Kopi TIMES

Manipulasi Agama Berbasis “Simulacra”

Rabu, 20 April 2022 - 14:30 | 82.39k
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Akhir-akhir ini media sosial ramai membincang tentang perilaku keberagamaan sebagian tokoh publik masyarakat kita. Di berbagai media sosial para tokoh publik ini digambarkan telah memanfaatkan agama demi ambisi, orientasi dan kepentingan pribadinya. 

Menafsir agama (baca: Islam) dalam realitas keindoensiaan kita yang plural dan multikultural memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tafsir atas Islam dalam sinaran keindonesiaan membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang disiplin keilmuan Islam yang luas dan kompleks.  

Di samping keilmuan yang luas, pemahaman terhadap konteks sosial masyarakat juga merupakan keniscayaan yang tidak dapat dikesampingkan. Selain itu, dan tak kalah penting adalah dibutuhkannya kearifan sosial dan jiwa tanpa pamrih dalam membumikan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. 

Semua agama tanpa terkecuali tidak ada yang membenarkan tafsir manipulatif atas nama agama demi kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Agama berdiri tegak membawa payung perdamaian dan kedamaian bagi sesama umat manusia. Bukan sebaliknya, menebar teror, manipulasi tafsir, dan tafsir tunggal tanpa kontrol dan seleksi. 

Konsep-konsep dalam Islam sangat banyak sekali jika ingin dibumikan pada ranah sosial kemanusiaan misalnya jihad, poligami, sedekah dan sebagainya. Dari beragam konsep tersebut dibutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang berbagai dimensi keilmuan Islam, misalnya tafsir, hadits, tarikh, fiqih, ushul fiqih, mantiq, balaghah, dan sebagainya. 

Menghadapi era society 5.0 yang dihuni oleh mayoritas generasi milenial yang melek teknologi dibutuhkan penyajian tafsir Islam yang moderat, toleran dan proporsional sesuai dengan pola pikir mereka. Pendekatan persuasif (persuasive approach) tentu menjadi keharusan yang harus dikedepankan. Selain itu niat juga harus ditata dan dipelihara demi tidak terjadinya manipulasi tafsir agama demi kepentingan pribadi dan golongan.

Masyarakat kita harus lebih cerdas dalam menangkap realitas zaman kekinian. Hal-hal yang berbau formalitas tidak selalu bersih dan benar dari sisi maknanya. Maraknya kalangan muallaf di masyarakat kita yang hanya karena mahir dalam ceramah, orasi dan pola komunikasi yang baik disematkan padanya sebagai seorang “ustadz”. Tafsir atas agama yang sepotong-sepotong dari sang ustadz berakibat terjerumusnya masyarakat dalam pemahaman agama yang dangkal dan menyesatkan.

Padahal jika ditelisik lebih dalam lagi, sebutan “ustadz”—sebagai salah satu contoh saja—di lingkungan Perguruan Tinggi Al-Azhar Mesir diperuntukkan bagi seorang Guru Besar atau Profesor yang mumpuni di berbagai bidang keilmuan Islam. Selain tentunya dari sisi kearifan sosial yang harus dipunyai dan dimiliki sebagai pembimbing umat. Bukan seperti saat ini yang terlihat sangat “absurd” dan tidak bisa diterima akal sehat.       

Mereka mendakwahkan dan menafsir atas konsep-konsep agama hanya sebatas materialistik semata. Misalnya konsep poligami yang dipopulerkan dengan mengadakan pelatihan. Sungguh pemaknaan yang menggelikan. Padahal jika ditelisik lebih dalam, makna dan maksud dari konsep poligami tidak sesederhana itu. Dalam konsep ini kita harus mengaca pada pribadi Kanjeng Nabi Muhammad Saw sebagai “the living quran” (Alquran yang hidup) dalam hal praktiknya 

Pesan dasar Nabi SAW dengan poligami adalah demi mandat sosial melindungi para janda yang ditinggal mati suaminya dan demi tegaknya misi sosial Islam. Bukan sebaliknya, demi mandat seksual yang seringkali berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kini bisa kita lihat dalam realitas keseharian di tengah-tengah masyarakat kita. 

Pemaknaan yang keliru dan menyimpang juga dilakukan oleh kalangan radikal terhadap makna dan arti dari konsep jihad. Konsep jihad hanya mereka maknai secara homogen dan tunggal semata, misalnya perang. Jika tafsir ini tidak di-counter, maka aksi bom bunuh diri (suicide bombing) dan kekerasan lainnya akan menjadi sebuah kebenaran yang diafirmasi. Makna jihad sangatlah luas, tidak tunggal dan bahkan heterogen sekali. Apalagi dalam konteks realitas sosial kekinian, makna jihad haruslah dikontekstualkan dan diperluas cakupannya. 

Kontekstualisasi makna jihad tentu saja sangat dimungkinkan untuk diperluas, terutama di era digital saat ini. Di ranah ilmu pengetahuan dan teknologi (IT) misalnya kontekstualisasi jihad bisa diwujudkan dan dikembangkan dengan memproduksi makna-makna baru jihad yang konstruktif bagi kemanusiaan. Misalnya, di media sosial makna jihad dapat diarahkan pada aksi-aksi sosial kemanusiaan secara riil dengan membangun opini dan konten-konten positif tentang makna jihad yang sesungguhnya. 

Konsep lainnya yang juga sangat rentan dimanipulasi adalah sedekah. Ketika sedekah hanya dimaknai berbalas materi, maka ini sangat mereduksi arti sedekah itu sendiri. Apakah sedekah berbalas materi berlipat ini yang menjadi maksud dan tujuan dari balasan Tuhan di Alquran? Terlalu menyederhanakan maksud Tuhan sepertinya.

Upaya pemaknaan baru ini tentunya harus dilakukan oleh para ahlinya. Bukan oleh para “psedu ustadz” yang hanya pandai bertutur dan berorasi semata. Jika fenomena “psedu ustadz” terus dibiarkan, maka realitas akan terkonstruksikan secara terbalik. Yang riil dan benar adalah tafsir mereka belaka. Dukungan media sosial sangat membantu terciptanya hal tersebut. Realitas sosial akan campur aduk dan menjadi semakin tidak jelas, mana yang benar dan mana yang salah. 

Dalam konteks ini realitas sosial akan menjelma dalam bahasa Jean Baudrillard  menjadi sebuah “simulacra”. Jean Baudrillard adalah seorang filsuf Perancis yang menulis sebuah buku berjudul Simulacres et Simulation (1981). Baudrillard merupakan pakar teori kebudayaan, filsuf kontemporer, komentator politk, sosiolog dan fotografer. Karya Baudrillard sering dikaitkan dengan filsafat post-modernisme dan post-strukturalisme. 

Pada tahun 1983 Paul Foss dkk menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Simulacra and Simulation”. Dalam buku inilah masyarakat mengetahui penjelasan tentang simulacra. Simulacra adalah sebuah dunia yang terbangun dari bercampurnya antara nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Dengan demikian “simulacra” adalah suatu kebohongan berupa tanda, atau image yang dibangun seseorang yang memiliki sifat pada kontennya yang jauh dari realitas asli orang tersebut.

Dalam realitas semu (psedu reality) ini terdapat tiga istilah yang berkait kelindan, yakni simulasi, simulacra, dan hipperealitas. Pertama, simulasi berarti realitas tiruan yang masih mengacu pada realitas yang sesungguhnya; kedua, simulacra adalah realitas tiruan yang tidak lagi mengacu pada realitas yang sesungguhnya. Artinya realitas sesungguhnya sudah dibelokkan yang kemudian benar-benar ditutup dari acuannya. Akan tetapi, realitas ini belum sepenuhnya sempurna dikatakan realitas yang benar-benar riil, karena hubungan timbal balik atau interaktif belum terjadi. Atau bisa disebut semi realitas; dan ketiga, hipperealitas, yakni realitas yang benar-benar real, bahkan di atas yang real, yang nantinya akan menggantikan yang real sebelumnya. 

Hyppereal ini merepresentasikan fase-fase yang lebih berkembang dalam pengertian bahwa pertentangan antara yang nyata dan yang imajiner ini dihapuskan. Hiperrealitas adalah adalah sebuah dekonstruksi dari realitas real sebelumnya karena realitas ini akan sangat benar-benar berbeda dari sebelumnya. Hipperealitas adalah keadaan runtuhnya realitas, karena telah diambil alih oleh rekayasa virtual yang dianggap lebih nyata dari realitas itu sendiri, sehingga perbedaan keduanya menjadi kabur.

Sedangkan perbedaan antara fase simulacra dengan fase hipperealitas terletak pada cirinya yang interaktif. Yakni, hal-hal yang tadinya hanya dapat dilakukan dalam realitas riil, kini telah tergantikan dalam realitas virtual. Baudrillad menyatakan bahwa kesadaran akan yang riil di benak mayoritas masyarakat semakin berkurang dan tergantikan dengan realitas semu. Kondisi ini disebabkan oleh imaji yang disajikan media secara terus menerus. Masyarakat seolah-olah tidak bisa membedakan antara yang nyata dan yang ada di layar. Masyarakat seolah-olah berada di antara realitas dan ilusi sebab tanda yang ada di media sepertinya telah terputus dari realitas. 

Jika mengacu konsep Baudrillard di atas, kondisi riil pada era society 5.0 sepertinya semakin menegaskan realitas “simulacra” yang berlapis-lapis di jagad medsos kita. Benarkah demikian? 

***

*) Oleh: Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

______
**)
 Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES