Kopi TIMES

Pemandangan yang Bertolak Belakang

Jumat, 08 April 2022 - 11:44 | 46.78k
Amalia Dewi Permatasari, Mahasiswa Tadris Biologi UIN Kyai Haji Achmad Shiddiq Jember dan Anggota Intellectual Movement Community (IMC) UIN Kyai Haji Achmad Shiddiq Jember. 
Amalia Dewi Permatasari, Mahasiswa Tadris Biologi UIN Kyai Haji Achmad Shiddiq Jember dan Anggota Intellectual Movement Community (IMC) UIN Kyai Haji Achmad Shiddiq Jember. 

TIMESINDONESIA, JEMBER – Apa yang ada dibenak kalian ketika mendengar kata sampah? Tentunya kata itu sudah sangat tidak asing lagi di telinga masyarakat dunia pastinya. Mungkin kebanyakan masyarakat menganggap sampah itu hal yang menjijikkan, kotor, berbau tidak sedap, mengandung banyak kuman dan bakteri, menyebabkan timbulnya banyak penyakit, dan pasti sangat mengganggu pandangan mata orang setiap kali melihat tumpukan sampah.

Dan pastinya dengan banyaknya tumpukan sampah yang ada, jika sudah masuk musim hujan akan menimbulkan yang namanya banjir. 

Dengan datangnya musibah banjir itu, banyak masyarakat yang mengalami kerugian, banyak rumah-rumah yang terendam hingga berhari-hari. Dan ujungnya akan menyalahkan pemerintah. Tetapi semua kembali lagi, jangan hanya menyalahkan pemerintah, banyak masyarakat yang tidak sadar diri akan semua itu. Mereka hanya bisa menyalahkan orang-orang pemerintahan yang menurut mereka kinerjanya sangat kurang untuk menanggulangi banjir. Padahal banjir datang karena ulah mereka sendiri.

Setiap hari sampah-sampah tersebut terus bertambah dan lama kelamaan akan menggunung. Lalu, siapakah yang akan bertanggung jawab jika sampah-sampah itu sudah menggunung di daerah pemukiman? Pertanyaan semacam itu selalu muncul di tengah-tengah masyarakat, karena tidak ada seorang pun yang mau dan bersedia bertanggung jawab terhadap sampah. 

Sampah hanya dianggap sebagai materi yang tidak ada nilai gunanya sama sekali dan tidak ada seorang pun yang bersedia menerima limpahan dan tumpukan sampah. Hanya pemulung yang bersedia menerima dan mengelola sampah di daerah pemukiman. Para pemulung ternyata tidak mengambil semua sampah yang ada, tetapi hanya beberapa sampah tertentu saja yang diambilnya. Sampah yang selalu jadi incaran para pemulung yaitu botol plastik atau gelas plastik kemasan minuman.

Abai akan Dampak Sampah 

Kita hidup di era dimana semuanya bisa kita dapatkan dengan mudah. Barang-barang yang nyaman dan instan dalam sekali pakai sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Orang-orang dengan gampang nan mudahnya langsung membuang begitu saja barang yang sudah dipakainya itu. Perilaku masyarakat yang seperti itu mencerminkan bahwa mereka tidak peduli akan sampah dan pada lingkungannya. 

Masyarakat abai terhadap sampah, karena persepsi kolektif mereka bahwa sampah itu buruk, tidak berguna, dan tidak ada seorang pun yang bersedia mengurusnya. Berbeda dengan para pekerja yang memang dikhususkan untuk memungut sampah-sampah setiap harinya. Mereka mengambil dan memungut sampah tanpa pilah pilih. Semua sampah diangkut tanpa terkecuali dan dibuang di Tempat Pembuangan Akhir atau yang disingkat (TPA). 

Saluran drainase yang semestinya digunakan untuk mengalirkan air, justru penuh akan sampah sehingga aliran air tersumbat dan terhambat. Dan dari sinilah, air mudah meluap dan menyebakan banjir. Kesadaran masyarakat akan arti pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan harus terus ditingkatkan. Selain itu, jenis sampah yang ditemukan lebih beragam dan umumnya terdiri dari sampah anorganik yang sulit diuraikan secara alami. 

Sementara itu, sampah organik lebih mudah ditangani karena mudah terurai secara alami dan lebih mudah dimanfaatkan. Tetapi, sayangnya sampah organik sering kali bercampur dengan sampah anorganik menjadi satu sehingga sampah perlu dipilah-pilah dulu sebelum akhirnya diolah lebih lanjut. Tempat pembuangan sampah organik lebih baik dipisahkan dari sampah anorganik. Kebiasaan semacam ini dapat dimulai dari lingkungan rumah sendiri, kita bisa menyiapkan dua tempat sampah berbeda, sehingga antara sampah organik dan anorganik tidak bercampur. Jangan lupa, ingatkan keluarga kita akan pemisahan sampah ini. 

Gas Rumah Kaca

Pemanasan global telah menjadi isu Internasional yang hangat diperbincangkan, walaupun sebenarnya masih terdapat ketidakpastian yang besar. Isu tersebut timbul mengingat pemanasan global akan punya dampak yang sangat besar, apabila ia benar terjadi. Pemanasan global yakni gejala naiknya suhu permukaan bumi karena naiknya intensitas efek rumah kaca. 

Untuk menanggulangi masalah terjadinya gas rumah kaca yang berasal dari sampah organik, perlu kiranya dipikirkan penanganan sampah organik yang ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan convertion system. Convertion system merupakan proses penanganan sampah organik dengan jalan mengubahnya menjadi bentuk lain yang lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Convertion system ini, dalam hal penanganan sampah organik atau yang biasa disebut daur ulang. Oleh sebab itu, kita bisa memanfaatkan sampah organik menjadi sehingga berguna untuk banyak orang dan lebih bermanfaat daripada dibiarkan begitu saja dan terbengkalai. 

Salah satu contoh keberhasilan dari conversion system ini yaitu dengan adanya pengelolaan sampah secara mandiri dan produktif tersebut, perekonomian warga di Sukunan, Yogyakarta juga semakin meningkat. Hal itu tampak dari semakin berkembangnya usaha home industri dari warga Sukunan seperti pembuatan makanan khas ukunan (peyek belut, jadah tempe, emping mlinjo, dll), 

Berkurangnya jumlah pengangguran di Kampung Sukunan karena banyak pemuda aktif dalam divisi perbengkelan Kampung Sukunan yang banyak menerima pesanan komposter dari luar, ibu-ibu yang semula hanya ibu rumah tangga saat ini dapat membantu perekonomian keluarga dengan membuat kerajinan daur ulang kemasan dan kain perca menjadi kerajinan tangan cantik seperti tas, dompet, dll yang kemudian dijual pada masyarakat & pengunjung.  
     
Antara Manusia dan Alam

Manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hanya manusia lah yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar sebagai alat pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Nilai tertinggi adalah pada manusia dan kepentingannya. Segala sesuatu yang lain yang ada di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian. Segala tuntutan mengenai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan hidup, dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. 

Pola hubungan manusia dan alam hanya dilihat dalam konteks instrumental. Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitannya dengan lingkungan hidup akan dinilai baik apabila mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia. Hubungan manusia dan alam tersebut bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Sedangkan kepentingan alam semesta dan makhluk hidup lainnya, tidak menjadi pertimbangan moral.

Kebanyakan manusia hanya bisa mengambil keuntungan dari alam hanya untuk kepentingan pribadi, tanpa memikirkan dampak di akhirnya. Kewajiban menjaga lingkungan seakan hilang begitu saja tertutupi oleh keegoisan mnusia-manusia tak bertanggung jawab.

***

*) Oleh: Amalia Dewi Permatasari, Mahasiswa Tadris Biologi UIN Kyai Haji Achmad Shiddiq Jember dan Anggota Intellectual Movement Community (IMC) UIN Kyai Haji Achmad Shiddiq Jember. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES