Kopi TIMES

Islam Untuk Kemanusiaan dan Kedamaian Dunia

Senin, 16 Mei 2022 - 06:28 | 66.66k
Moh. Syaeful Bahar, Wakil Ketua PCNU Bondowoso dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
Moh. Syaeful Bahar, Wakil Ketua PCNU Bondowoso dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Meskipun telat menulisnya, tapi saya tetap tertarik untuk mengulas salah satu petikan pidato Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Tsaquf pada forum dialog antar umat beragama di Riyadh. Tentu saya tidak tahu isi pidato tersebut secara utuh, namun dari beberapa flyer yang bertebaran di media social hingga berita-berita di media on line, saya yakin, bahwa kutipan pidato tersebut benar-benar disampaikan oleh KH. Yahya Cholil Tsaquf.

Kurang lebih, berikut pernyataannya, “Masih banyak kalangan umat beragama yang memandang hubungan antaragama sebagai kompetisi politik, sehingga agama diperalat senjata politik untuk memperebutkan kekuasaan. Pola pikir ini harus diubah, karena akan merusak harmoni sosial di antara kelompok agama yang berbeda-beda dan memustahilkan kelopok-kelompok yang berbeda itu hidup berdampingan secara damai”.

Pernyataan Gus Yahya ini disampaikan di forum internasional yang diselenggarakan oleh Liga Muslim Dunia (world muslim league). Kegiatan bertajuk "Forum on Common Values among Religious Followers" tersebut dilaksanakan di Riyadh, Arab Saudi, serta dihadiri oleh lebih dari 150 pemimpin agama dunia. Dan Gus Yahya, ketum PBNU, menjadi salah satu pembicara di dalamnya. 

Di forum tersebut, Gus yahya menyoal relasi antar umat beragama yang sejauh ini masih sering dilihat dari kacamata kompetisi politik. Akibatnya, ikhtiar merawat hubungan antar umat beragama seringkali berakhir anti klimaks. Sebab, dalam kacamata kompetisi, masing-masing pemeluk agama selalu berpikir bahwa mereka sedang berlomba dengan pemeluk agama lain, mereka sedang saling mendahului dan mengasuai satu sama lainnya.

Apa yang dilombakan? Kekuasaan. "Jika kita tidak berkuasa, maka mereka yang akan berkuasa. Jika mereka bekuasa, kita akan terpinggirkan, kita akan dikuasai, bahkan sangat mungkin kita akan dimusnahkan", kira-kira demikian yang ada di dalam benak sebagian di antara kita dalam melihat relasi lintas agama. Akibatnya, interaksi lintas agama kemudian berhenti pada gimik dan kepura-puraan.

Terbukti, saat narasi persaingan antar agama mengemuka, koperasi begitu cepat berubah menjadi kontraversi, harmoni menjadi tensi, bahkan tak jarang pecah menjadi konflik kekerasan. Ini bukan saja terjadi dalam relasi lintas agama (inter religious relation), tetapi juga seringkali dalam lintas pemahaman dalam satu agama yang sama (intra religious relation).  Padahal, jauh di atas semata kekuasaan, ada dimensi kemanusiaan yang semestinya ditonjolkan untuk mencapai titik temu di antara semua pemeluk agama maupun pemahaman keagamaan yang berbeda.

Kata sayyidinan Ali:

ولا تكونن عليهم سبعا ضاريا تغتنم أكلهم، فإنهم صنفان إما أخ لك في الدين وإما نظير لك في الخلق

"Jangan sampai engkau menjadi seperti predator buas yang hendak memangsa mereka. Karena manusia ada dua; ada kalanya dia saudaramu seagama, atau (setidaknya) sejenismu sesama mahluk Allah".

Oleh karena itulah, pidato Gus Yahya sejatinya merupakan seruan, agar paradigma kompetisi politik wajib ditanggalkan. Baju kemanusiaan harus disematkan untuk menciptakan kolaborasi di antara pemeluk umat beragama. Saya percaya, dengan kolaborasi, bukan kompetisi, harmoni antar umat beragama bisa diwujudkan. Bukankah karena adanya perbedaan, kita bisa saling membantu satu sama lain.

NU dan Pengalaman Keberagamaan di Indonesia

Sebagai ketua Umum Organisasi Islam terbesar di negara demokrasi muslim terbesar di dunia, yaitu Nahdlatul Ulama’, ajakan Gus Yahya tentu bukan sekadar membangun retorika. Keberhasilan Indonesia menjaga situasi damai di antara banyak pemeluk agama yang berbeda maupun di antara beragam etnis budaya yang berbeda pula, tidak bisa mengabaikan kontribusi Nahdlatul Ulama di dalamnya. Sebab, mayoritas muslim Indonesia adalah jama'ah NU. Merekalah sebetulnya para aktor perdamaian di Indonesia.

Tak bisa dibayangkan, jika NU dengan berjuta-juta jamaahnya, yang menurut survei LSI Denny JA, mencapai 49.5 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia yang  beragama Islam, memiliki ideology kanan, ideology Islamis, sebagaimana ideology yang diusung oleh HTI atau ISIS. Tak bisa dibayangkan betapa konflik horizontal akan sangat mudah disulut dan membakar kebhinekaan Indonesia.

Namunpun data yang dirilies oleh LSI Denny JA ini telah dapat dipertanggungjawabkan secara saintifik, namun data lain yang dirilies oleh Alvara Institute tentang fenomena 30 juta Generasi Baru Muslim yang cenderung radikal wajib diwaspadai. Apalagi, 30 juta Generasi Baru Muslim tersebut bukan warga kebanyakan, namun kelompok professional yang sukses di bidangnya masing-masing. Mereka adalah kelas menengah ke atas yang sedang tumbuh spritualitasnya. Masalahnya, mereka bukan hanya menempatkan Islam sebagai inspirasi namun, celakanya, juga sebagai aspirasi politik.

Parahnya, aspirasi politik mereka, ditangkap dan dirawat oleh kelompok Islam Kanan yang cenderung menolak konsep Islam Ramah, Islam yang menerima realitas NKRI sebagai sebuah kesepakatan, menolak Pancasila sebagai ideology moderat yang menempatkan semua penduduk Indonesia di posisi yang sama.

Bisa jadi, Gus Yahya juga berbicara di atas keprihatinan di Indonesia ini. Terutama terkait dengan tafsir relasi keagamaan di mana sebagian masyarakat, -terutama mereka yang tak dekat dengan NU atau Muhammadiyah-, masih banyak yang melihatnya dalam oposisi super dan subordinatif.

Polarisasi yang muncul sejak Pilpres beberapa tahun silam, adalah bukti kuat tentang eksistensi kelompok masyarakat yang mudah terpancing untuk menyeret agama dalam lingkaran syetan politik kekuasaan.

Bagaimanapun, harus kita akui secara jujur, bahwa Pilpres 2019, telah membangkitkan banyak kekhawatiran tentang betapa gampangnya agama ditaburkan sebagai bumbu pembangkit emosi massa. Nalar kompetisi politik dalam membingkai relasi antar umat beragama semakin mendapatkan momentum dalam arena kontestasi berebut kuasa. Pada situasi tersebut, spirit agama, terutama Islam, sebagai agama damai (salam) seringkali kehilangan makna.Yang hadir kemudian adalah bumbu persaingan bahkan permusuhan dalam melihat mereka yang berbeda agama.

Dalam konteks ini, NU sejauh ini berhasil memainkan peran sabagai katup penyelamat (safety valve) yang menghindarkan Indonesia dari konflik lintas agama maupun lintas paham keagamaan sebagaimana menjangkiti banyak negara muslim di Timur Tengah. Peran sebagai katup penyelamat tersebut hanya mungkin diaplikasikan selama solidaritas agama tidak dipertentangkan dengan solidaritas kemanusiaan. Solidaritas agama jelas penting. Hanya saja, memanfaatkannya secara berlebihan, berpotensi menyediakan jalan bagi munculnya nalar melihat outgroup sebagai musuh dan pesaing memperebutkan posisi kekuasaan. Untuk itulah, solidaritas kemanusiaan perlu mendapatkan traksi. Bukan sebagai "sesuatu" yang berada di luar agama, tetapi justru bagian integral dari agama itu sendiri. Karena solidaritas kemanusiaan adalah bagian dari agama, maka setiap upaya menghancurkan solidaritas tersebut adalah sama saja dengan menghancurkan salah satu bagian penting dari agama.

Inilah yang menurut hemat saya berhasil dibumikan oleh NU dalam meneladani hubungan damai dengan segenap entitas yang berbeda. Pola demikian terefleksikan dalam trilogi persaudaraan yang selalu dikampanyekan ukhuwah Islamiyah, wataniyah dan Insaniyah.
Terakhir, apa yang disampaikan Gus Yahya pada forum internasional tersebut perlu dilihat dari dua lensa. Pertama, pernyataan Gus Yahya merupakan tausiyah global yang lahir dari pengalaman panjang dan sukses organisasi yang dipimpinnya dalam merawat perdamaian lintas agama dan keyakinan. Kedua, pernyataan tersebut juga menjadi reminder, khususnya bagi Muslim Indonesia, bahwa hubungan damai lintas agama berada dalam ancaman saat nalar berebut kuasa masih menjadi frame yang dipertahankan dalam melihat satu sama lain. Apalagi jika nalar berebut kuasa tersebut dimanfaatkan sekadar untuk membilisasi emosi massa untuk menarik keuntungan sesaat.

 

*) Penulis: Moh. Syaeful Bahar, Wakil Ketua PCNU Bondowoso dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES