Kopi TIMES

Wajah Agama Yang Tak Pernah Pilih Kasih

Jumat, 08 April 2022 - 04:18 | 86.73k
Vina Shofwil Widaad, Mahasiswi Institut Agama Islam Darussalam Blokagung Banyuwangi.
Vina Shofwil Widaad, Mahasiswi Institut Agama Islam Darussalam Blokagung Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kala sayup-sayup terdengar suara adzan yang dilafalkan dengan terbata-bata khas mbah kung, melihat anak-anak TPQ berlarian berebut antrean hendak mengambil air wudlu, begitu tampak seorang bapak penjual siomay menepikan gerobaknya di pelataran masjid. Saya sering merasa bahwa masjid memang selalu seramah rumah, lengkap dengan agama yang senyaman buaian ibu. 

Masjid adalah perjamuan sakral antara jiwa manusia dengan Tuhannya, dan agama adalah media serta jalan menuju Tuhan. Sebagai ruang pengaduan paling personal hingga global sekalipun. Kesakralan tersebut melekat pada wajah masjid yang harus dijaga kesuciannya, merupakan potret agama dengan esensi yang jernih, yakni bentuk kebijaksanaan diri menjalankan nilai-nilai kemanusiaan. Dahulu hingga sekarang masjid selalu menjadi tujuan akhir sebuah perjalanan manusia. Merengek tak jadi hal memalukan disana, tidak pula bagi seorang presiden sekalipun.

Masjid selalu menerima siapapun dengan hangat. Tak pernah pilih kasih antara buruh kuli kasar atau pengusaha ternama. Dimatanya semua sama.

Di lain posisi masjid menjadi tempat yang dipenuhi kepentingan, saat sholat Jumat misalnya. Menjadi ajang doktrin propaganda politik guna menyebar opini massa. Berkamuflase dengan dalih membela agama dan Tuhan. Padahal Tuhan tak berkepentingan sama sekali. Namun nama Tuhan kerap disangkutkan demi kepentingan politik.

Khotbah Jumat bukan lagi seruan beragama yang sejuk didengar sambil lendetan di tiang masjid, melainkan seruan rumit yang dipenuhi hawa nafsu dan hasrat-hasrat kepentingan sesaat. Di kampung gembar-gembor sedemikian rupa masih terdengar lirih, warga kampung masih sepolos anak-anak yang berlarian di serambi masjid. Lumayan kurang familiar dengan konstruksi politik etis belakangan.

Kemudian ada hal yang seharusnya menjadi kontradiksi. Yakni agama dan kebencian. Wajarnya dua kata tersebut tak pernah bersanding sampai kapanpun, selama tuhan Ada dan memang selalu Ada. Hebatnya justru kebencian yang sekarang menjadi gagasan soal agama dibenak kita, sampai jadi wacana menyeramkan perihal kekerasan yang menyeruak dimata masyarakat. Bahkan tak sedikit komunitas anti agama yang benar-benar parno pada wanita berhijab, kebanyakan mereka adalah korban atau keluarga korban pengeboman di tempat umum beberapa waktu lalu.

Lalu harus bagaimana? Maka beragama sebaiknya dengan hati dan cinta. Karena tuhan bukan cuma Logos yang dipelajari, Tuhan adalah cinta.

Kemudian Logosnya  berlabuh pada cinta. Dia adil dan bijaksana, pun rasional jua. Manusia boleh dzalim pada dirinya, pada Tuhannya pula. Tapi Tuhan juga memaklumi , namanya juga manusia yang statusnya cuma hamba. Karenanya Tuhan adalah dzat yang maha mengasihi. Seandainya manusia enggan tobat, ada saja jalan-Nya memberi manusia pelajaran, hingga tunduk dan memohon ampun. Umumnya manusia beramal sedikit saja pasti dilipat gandakan oleh-Nya. Yang paling penting tuhan tak pernah benci. Maka dari itu tuhan adalah tempat pulang paling hakiki.

Manusia bersuka cita melangkah ke masjid, melawan kantuk dan menerjang hawa dingin demi menghamba pada tuhannya. Padahal manusia juga tau bahwa sejatinya tuhan itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi. Tuhan juga tak terbatas ruang dan waktu. Tetapi manusia tetap berusaha hadir di masjid dengan pakaian paling suci dan bersih, dengan wajah berseri-seri. Kala manusia bersujud seolah Tuhan sedang menemui dan menjamu manusia dengan khusus.

Sayangnya hari ini tak sedikit orang menjadikan masjid sebagai lahan politik. Mereka berlagak paling mengenal tuhan, paham betul ajaran Nabi, serta mati-matian membela agama. Berorasi sana-sini menebar bibit adu domba. Penampilannya matching betul dengan masa kenabian, tapi apa mereka lupa Abu Jahal juga berpenampilan demikian. Boleh jadi para manusia itu telah keblinger cinta sejati yang diberikan Tuhan. Lupa cara mengartikan kasih dan hak istimewa yang disematkan Tuhan padanya. Hingga manusia jadi gelap mata dan mengasumsikan dirinya pusat semesta.

Alangkah damainya jika dibayangkan, beriringan menuju masjid seraya saling menyapa. Bebas kebencian, bebas rasa was-was. Begitulah kita mendapat wajah agama penuh kebaikan sejembar-jembarnya, yang terang benderang tanpa kejahiliyahan. Tujuanya hanya satu, pulang pada Tuhan sang maha kerinduan.

***  

*) Oleh: Vina Shofwil Widaad, Mahasiswi Institut Agama Islam Darussalam Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES