Hukum dan Kriminal

Ketua FPAY Aprillia Supaliyanto Sebut Banyak Advokat Abaikan Attitude

Senin, 13 Juni 2022 - 10:56 | 52.69k
(kanan) Pengacara senior Yogyakarta, Aprillia Supaliyanto MS SH MH. (FOTO: Fajar Rianto/TIMES Indonesia)
(kanan) Pengacara senior Yogyakarta, Aprillia Supaliyanto MS SH MH. (FOTO: Fajar Rianto/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pengacara senior Yogyakarta, Aprillia Supaliyanto MS SH MH mengaku resah terkait dinamika profesi advokat saat ini. Keresahan itu menyangkut attitude di kalangan lawyer. Persoalan ini juga pernah ia kemukakan saat berbicara di hadapan tokoh advokat nasional seperti Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH dan Dr OC Kaligis SH di Jakarta belum lama ini.

Ketua Forum Persaudaraan Advokat Yogyakarta (FPAY) ini mengatakan persoalan attitude dikalangan advokat menjadi problem yang harus segera diselesaikan.

“Bukan hanya persoalan mengenai kualitas advokat. Namun, soal adab atau attitude ini sangat penting ditanamkan sejak dini bagi mereka yang menekuni profesi advokat,” kata Aprillia kepada TIMES Indonesia, Senin (13/6/2022).

Aprillia menambahkan, secerdas apa pun atau kemampuan ilmu luar biasa apa pun yang dimiliki seseorang tak bernilai bila tak diimbangi dengan adab, etika, atau attitude. Karena itu, ia mengingatkan, ada tiga kompetensi yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap orang terutama advokat. Yakni, knowledge, skill, dan attitude.

“Knowledge berarti pengetahuan, skill artinya keterampilan, dan attitude berarti sikap, adab,atau etika tadi," urai Aprillia.

Nah, ketiga komponen ini yang merefleksikan, mencerminkan profesionalisme seseorang

manakala ia dapat mewujudkan dalam kesehariannya. Karena itu, advokat senior yang juga memiliki kantor di Jakarta ini memandang persoalan attitude merupakan masalah besar terhadap dinamika dunia advokat saat ini.

Terutama jika melihat kondisi yang ada saat ini.

Disisi lain, tidak menutup kemungkinan persoalan peradaban ini juga melanda profesi lainnya. Ia menekankan salahsatu pintu masuk untuk bisa menyelesaikan persoalan keadvokatan adalah membangun kembali marwah dan martabat advokat. Dengan membentuk satu wadah dewan etik nasional dan dewan kehormatan nasional.

"Hanya ada satu dewan etik maupun dewan kehormatan nasional," sarannya.

Menurut Aprillia, hal ini mendesak sekali untuk diwujudkan. Mengingat realitasnya saat ini banyak yang menjadi kutu loncat. Ia mencontohkan, seorang oknum advokat di periksa di organisasi advokat A kemudian mendapat punishment (hukuman) karena terbukti melanggar kode etik. Enak saja ia loncat (bergabung) ke organisasi advokat B atau yang lainnya. Disatu sisi organisasi advokat yang lain ini juga seenaknya sendiri menampung advokat yang kena punishment dari organisasi sebelumnya.

Dengan terbentuknya  satu dewan etik dan satu dewan nasional. Saat punishment dijatuhkan kepada seorang advokat maka tidak boleh lagi ada organisasi advokat lain yang menampung advokat yang dapat hukuman tadi.

Itulah salahsatu solusi untuk membangun jatidiri advokat pejuang yang memiliki harga diri menjaga marwah profesi advokat sebagai officium nobile atau yang terhormat. Sementara menyangkut organisasi advokat secara tegas Aprillia Supaliyanto menyebut realitasnya saat ini adalah multibar.

“Jika ada pimpinan organisasi advokat  memaksakan single bar bearti yang pertama tidak realistis. Sedangkan yang kedua tidak memahami alam demokarasi, tidak menghargai hak berserikat, hak berkumpul yang tidak bisa dirampas oleh siapapun," sebutnya.

Tetapi konsep multibar ini jangan kemudian tanpa batasan. Hasil investigasi dari Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) menyebut ada 108 organisasi advokat di Indonesia belum lama ini.

Kondisi multibar yang tanpa batas tersebut juga tidak sehat dari perspektif kualitas karena dapat berpotensi menurunkan kualitas advokat. Dimana organisasi advokat kemudian hanya berpikir untuk merekrut anggota sebanyak-banyaknya sehingga ada uang masuk dan sebagainya. Namun tidak berpikir bagaimana membangun kualitas.

"Dahulu awal tahun 2014 saat hearing dengan Komisi III DPRI saya sodorkan konsep multibar. Saat ditanya kami jawab (saat itu) baru ada 10 organisasi advokat. Dimana 8 organisasi tertulis  dalam Udang Undang advokat sementara dua organiasi lainnya disebut dalam putusan MK No.101/PUU-VII/2009  yakni  KAI dan Peradi. Jumlah tersebut adalah muktibar. Bahkan jika kemudian harus di verifikasi dan misal akan lolos 4 juga tetap multibar. Jumlah ini akan lebih mudah merumuskan nilai kualitas untuk kepentingan anggota," tuturnya.

Sedangkan untuk sistemnya harus memiliki regulator atau lembaga pengatur yang melahirkan aturan main. Apapun namanya, keberadaan semua kegiatan organisasi advokat yang ada mengacu pada satu lembaga yang bersifat sebagai regulator. Sehingga semua organisasi advokat juga hanya mengacu pada satu regulasi saja. Ini merupakan cara menghindari kompetisi yang tidak sehat. Sekaligus mendegradasi dari sisi kualitas.

Inilah yang mendasari Aprillia menggugah para sesepuh, senior atau para advokat lainnya untuk tidak apatis dan merasa acuh tak acuh. Ia mengajak para advokat senior segera menyadari bahwaannya dunia advokat saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sekaligus berupaya untuk melakukan langkah perbaikan.

“Memang tidak mudah. Namun, bukan berarti harus diam. Seluruh organisasi advokat dapat tergerak mensikapi kondisi yang ada mengenai attitude,” pinta Aprillia Supaliyanto. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES