berkualitas dan melakukan evaluasi kebijakan serta upaya perbaikan pelaksanaan JKN. 

Kebijakan tersebut diimplementasikan dalam proses pelayanan administrasi publik pada 23 kementerian dan 7 lembaga negara dengan wajib menyertakan bukti kepesertaan BPJS Kesehatan. Sebagai contoh dalam pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan ibadah haji. 

Seperti yang sudah disebutkan bahwa diterbitkan Inpres tersebut tidak hanya semata-mata mewajibkan masyarakat untuk aktif menjadi peserta BPJS kesehatan namun harus disertai upaya perbaikan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Fakta yang saat ini terjadi, para peserta BPJS Kesehatan masih mengalami ketidakpastian pelayanan, penolakan, penundaan pelayanan kesehatan, serta proses administrasi yang rumit. 

Ada beberapa alternatif untuk mendorong fasilitas pelayanan kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas layanannya. 
Yang pertama, menerapkan kebijakan kompensasi kepada peserta atas ketidakpuasan, kerugian dan tidak terpenuhinya standar pelayanan kesehatan yang berkualitas. 

Dengan demikian fasilitas pelayanan kesehatan akan berusaha untuk seoptimal mungkin menghindari kompensasi kepada pasien akibat ketidakpuasan ataupun kerugian yang dialaminya. Selain itu, kebijakan ini juga bermanfaat untuk memulihkan kerugian serta ketidakpuasan pasien atas pelayanan tidak berkualitas yang telah dialaminya sehingga dapat meningkatkan rasa keadilan pada peserta BPJS Kesehatan. 

Peserta BPJS Kesehatan juga akan merasa lebih percaya dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan karena memiliki jaminan ketika pelayanan kesehatan yang diberikan kepadanya tidak layak, tidak memuaskan ataupun tidak berjalan sebagaimana mestinya akan ada jalan yang dapat ditempuh untuk mengembalikan kerugian yang dialaminya. 

Yang kedua, menerapkan sistem pembiayaan kesehatan berbasis nilai. Sistem pembiayaan berbasis nilai adalah sistem pengaturan biaya layanan kesehatan dan obat-obatan di mana penyedia layanan kesehatan dibayar berdasarkan kualitas perawatan daripada jumlah layanan kesehatan. 

Dengan demikian fasilitas pelayanan kesehatan akan berusaha seoptimal mungkin untuk menghasilkan outcome yang terbaik karena berpengaruh pada pendapatan yang akan diterimanya. 

Jika kompensasi lebih menjamin keadilan bagi peserta BPJS Kesehatan, maka kebijakan pembiayaan berbasis nilai ini lebih menjamin keadilan bagi fasilitas pelayanan kesehatan karena bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan kesehatan dengan outcome pasien yang lebih baik dan berkualitas akan mendapatkan klaim biaya yang lebih tinggi.

***

*) Oleh: Warsi Maryati, S.K.M., MPH, Dosen Universitas Duta Bangsa Surakarta dan Mahasiswa S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat UNS.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Bambang H Irwanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES