Kopi TIMES

n-JAWA-ni: Perilaku Urip Iku Wang Sinawang

Kamis, 05 Mei 2022 - 16:10 | 250.82k
Jeffrey Wibisono V.
Jeffrey Wibisono V.

TIMESINDONESIA, JEMBERA Place I Call Home.

Pelabuhan rasa rinduku.

Sehari-hari saya “terlalu” sering mendapat pertanyaan sama, senada dari orang-orang yang sempat berinteraksi dengan saya. Dari mulai rekan kerja, tamu di tempat kerja, dalam acara resepsi, bahkan dari pengemudi angkutan umum, transportasi online yang mendukung mobilitas kerja saya.

Bahasa tutur bahasa Indonesia kita ini sangatlah diplomatis dan sering bemakna ganda.

“Bapak pulangnya kemana?”

Apa jawaban Anda?
Saya? Serasa ingin menyanyikan lagu Indonesia Pusaka pada saat itu.

“Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda. Tempat berlindung di hari tua. Sampai akhir menutup mata”.

Saya bisa saja mengakhiri dengan kata pamungkas “pulang ke alam baka!”

Akan tetapi, makna implisit dari pertanyaan “bapak pulangnya ke mana?” tersebut itu adalah pengganti kalimat – “bapak berkebangsaan apa?” bahasa Inggrisnya “where do you come from originally?” atau “bapak orang mana, bapak aslinya mana?”

YES! …….. Karena saya ini lahir sebagai bule kawe,— waktu saya kecil sebutannya indo atau blasteran– harus diakui, wajah saya ini makin tua semakin bule. Tapi perawakan SNI – Standard Nasional Indonesia— tinggi cukup 170 cm dengan berat ideal 75 kg. Klop! Mirip mirip perawakan orang Perancis atau Hispanik bahkan ada yang mengira saya orang Jordania bahkan orang Rusia menyangka saya bagian dari bangsa mereka. Pokoknya kalau diam dan tidak ngomong, pasti aman. Bisa jadi bunglon di antara mereka-mereka.

Ternyata bukan hanya saudara sebangsa setanah air Indonesia saja yang mempertanyakan “pulangnya kemana?”. Teman bule, tamu warga negara asing, ketika saya jawab pertanyaan mereka dengan kalimat “I am an Indonesian!” mereka masih mengharapkan lanjutan dengan kata keterangan tempat sambil menyebut “but….???”

Ach sudahlah….. Pokok’e saya Indonesia saya Pancasila. Lahir dan besar di Kotamadya Malang, Jawa Timur. Aksen bicara verbal saya adalah medok Jowo. Hahahah…. Londo kok medok. Tetapi….. again….. ketika saya berbahasa Jawa kepada teman-teman saya, mereka menyarankan saya berbahasa Indonesia saja atau sekalian bahasa Inggris.

Karena???
Telinga mereka tertanggu! Bahasa Jawa saya disebut “wagu” atau kagok atau janggal. 

#haddddeeeehhhhh

Lalu, kalau masuk ke pertanyaan filosofis romantis “a place I call home”  – itu sejatine opo?

Dimana saya harus melabuhkan rasa rindu saya?
Suatu tempat yang nyaman untuk kita pulang dan berbagi segala rasa. Tempat beristirahat, tempat berkarya, tempat bercerita, tempat bercengkerama, tempat sharing, dan banyak kebersamaan lainnya.

Loh?! jadi “a place I call home” ini adalah manusia toh? Tentu saja bukan!

Bagi saya, rumah itu kata benda, untuk menjadi “a place I call home” ya harus komplit dengan ada kehidupannya.

Kalau tidak? Kan yo suwung, kosong, hampa, hambar. Kalau tidak komplit, bikin tidak ingin pulang. Tidak ingin tinggal di rumah, mabur muluk kemana-mana. Atau, apakah mereka, saya, teman-teman saya yang “sering” ngaku workoholic itu, ternyata rumahnya suwung? Hatinya masih dalam proses mencari pelabuhan untuk menambatkan sauh emosi, jiwa, dan raga?

Kembali lagi ke “a place I call home” ini….

Bagi saya, hidup adalah suatu proses pencarian jati diri. Kerja keras mulai dari mengerti artinya harus mandiri membiayai hidup sendiri. Tinggal berpindah-pindah dari kamar kost satu ke kamar kost lain, dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain, bahkan pindah dari satu kota ke kota lain.

Saya hidup untuk menghidupi orang lain. Profesi kerja saya di masa lalu sebagai seorang salesman harus menghasilkan uang untuk perusahaan. Kalkulasinya penghasilan perusahaan untuk membayar kesejahteraan rekan-rekan kerja dan termasuk saya pastinya.
Kehidupan yang penuh kompetisi untuk memenuhi kebahagian “sejenak” yaitu mengumpulkan materi. Jika sudah terkumpul apakah saya berhenti dari semua keduaniawian tersebut? Ternyata tidak, masih terlintas dalam pikiran, kok rekan kerja saya dulu dan teman-teman saya bisa punya ini-itu yang jauh melebihi saya ya?!

Artinya saya masih normal, masih manusia dengan segala nafsu duniawinya. Rapopo….. tapi tidak boleh kemrungsung. Harus tetap beretika dan menjalankan etiket.

Tata Krama
Kita masuk lagi ke istilah Jawa yang merupakan bagian dari ajaran budi pekerti dan tata krama di banyak keluarga Jawa. Ada kalimat yang mengatakan: “Urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang”.

Terjemahannya “Hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat”.

Jangan mudah menyimpulkan dari apa yang terlihat oleh mata, lihatlah dari apa yang tak terlihat melalui mata hati. Hidup orang lain belum sebaik hidup kita.

Nah, dalam sepekan di awal bulan Mei 2022 ini, banyak sanak saudara dan handai taulan kita rela melakukan perjalanan ratusan bahkan ribuan kilometer untuk mudik. Mari sekarang kita pulang.
Artinya kita sudah punya “a place I call home” kan? Kita melihat dan dilihat, tapi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat. Di sana ada hati yang rindu, komplit dengan kehidupannya.

Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1443 H.
Taqabbalallahu minna wa minkum. Minal aidin wal faizin.
Mohon maaf lahir dan batin. (*)

 

*) Penulis Jeffrey Wibisono V.  adalah Praktisi Perhotelan dan Konsultan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES