Kopi TIMES

Perempuan dan Akses Sumber Daya Alam di NTT

Sabtu, 21 Mei 2022 - 03:38 | 139.00k
Regina Muki, Koordinator Divisi Gender dan Lingkungan Hidup WALHI NTT.
Regina Muki, Koordinator Divisi Gender dan Lingkungan Hidup WALHI NTT.

TIMESINDONESIA, NTT – Kupang- Menuju “Hari Lingkungan Hidup Sedunia” pada 5 Juni 2022, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT melihat ada begitu banyak persoalan lingkungan hidup yang secara langsung berdampak pada perempuan di NTT.

Perempuan menjadi korban dari adanya berbagai kerusakan ekologi akibat kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. 

Gerakan kaum perempuan dalam upaya pelestarian lingkungan perlu diperkuat kembali oleh semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat luas dalam konteks perlindungannya. Kita tidak bisa lagi membiarkan perempuan menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang merusak lingkungan dan ekosistemnya. Persoalan lingkungan di NTT kini sudah masuk pada fase kritis. Perlu adanya pemulihan ekosistem.

Ekofeminisme

Istilah ekofeminisme pertama kali digunakan oleh Francoise D’Eaubonne pada tahun 1974 melalui karyanya “ Le Feminisme ou la Mort”, selanjutnya pada tahun 1987 istilah ini kembali dipopulerkan oleh Karen J. Warren melalui “Feminism and Ecology: Making Conection” yang berusaha untuk menunjukan hubungan antara semua bentuk penindasan manusia, khususnya perempuan dan alam. Namun, Maria Mies dan Vandana Shiva 1998 yang berhasil melakukan rekonstruksi pandangan prinsip ekologi dan feminism dalam melawan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. 

Akumulasi dari krisis lingkungan yang memicu perubahan iklim menjadi persoalan besar masyarakat di NTT, kita ketahui bahwa pada tahun 2021 NTT dilanda badai siklon seroja yang memporak-porandakan kehidupan dan lingkungan. Tentu saja perempuan paling rentan bencana, namun luput dari kebijakan. Seringkali kurang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan penagnggulangan bencana. 

Di tengah krisis lingkungan dan meningkatnya konflik sumber daya alam di Indonesia, posisi perempuan semakin rentan dalam lingkungan dan kehidupan sosial. Banyak perempuan yang mengalami dampak akibat krisis lingkungan. Padahal pelestaraian lingkungan hidup selama ini terjadi justru melalui gerakan lokal yang dimulai dari komunitas-komunitas masyarakat adat dan perempuan, lewat menenun, menaman pohon, merawat serta melakukan berbagai ritual yang berkaitan dengan kehidupan pertanian semuanya dalam rangkaian filosofi alam.

Namun, ironisnya keberadaan perempuan adat sebagai penjaga ekosistem lingkungan di NTT masih belum dijamin dengan baik.

Bagaimana peran perempuan dalam pelestarian lingkungan hidup 

Peran perempuan dalam pelestaarian lingkungan masih mengalami pasang surut, masih banyak kaum perempuan mengalami tindakan diskriminasi yang membuat perempuan kesulitan untuk maju dan berkembang.

Ketika muncul konsep ekofeminime, telah membuka pemahaman kita bahwa sudah saatnya ruang terhadap perempauan dalam segala aspek diberikan baik dalam sosial, budaya, ekonomi, politik dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam feminisme ada satu gerakan yang namanya ekofeminisme ini adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi serta degredasi lingkungan hidup terhadap perempuan.

Gerakan ekofeminisme saat ini merupakan sebuah langkah maju yang dilakukan oleh para perempuan dalam memperjuangkan lingkungan sebagai elemen yang paling dekat dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Pengrusakan lingkungan, alih fungsi hutan, tambang dan perkebunanan monokultur banyak merampas ruang hidup, menutup akses bagi perempuan adat di NTT dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam.

Di Sumba Timur pun terjadi hal yang sama, ketika perempuan adat kehilangan sumber-sumber penghidupan akibat alih fungsi lahan, rusaknya hutan, sumber mata air diprivatisasi, dan akses masyarakat adat dalam melakukan kegiatan ritual terkendala karena adanya perusahaan tebu. Serta budaya pewarnaan dengan bahan alami (menenun) masyarakat NTT akan tergantikan dengan bahan-bahan pewarna kimia akibat rusaknya hutan. Hal ini terjadi karena paradigma pembangunan yang sama sekali tidak sensitif ekologi bahkan kerap dijumpai bias gender.

Ini salah satu potret betapa rentannya perempuan di NTT. Oleh karena itu, pentingnya menguatkan kapasitas perempuan terhadap akses sumber daya alam. 

Hal lain ynag menarik perhatian publik NTT saat ini adalah rencana pembangunan bendungan Kolhua di Kota Kupang. Proyek strategis nasional ini mendapat berbagai perlawanan warga yang berada di lokasi tersebut. Hasil investigasi WALHI NTT melihat pembangunan mega proyek bendungan Kolhua telah mengabaikan ruang wilayah kelola rakyat seperti lahan pertanian, kebun, dan hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan penyangga utama jika terjadi bencana alam. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan kebijakan pembangunan ini karena ada masyarakat yang hidup puluhan tahun di situ.

Deretan kasus dan persoalan sumber daya alam di NTT adalah bagian dari pengabaian pemerintah dalam melindungi warganya. Kebijakan pembangunan sering kali mengabaikan keselamatan warga khsusnya perempuan adat di NTT dalam mengakses sumber daya alam. Tidak soal akses saja, kriminalisasi peremuan dalam memperjuangakan wilayah kelola dan lingkungan pun terjadi.

Inilah mengapa WALHI NTT menilai kebiajakan pemerintah “tidak” memihak kepentingan perempuan dalam tata kelola lingkungan hidup, padahal Undang-undang 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkingan Hidup menjaminnya.

Jika menarik jauh ke belakang, munculnya pemimpin-pemimpin perempuan seperti Greta Thunberg (Climate Strike), Alexandria Ocasio-Cortez (Green New Deal), Alessandra Munduruku (tokoh masyarakat adat di Amazon), Vandana Silva (tokoh agroekologi di India), Sukinah (Kendang Lestari), Aleta Baun (pejuang perempuan Timor) dan sebagainya, menunjukan kepedulian perempuan dalam gerakan pelestarian lingkungan hidup.

Berangkat dari peristiwa di atas, WALHI NTT memberikan rekomendasi kepada pemerintah di NTT diantaranya:

1. Memastikan perempuan yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat di NTT untuk dilindungi sesuai amanah UU 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup

2. Memberikan ruang kepada perempuan dan kelompok rentan lainnya terhahap akses sumber daya alam dan memastikan wilayah kelola rakyat perempuan adat di NTT terjamin.

3. Adanya penguatan kapasitas dan pelatihan bagi perempuan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam di NTT

4. Pemerintah perlu memastikan wilayah kelola dan ruang hidup khusunya perempuan adat di NTT yang menjadi aktor utama pelestarian lingkungan

5. Mengembakan potensi sumber daya alam berbasis komunitas adat, perempuan dan kelompok rentan lainnya.

6. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan kriminalisasi perempuan di NTT

 

***

*) Oleh: Regina Muki, Koordinator Divisi Gender dan Lingkungan Hidup WALHI NTT

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES