Kopi TIMES

Pilkada Serentak: Bila Kolom Kosong Menang

Rabu, 27 April 2022 - 12:32 | 46.45k
M. Dwi Sugiarto, Pemerhati isu sosial, politik dan kebijakan publik, Anggota MD Kahmi Boyolali, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang.
M. Dwi Sugiarto, Pemerhati isu sosial, politik dan kebijakan publik, Anggota MD Kahmi Boyolali, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Format Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibuat serentak dimaksudkan agar proses politik yang terjadi di daerah dapat dilaksanakan secara lebih teratur dengan jadwal yang pasti. Berbeda dengan Pilkada sebelumnya yang menjadi kewenangan masing-masing daerah ketika habis masa jabatan kepala daerahnya langsung dapat menggelar pemilihan. Akibatnya di wilayah provinsi akan terus ada Pemilihan Bupati/Pemilihan Walikota (Pilbup/Pilwako) di setiap waktu, sehingga membuat pemerintah, penyelenggata pemilihan, dan aparat keamanan dibuat sibuk sepanjang tahun.

Tujuan lain dari Pilkada Serentak adalah menyangkut efisensi anggaran yang dapat di minimalisirkan dibandingkan menggelar secara berbeda-beda padahal dalam cakupan wilayah yang sama. Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan Pilbup/Pilwako dapat dilaksanaan secara bersamaan dengan penghematan dalam hal honor penyelenggara ad-hoc (sementara), alat kelengkapan pemilihan seperti bilik suara dan kotak suara serta operasional kantor penyelenggara pemilihan.

Juga terhadap alat tulis kantor (ATK) yang dapat dibuatkan dalam satu item yang sama tanpa memberi penambahan untuk menggelar dua agenda pemilihan, atau paling tidak mengalami penambahan yang relatif sedikit dibandingkan menggelar pemilihan sendiri.

Keputusan pemerintah untuk tidak melakukan revisi terhadap Undang-Undang 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau biasa dikenal sebagai UU Pilkada masih menyisakan persoalan. Tidak dibukanya kesempatan melakukan revisi pasca Pilkada 2020 seakan hanya dimaksudkan pada upaya menjaga konsistensi pemerintah untuk tidak menggelar Pilkada di tahun 2022 dan 2023. Maklum saja, cukup banyak pandangan yang melihat bahwa Pilkada 2022 dan 2023 seharusnya ada atau diantara salah satunya perlu digelar untuk mengisi atas kekosongan kepala daerah yang habis periodenya di dua tahun tersebut.

Banyak daerah provinsi dan kabupaten/kota yang akan habis masa jabatan kepala daerahnya di tahun 2022 dan 2023. Sedangkan agenda politik di tahun 2024 sangat penting dan jadwal tahapannya padat. Telah ditetapkan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan digelar pada 14 Februari 2024. Kemudian Pilkada Serentak dijadwalkan digelar pada 27 November 2024.

Persoalan tidak dilakukannya revisi UU Pilkada selain agar tidak ada Pilkada di tahun 2022 atau 2023 adalah mengenai masalah calon tunggal. Hadirnya calon tunggal dalam Pilkada telah menjadi fenomena yang banyak terjadi di berbagai daerah dengan jumlah yang terus meningkat sejak dimungkinkannya Pilkada digelar dengan calon tunggal yaitu Pilkada 2015.

Ketentuan mengenai calon tunggal terjadi setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan Judicial Review (JR) terhadap UU Pilkada yang mengatur secara spesifik terhadap pasal mengenai pemilihan dengan calon tunggal. Dalam ketentuan lama yang mengatur Pilkada harus diikuti minimal dua pasang calon memiliki konsekuensi dilakukannya penundaan Pilkada apabila pasangan calon yang ada kurang dari dua pasang calon. Hal ini membuat Pilkada harus diundur dan diikutsertakan sesuai dengan jadwal Pilkada Serentak selanjutnya. Di era Pilkada Serentak, kemungkinan untuk mengikutsertakan daerah di jadwal Pilkada selanjutnya justru dapat menimbulkan masalah.

Menunda Lima Tahun?

Satu masalah terkait calon tunggal yang saat ini dimungkinkan bertarung melawan kolom kosong pada satu sisi justru menimbulkan masalah lainnya akibat Pilkada Serentak. Skema Pilkada Serentak sendiri mengindikasikan bahwa Pilkada akan digelar secara nasional dengan hari yang sama di seluruh wilayah di Indonesia dimulai pada 2024.

Diperbolehkannya calon tunggal justru menghadirkan potensi menabrak komitmen pemerintah dalam mendesain Pilkada Serentak. Ketentuan yang ada apabila kolom kosong yang menang, maka Pilkada di daerah tersebut ditunda dan diikutkan di jadwal Pilkada selanjutnya. Seperti halnya yang terjadi pada Pilwako Makassar yang dilaksanakan pada 2018 dan diulang kembali di 2022 karena kolom kosong yang menang.

Situasi yang terjadi di Pilkada Kota Makassar dapat saja terjadi di daerah lain pasca Pilkada Serentak 2024. Secara politik potensi terjadinya pengulangan Pilkada sebagaimana yang terjadi di Kota Makassar jelas sangat besar, terlebih ketika memang ada pasangan calon yang didiskualifikasi sehingga berakibat menjadi calon tunggal yang kemudian menggalang masa pendukungnya untuk memenangkan kolom kosong.

Kemenangan kolom kosong yang berakibat pada pengulangan Pilkada pada aspek yang lain justru akan menambah anggaran pemilihan. Selain itu, mungkinkah kebijakan terhadap daerah yang kolom kosongnya menang akan sama dengan yang terjadi pada Pilwako Makassar yaitu mengikutsertakan kembali pada Pilkada Serentak selanjutnya. Sedangkan Pilkada Serentak pasca 2024 akan kembali digelar lima tahun kemudian.

Ataukah justru menabrak komitmen Pilkada Serentak dengan menggelar Pilkada tersendiri, yang nantinya juga mengurangi masa periode kepala daerah terpilih.

Minimal Dua Pasang Calon

Kurang menjadi perhatiannya isu Pilkada merupakan hal yang lumrah terjadi, pertama karena memang Pilkada 2024 akan digelar sekitar Delapan Bulan setelah Pemilu 2024. Kedua, agenda Pemilu 2024 menjadi perhatian serius karena menyangkut pergantian kepemimpinan nasional serta pengisian kursi wakil rakyat dari tingkat pusat hingga daerah.

Perhatian yang mestinya dilakukan dalam mempersiapkan agenda Pilkada 2024 jelas seputar payung hukum dari pelaksanaan agenda politik di daerah. Maraknya calon tunggal dalam Pilkada banyak dinilai sebagai bentuk kemunduran demokrasi di daerah, secara sistematis tokoh politik atau partai politik dapat memonopoli kekuatan politiknya agar tidak ada kompetitor yang berani maju di Pilkada. Kemungkinan terjadinya dinasti dalam politik keluarga ataupun kelompok politik sangat mungkin terjadi, pada titik ini proses Pilkada dengan dilakukan di DPRD ataupun langsung oleh rakyat tidak jauh berbeda.

Proses kandidasi politik dalam Pilkada Langsung dengan calon tunggal dinilai telah menyelesaikan agenda pemilihan sebelum pemilihan dilaksanakan. Pemilih memiliki kecenderungan untuk memilih calon yang tersedia dibandingkan kolom kosong. Walaupun memilih kolom kosong suaranya dianggap sah, tetapi tidak memiliki konsekuensi pasti pengisi kepemimpinan di daerah tersebut.

Penyelenggaraan Pilkada perlu dikembalikan pada aturan minimal diikuti dua pasangan calon dengan catatan bahwa partai politik di daerah harus mengusung calon. Partai politik pemilik kursi di DPRD harus menghadirkan kontestasi politik dalam Pilkada. Partai politik yang tidak mengusung calon di Pilkada maka di gelaran Pileg berikutnya partai tersebut dilarang ikut di daerah tersebut untuk memperebutkan kursi DPRD setingkat. Peluang bagi partai politik pemilik kursi DPRD untuk mengusung minimal dua pasang calon sangatlah terbuka hampir di semua daerah. Partai politik yang paling dominan di DPRD rasanya tidak ada yang mencapai 90%, sehingga untuk mengumpulkan 20% kursi DPRD dari sisa partai politik minor membangun koalisi pasti sangat mungkin dilakukan.

Kesan yang terlihat di berbagai daerah yang menggelar Pilkada dengan calon tunggal adalah partai politik tidak memiliki keberanian melawan kekuatan politik yang dimiliki calon tunggal tersebut. Di balik layar bisa saja telah terjadi transaksi antara calon tunggal dengan partai politik untuk tidak menghadirkan kontestasi, sehingga kemenangan calon tunggal hanya menunggu legitimasi proses Pilkada semata.

***

*) Oleh: M. Dwi Sugiarto, Pemerhati isu sosial, politik dan kebijakan publik, Anggota MD Kahmi Boyolali, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_____
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES