Kopi TIMES

DIBALIK PERINGATAN 1 JUNI 1945: Politik Ideologi Pasca Reformasi

Selasa, 31 Mei 2022 - 09:14 | 95.34k
Antono Wahyudi, S.S., M.Fil. (Pusat Pendidikan Karakter-Kepemimpinan dan MATA KULIAH UMUM Universitas Ma Chung).
Antono Wahyudi, S.S., M.Fil. (Pusat Pendidikan Karakter-Kepemimpinan dan MATA KULIAH UMUM Universitas Ma Chung).

TIMESINDONESIA, MALANG – Setelah memberikan materi Pengantar Pancasila, seorang mahasiswa menghampiri saya dengan penuh keraguan sekaligus penasaran, “Pak! Bukankah Pancasila lahir pada tanggal 18 Agustus 1945, kenapa jadi 1 Juni?” Setelah itu temannya menimpali dengan pertanyaan, “Saya pernah mendengar bahwa Pancasila itu sudah disepakati pada 22 Juni 1945. Benarkah demikian?” 

Perasaan bahagia sekaligus cemas yang bercampur menjadi satu membuat saya seketika terdiam seribu bahasa. Untung saja kecemasan itu cepat pudar karena kebahagiaan saya ternyata mampu mendominasi oleh rasa ingin tahu mereka yang begitu kuat. Bagaimana jadinya jika informasi yang mereka miliki tersebut tidak mendapatkan verifikasi?

Dengan antusias saya kemudian menjelaskan. Di balik tanggal 1 Juni terdapat perjuangan yang sampai hari ini masih berlangsung baik secara politis maupun ideologis. Seperti yang kita ketahui, Presiden Joko Widodo pada akhirnya memutuskan bahwa mulai 1 Juni 2016 akan selanjutnya diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. 

Sementara itu, di era Presiden Soeharto, pada tanggal tersebut hanya merupakan Peringatan Pidato Bung Karno. Orde Baru lebih memberikan perhatiannya pada 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila, Gerakan 30 September. Mengapa demikian? 

Tentu kompleksitas yang dimainkan secara politis oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab itu telah mengaburkan kejernihan perjalanan Pancasila secara historis. Pengakuan atas kelahiran Pancasila 1 Juni bahkan sama sekali tak tersentuh selama dua periode oleh Presiden SBY. 

Jika melirik sejarah lahirnya Pancasila, terdapat momen-momen penting: 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 dan 18 Agustus 1945. Pada Sidang Pertama BPUPK, tepatnya 1 Juni 1945, setelah mendengarkan dari pemikiran 32 tokoh bangsa, Soekarno kemudian mengakhirinya dengan berpidato tentang nilai-nilai Pancasila berdasarkan formasi rumusan awal “Kebangsaan” sebagai Sila Pertama, diakhiri dengan “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” sebagai Sila Kelima. 

Sampai di sini barangkali kita bertanya-tanya, bukankah urutan dan redaksi Pancasila yang ada pada konstitusi sama sekali berbeda dengan apa yang dirumuskan Soekarno? Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, ada baiknya saya lanjutkan penjelasan tentang momen penting berikutnya.

Pada Sidang Kedua BPUPK, dibentuklah Panitia 9 yang terdiri dari Golongan Kebangsaan dan Golongan Islam dan Soekarno sebagai ketuanya. Singkat kata, pada 22 Juni 1945, kedua golongan ini bersepakat bahwa Sila Kelima dijadikan Sila Pertama dengan pergantian redaksi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” atau yang kerap dikenal dengan istilah “Tujuh Kata”.

Kemudian dibentuklah PPKI yang berfungsi untuk mengesahkan seluruh sidang-sidang yang telah berlangsung. Namun, sebelum PPKI mengesahkan, terdapat aspirasi dari Indonesia bagian Timur. Mereka keberatan atas rumusan “Tujuh Kata” tersebut karena sangat berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi pada agama minoritas.

Bung Hatta kemudian berdiskusi dengan Golongan Islam sebagai pihak yang berkepentingan. Di lain pihak, sebaliknya Soekarno mencoba memberikan pengertian kepada Golongan Kebangsaan untuk menerima “Tujuh Kata” tersebut. 

Strategi politik seperti demikian menandakan pengedepanan keadilan di dalam menyeimbangkan proses politik untuk mencapai mufakat. Demi terwujudnya bangsa dan negara yang harmonis, baik Golongan Kebangsaan maupun Golongan Islam pada akhirnya sepakat bahwa “Tujuh Kata” memang perlu dihapus dan diganti dengan “Yang Maha Esa”.  

Dengan demikian, Sidang Lanjutan PPKI pada 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan rumusan final Pancasila sebagaimana Pancasila yang kita ketahui pada hari ini. Sayangnya, perjuangan Pancasila tidak berhenti begitu saja. 

Pasca reformasi, ormas-ormas fundamentalis mulai bermunculan menghirup udara segar ketika Orde Baru yang totaliter itu runtuh. Dengan semangat menegakkan Negara Agama, propaganda politik mulai digencarkan dengan memanfaatkan sejarah Pancasila yang dimanipulasi.

Salah satu propaganda yang sempat viral di media sosial adalah ketika pimpinan ormas tersebut mengatakan bahwa hari lahir Pancasila adalah 22 Juni, bukan 1 Juni. Mereka juga mengatakan bahwa Soekarno telah menempatkan Sila Ketuhanan berada di “pantat” (urutan terakhir). Analogi yang tidak pantas diucapkan, bukan?! 

Rumusan 22 Juni yang telah disepakati mengalami perubahan secara sepihak dengan Golongan Kebangsaan yang diprovokasi oleh pihak Jepang. Demikian tuduhan mereka. Sampai hari ini saya masih belum menemukan catatan sejarah yang kredibel berbicara soal ini.

Tentu saja, masyarakat awam yang tidak kritis mudah termanipulasi oleh propaganda tersebut. Tetapi mari kita lihat secara rasional pandangan tersebut. Berkaitan dengan tanggal kelahiran Pancasila sudah cukup jelas saya paparkan di atas. Meskipun demikian, terdapat dua pertanyaan yang perlu didudukkan.

Pertama, mengapa Soekarno menempatkan Ketuhanan pada posisi terakhir? Kedua, mengapa rumusan 1 Juni dipilih sebagai kelahiran Pancasila yang statusnya masih mengalami perubahan dan pematangan pada sidang BPUPK berikutnya? Bukankah Pancasila yang kita gunakan saat ini adalah rumusan 18 Agustus? 

Berdasarkan penelitian historis yang dilakukan oleh Yudi Latif, sebenarnya Soekarno tidak terlalu menekankan pada faktor urutan. Dalam pidatonya, Soekarno menempatkan “Kebangsaan” sebagai Sila Pertama karena kondisi bangsa pada waktu itu masih belum mengedepankan persatuan. Dan, karena itu pula, nilai “Ketuhanan” secara holistik belum kompatibel dengan semangat kegotong-royongan dalam payung kemajemukan agama.   

Terbukti pada sidang-sidang berikutnya, Soekarno tidak keberatan atas perubahan urutan dan bahkan redaksinya sekalipun. Soekarno sadar bahwa perubahan tersebut tidak serta merta merubah esensi dari Pancasila itu sendiri. 

Sebagai contoh, “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” memiliki esensi yang sama dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yaitu kristalisasi iman yang termanifestasi dalam sikap mencintai sesama manusia tanpa memandang jenis agamanya. “Kebangsaan” memiliki esensi yang sama dengan “Persatuan Indonesia”. Redaksinya berbeda, tetapi semangat dan maknanya tetap sama.

Dari sini kita bisa melihat, bahwa tidak ada pretensi apapun dari Soekarno untuk menempatkan nilai “Ketuhanan” pada posisi terakhir sebagaimana tuduhan ormas-ormas fundamentalis tersebut. Tetapi mengapa 1 Juni yang dipilih sebagai momen yang pas untuk Kelahiran Pancasila? 

Rumusan awal 1 Juni faktanya merupakan rumusan perdana yang secara substansial diterima dan disepakati bersama para tokoh di dalam sidang BPUPK. Terbukti secara kronologis rumusan 1 Juni sebagai formasi komprehensif menjadi titik awal keberangkatan diskursus pada sidang-sidang berikutnya.  

Dengan kata lain, setelah rumusan 1 Juni disampaikan oleh Soekarno, perubahan yang terjadi hanya sekedar menyentuh wilayah tekstual beserta urutannya tanpa menghilangkan wilayah esensial. Para akademisi dan pemerhati Pancasila kerap menganalogikannya seperti bayi yang baru lahir pada 1 Juni, kemudian terbit akte kelahiran pada 18 Agustus. 

Meskipun demikian, rumusan 22 Juni merupakan bagian dari roh perjalanan perumusan Pancasila yang tak bisa dipandang sebelah mata. Dengan demikian, baik secara historis maupun kontekstual, sangat masuk akal jika 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Kelahiran Pancasila. 

Sampai di sini kita bisa melihat bahwa di balik 1 Juni masih terdapat serangan politik dan ideologi yang terbilang tidak bisa diremehkan. Jangan lupa! Soekarno pernah mengingatkan kita bahwa perjuangannya lebih mudah karena mengusir penjajah. Sementara perjuangan kita akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri. 

Kendati ormas-ormas fundamentalis tersebut telah dibubarkan oleh pemerintah, orang-orang dan para simpatisannya masih tetap ada. Entah dalam bentuk apa lagi mereka akan menyebarkan propaganda politiknya. Entah berapa banyak lagi kesadaran masyarakat yang bisa mereka manipulasi.

Setelah mendengar paparan saya, jiwa muda mahasiswa yang tak pernah berpuas diri itu kemudian melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang tak kalah pentingnya. Apakah kedudukan Pancasila lebih tinggi dari Agama? Apakah Sila Pertama hanya cocok untuk agama tertentu saja? Jika ciri dasar ideologi itu bersifat absolut dan totaliter, mengapa Pancasila kerap disebut sebagai ideologi? Apakah istilah “Pancasilais” itu termasuk dalam ranah absolutisme? Dan seterusnya.

Pada saat itu, saya baru menyadari sekaligus merasakan momen kebahagiaan ketika mahasiswa saya berhasil melewati “fase kritis” dan selamat dari pelemahan dan penjajahan yang berasal dari bangsanya sendiri. 

Mari kita renungkan bersama sebuah peringatan berikut: Ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu bangsa. Pertama, kaburkan sejarahnya. Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya. Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Selamat Memperingati Hari Lahir Pancasila!

 

*) Penulis: Antono Wahyudi, S.S., M.Fil. (Pusat Pendidikan Karakter-Kepemimpinan dan MATA KULIAH UMUM Universitas Ma Chung)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES