Kopi TIMES

Nalar Islam Milenial dan Potret Keberagamaan Inklusif

Selasa, 31 Mei 2022 - 22:59 | 80.13k
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Di tengah menjamurnya media sosial saat ini memarketkan produk haruslah bernuansa persuasif dan menarik. Sebagai pembuat, produsen diharapkan mampu mendesain produknya dengan semenarik mungkin di hadapan konsumen yang tidak sama dan berlatar sosial berbeda.

Demikian pula dengan upaya mendakwahkan ajaran Islam di bumi Tuhan yang sangat luas dan dihuni oleh beragam umat. Islam diturunkan ke bumi oleh Tuhan adalah sebagai pembawa rahmat dan jalan keselamatan bagi pemeluknya. Sebagai jalan keselamatan, upaya mendakwahkan Islam seyogianya melalui jalan persuasif dan santun seperti yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan ulama setelahnya. 

Dalam berdakwah Nabi Muhammad Saw sangat persuasif, ramah, santun, dan tidak memaksakan kehendak kepada penganut kepercayaan lain untuk memeluk Islam. Ketika Nabi Saw dicaci, beliau tidak balas memaki. Ketika disakiti, beliau tidak menghardik, tapi mendoakan umatnya yang belum memahami dakwahnya. Bahkan Nabi Saw malah mendoakan umatnya 'Allahumma ihdi qaumi fainnahum la ya’lamun'. Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui. Kisah ini masyhur di beberapa kitab tarikh/sejarah yang berjilid-jilid seperti Al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibnu Atsir, Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, dan Tarikh al-Umam waal-Muluk karya Ibnu Jarir al-Thabari.  

Potret dakwah Nabi Saw yang santun, ramah, memaafkan, dan tidak suka menyalahkan itulah menurut K.H. A. Mustofa Bisri (2018) yang seharusnya diunggah ke ranah publik. Selama ini dalam pandangan K.H. A. Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal dengan Gus Mus, potret pibadi atau metode berdakwah Nabi Saw yang agung itu seperti tertutupi dengan model penggambaran yang parsial. Contoh sederhana misalnya dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) baik Negeri maupun Swasta, sosok pribadi Nabi Saw digambarkan dengan bab-bab peperangan (bahts al-harb).  Sisi pribadi Nabi SAW yang humanis kurang tercover oleh murid-murid di tingkat tersebut yang terutama di huni oleh kalangan milenial. 

Dakwah Islam di kalangan milenial ini membutuhkan strategi dan piranti yang mampu menjangkau pemikiran mereka. Selain itu, model penyampaian yang menarik dan berbobot juga sangat diperlukan. Hal ini dirasa penting mengingat masa-masa mereka adalah masa pencarian identitas dan pegangan hidup yang dapat menenangkan gejolak dan hasrat jiwa yang menggebu-gebu. Termasuk dalam hal ini adalah 'hasrat' dalam beragama. 

Mencermati situasi sosial-kemasyarakatan seperti ini, hadirnya model pengajaran Islam ala K.H. Ahmad Baha’udin Nursalim atau yang dikenal dengan Gus Baha’ bisa menjadi salah satu alternatif penting dalam mengobati kegersangan keberagamaan kalangan milenial khususnya dan umat Islam pada umumnya. Jika dicermati secara mendalam Gus Baha’ menawarkan model pendekatan Islam secara kontekstual dengan pembacaan yang cerdas, bernas dan inklusif. 

Dalam pandangan Kiai muda dari Narukan Rembang Jawa Tengah ini, model dakwah umat Islam di era milenial ini terjebak pada klaim-klaim kebenaran (truth claim) dan saling menyalahkan satu sama lain. Klaim-klaim kebenaran ini berasal dari kurangnya pembacaan umat Islam terhadap tradisi (turast) mereka yang sangat kaya itu. 

Menurut Nur Khalik Ridwan, intelektual muda NU Banyuwangi dalam bukunya Agama Borjuis Kritik Atas Nalar Islam Murni (2002) sebagian umat Islam saat ini hanya puas 'membaca Islam' pada sisi permukaan atau 'narasi yang terbaca' semata dan tidak mampu melakukan pembacaan yang kritis dan mendalam atas tradisinya. Padahal dibalik itu masih terdapat lapisan-lapisan pemikiran yang membentuk struktur pemikiran Islam (bunyah al-fikr al-Islami) yang 'tak terbaca' atau bahkan 'tak terpikirkan (unthinkable)'. 

Senada dengan hal itu, menurut Gus Baha’ dalam mendakwahkan Islam di era milenial membutuhkan dua manhaj (metodologi) yang saling berkait kelindan satu sama lain, yakni manhaj al-da’wah (metodologi dakwah) dan manhaj al-ahkam (metode penyampaian hukum). Keduanya harus disampaikan secara proporsional, kontekstual dan komprehensif. 

Dalam pandangan Gus Baha’ umat Islam saat ini seringkali terjebak pada klaim-klaim kebenaran karena mereka tidak memahami manhaj al-da’wah yang humanis dan inklusif seperti yang diteladankan oleh Nabi Saw. Karena suka menghakimi yang lain sebagai sesat dan menyesatkan, mereka telah kehilangan—dalam istilah K.H. Ahmad Mustofa Bisri/Gus Mus—'ruh al-da’wah' seperti yang digambarkan di dalam Al-Qur’an yakni perdebatan yang proporsional (wa jadilhum billati hiya ahsan) dan metode yang baik (bi al-mau’izah hasanah).

Karena tidak memahami manhaj al-da’wah atau ruh al-da’wah inilah sebagian umat Islam mengklaim sebagai yang paling benar sendiri dan menuduh yang lain sesat, kafir, dan bid’ah. Sebuah model dakwah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Saw baik ketika berdakwah di Makkah maupun di Madinah. 

Dari ketidakpahaman terhadap manhaj al-da’wah tersebut, yang lebih parah lagi, mereka terjebak pada kesalahan fatal dengan mendahulukan manhaj al-ahkam secara tekstual dan seringkali mengabaikan fakta historis-konstekstualnya. Akibatnya adalah tuduhan sesat kepada yang lain karena tidak memahami runtutan dakwah seperti yang digambarkan oleh Gus Baha’ tersebut. 

Gus Baha’ mengajak umat Islam agar beragama dengan riang gembira  dan selalu bahagia (bi farahin wa sururin). Karena menurutnya al-din yusrun. Agama itu gampang atau mudah. Asal jangan menggampangkan. Beragama adalah berproses menuju kepada keadaan yang lebih baik. Karena masih berproses, maka tidak diperkenankan untuk mengklaim atas kebenaran dan menyalahkan serta menyesatkan yang lain. 

Kebenaran absolut adalah milik Allah dan bukan milik sebagian kalangan yang seringkali menggunakan klaim sesat sebagai senjata untuk menghakimi. Ketika menerangkan kekuasaan Allah misalnya, menurut beliau, umat Islam harus proporsional. Allah mempunyai sifat yaghfiru (memaafkan) dan yu’azzibu (menyiksa) sekaligus. Umat Islam tidak boleh menggambarkan secara berat sebelah. Karena manusia sebagai makhluk yang selalu berproses, maka bisa saja ketika suatu saat ia bermaksiat, ampunan dan rahmat Allah yang berlipat sudah mendahuluinya. Demikian pula sebaliknya.  

Gus Baha’ mengajarkan kepada umat Islam di era milenial ini agar beragama dengan cerdas dan tidak grasah-grusuh. Beliau mengajarkan Islam dengan manhaj al-da’wah yang persuasif dan proporsional. Perdebatan dilawan dengan perdebatan, logika dengan logika, dan bukan penghakiman apalagi penghasutan atas yang lain. 

Sebagai seorang ulama muda yang dikenal mumpuni di bidang fiqh al-qur’an, beliau juga mengapresiasi dan meneladankan bagaimana memahami Islam secara cerdas dan bernas melalui ketepatan dalam menggunakan manhaj al-ahkam al-syar’iyyah. Tidak hanya berteriak kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits, tetapi tidak mengetahui seluk beluk keilmuan yang terkait dengan keduanya. 

Kehadiran Gus Baha’ dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia merupakan sebuah oase di tengah meluasnya padang pasir penghakiman pemikiran. 

Sebagaimana diakuinya sendiri, Gus Baha’ menawarkan model pembacaan Islam yang santai, ringan, dan penuh humor. Meski begitu, sekali waktu juga serius dan sangat mendalam. Dari model pengajaran ini, seringkali terlontar guyonan dan gojlokan beliau 'ngaji ora khatam' atau 'ngaji kudu khatam'.

Mengkaji Islam harus cerdas kata Gus Baha’. Islam yang cerdas adalah Islam yang dikaji secara khatam, tidak setengah-setengah, apalagi parsial.

***

*) Oleh: Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.

  

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES