Kopi TIMES

Setengah Jalan Kebijakan Penyelesaian Sawit di Kawasan Hutan

Kamis, 14 April 2022 - 13:26 | 84.19k
Arifin Ma’ruf S.H., M.H. (Law & Policy Analyst SPOS Indonesia – KEHATI).
Arifin Ma’ruf S.H., M.H. (Law & Policy Analyst SPOS Indonesia – KEHATI).

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sejak tahun 2020 lalu, pemerintah merumuskan strategi kebijakan baru dalam rangka penyelesaian masalah sawit di kawasan hutan. Melalui Pasal 110 A dan 110 B Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2013 perubahan dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU 11/2020) strategi penyelesaian yang semula dengan pendekatan hukum pidana, kini dilakukan dengan pengenaan sanksi administratif dan penataan kawasan hutan.

Sesuai dengan mandat Pasal 110 A dan 110 B, Penyelesaian sawit di kawasan hutan dengan strategi pengenaan sanksi administratif dan penataan kawasan ini hanya dapat dilakukan selama 3 tahun. Dengan demikian, setelah tenggat waktu 3 tahun, penyelesaian akan kembali menggunakan aturan yang lama yakni dengan pendekatan hukum pidana. Sampai saat ini, sudah hampir satu setengah tahun kebijakan ini diterapkan, lalu apakah kebijakan tersebut sudah dapat menyelesaikan persoalan sawit di kawasan hutan?

Problematika Kebijakan

Beberapa bulan setelah UU 11/2020 di sahkan, Pemerintah menerbitkan berbagai peraturan pelaksana untuk menindaklanjuti undang – undang tersebut. Namun, dari peraturan yang diterbitkan tersebut terdapat beberapa pengaturan yang tidak sinkron, salah satunya adalah terkait dengan penghitungan denda administratif. Dalam Pasal 29 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif Bidang Kehutanan (PP 24/2021) diatur bahwa “Besaran Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dihitung sebesar 10 (sepuluh) kali besaran PSDH dan DR”. Hal ini berbeda dengan penghitungan denda administratif dalam lampiran PP 24/2021 bahwa penghitunganya yakni Luas x Waktu x Tarif.

Perbedaan penghitungan denda administratif juga terdapat dalam Pasal 315 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi (Permen LHK 8/2021) bahwa “(1) Denda administratif dikenakan terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan akibat tidak menyelesaikan persyaratan perizinan di bidang kehutanan. (2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan: Denda administratif = Volume x Tarif.” Adanya perbedaan rumus penghitungan denda adminitratif ini menimbulkan kebingungan terkait kebijakan yang mana yang akan digunakan.

Bukan hanya itu, penyelesaian sawit di kawasan hutan dengan penataan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan (Permen LHK 7/2021) dilakukan dengan strategi terpusat. Strategi seperti ini, sudah pasti memiliki rantai penyelesaian yang rumit dan panjang.

Seharusnya, pelibatan pemerintah daerah diberikan porsi yang lebih, bukan hanya sebagai perantara dari pemohon saja sebagaimana diatur dalam Permen LHK 7/2021, tetapi juga sebagai pengambil keputusan dalam penyelesaian masalah sawit di kawasan hutan. 

Penyelesaian Jalan di Tempat 

Dalam rapat dengar pendapat/RDP antara KLHK dengan Komisi IV DPR RI yang disiarkan secara live melalui kanal youtube DPR RI, salah satu agenda rapat yang dibahas yakni perkebunan sawit di kawasan hutan. Sayangnya, dalam rapat tersebut KLHK tidak menyampaikan data update pelaksanaan penyelesaian sawit di kawasan hutan berdasarkan kebijakan terbaru. Bahkan, dalam rapat tersebut Komisi IV DPR RI menganggap KLHK tidak memiliki data. Hal ini, dikarenakan KLHK hanya menyampaikan dokumen citra satelit dan perhitungan melalui citra satelit. Hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai data lengkap, melainkan hanya data indikatif/potret citra satelit saja. 

Terkait dengan anggapan Komisi IV DPR RI bahwa KLHK tidak memiliki data soal kebun sawit, cukup beralasan, karena untuk melakukan penindakan pelanggaran hukum harus didasarkan pada data yang valid dan lengkap bukan sekedar data perkiraan/indikatif. Oleh sebabitu, KLHK seharusnya menindaklanjuti data citra satelit dengan melakukan cek dan ricek dilapangan. Data harus diambil secara langsung dilapangan melalui prosedur yang sah menurut aturan yang berlaku.

Data tersebut setidak – tidaknya meliputi subyek yang melakukan pelanggaran, obyek/fakta kebun sawit meliputi: luas lahan dan londisi lahan serta foto kebun / data pendukung lainya, data legalitas usaha dan legalitas lahan, maupun dokumen perizinan – perizinan. Kelengkapan data ini akan memudahkan KLHK menyelesaikan persoalan sawit di kawasan hutan.

Jalan Keluar

Belum adanya update informasi resmi mengenai berapa hektar sawit dikawasan hutan yang sudah di selesaikan dengan kebijakan terbaru, mengindikasikan bahwa implementasi kebijakan yang ada belum dijalankan dengan baik. Boleh jadi hal ini disebabkan karena masih adanya disharmonisasi antar peraturan perundang – undangan yang ada, serta strategi penyelesaian terpusat / sentralistik, sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan sebelumnya.

Padahal penyelesaian sawit di kawasan hutan dengan piranti UU 11/2020 dan aturan pelaksananya hanya akan berlaku selama 3 tahun, dan saat ini sudah berjalan hampir 18 bulan, ini artinya tinggal 18 bulan lagi kebijakan tersebut akan berakhir. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan jalan keluar atas “buntu”nya pelaksanaan kebijakan tersebut, perlu adanya evaluasi atas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan. Evaluasi tersebut untuk mengetahui dan memperbaiki bagian kebijakan yang bermasalah.

Setelah adanya perbaikan kebijakan, sebagai salah satu strategi percepatan penyelesaian, setidaknya pemerintah perlu mempertimbangkan keterlibatan Gubernur, Bupati/Walikota sebagai pengambil keputusan di daerah untuk turut serta dalam menyelesaikan permasalahan sawit di kawasan hutan. Keterlibatan ini, tentu disesuaikan dengan porsi kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dengan didukung pendanaan yang memadai dari pusat. Dengan demikian, penyelesaian sawit dikawasan hutan tidak sentralistik, tetapi juga dengan menggerakkan sumber daya yang ada di daerah.

***

*) Oleh: Arifin Ma’ruf S.H., M.H. (Law & Policy Analyst SPOS Indonesia – KEHATI).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES