Wisata

Hotel Rejeki Sajikan Pesona Abadi Telaga Sarangan

Selasa, 05 April 2022 - 03:22 | 245.18k
Pemandangan indah Telaga Sarangan, Magetan dengan Gunung Lawu yang berdiri kokoh sebagai latarnya. (FOTO: Ammar Ramzi/TIMES Indonesia)
Pemandangan indah Telaga Sarangan, Magetan dengan Gunung Lawu yang berdiri kokoh sebagai latarnya. (FOTO: Ammar Ramzi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Udara segar menyeruak masuk menyejukkan rongga paru-paru setibanya kami di gerbang wisata Telaga Sarangan. Di antara puluhan penginapan, keluarga besar TIMES Indonesia Surabaya memilih Hotel Rejeki 2. Namanya simpel tapi bangunannya paling menarik.

Benar saja, kami tak salah pilih. Di lobi hotel, aroma pandan sedap menyambut kedatangan kami. Staf dengan ramah mempersilakan masuk dan membawa kami ke lorong lantai dasar.

Hotel ini punya tiga lantai: lantai dasar, lantai satu, dan lantai dua. Dengan gaya bangunan modern industrial, Hotel Rejeki tak lupa diri akan budaya leluhurnya. Lukisan dan kata-kata petuah Jawa tergantung di hampir sepanjang dinding lorong.

Sambil berjalan, kami membaca salah satunya: "Dudu sanak dudu kadang, yen lungo melu kelangan (Meskipun tidak ada ikatan darah, namun terasa sudah seperti bagian dari keluarga. Jika ada yang pergi, ikut merasa sedih dan kehilangan)."

Hotel-Rejeki.jpg

Pepatah tersebut tepat sekali menggambarkan situasi kami, meski dipertemukan dalam urusan pekerjaan kami sudah merasa seperti keluarga. Tak peduli statusmu apa di kantor, jika sudah di luar tugas, kami menyatu bak adik kakak yang saling mengayomi dan mencintai.

Namun sayang, liburan kali ini sekaligus menjadi penanda berakhirnya masa magang empat orang siswa SMK dan dua orang mahasiswa, yang semuanya hebat-hebat. Mereka telah menelurkan banyak karya untuk TIMES Indonesia. Ini masterpiece-nya. Seluruh jempol kami berikan untuk tugas akhir kalian.

Meski kami menempati lantai dasar, konsep bangunan panggung Hotel Rejeki 2 memungkinkan kami tetap mendapatkan pemandangan indah deretan pegunungan sekitar Lawu.

Hamparan hijau ladang sayur milik warga terlihat jelas dari jendela kamar kami. Sore itu kami mengamati aktivitas para petani yang bersiap meninggalkan lahannya. Saling berpamitan, kemudian menunggangi kendaraan masing-masing. Syahdu sekali bumi Sarangan ini.

Malam harinya kami mulai dilanda lapar. Tapi tak perlu khawatir banyak warung berjejer di kawasan wisata ini. Kami memilih menikmati sate kelinci di tepi telaga, sambil bercanda ria. Tak lupa memesan minuman hangat dan beberapa potong gorengan plus cabe rawit.

Para pedagang bercerita, betapa sedihnya mereka saat pandemi Covid-19 mengamuk tengah tahun lalu, wisata Telaga Sarangan harus ditutup total. Mereka yang sehari-hari bergantung pada pesona Sarangan bingung harus mencari nafkah di mana.

Sebagai gantinya mereka boleh memancing ikan di Telaga Sarangan untuk lauk makan. Tapi hidup tak hanya sebatas lauk.  Bersyukurnya kini mereka bisa kembali berdagang, wisatawan perlahan mulai rutin memadati destinasi andalan Kabupaten Magetan ini.

Tak terasa hari mulai larut, kami kembali ke hotel. Keseruan berlanjut, kami masih belum mau tidur. Sejumlah gim kekinian seperti warewolf kami mainkan. Tertawa, saling ejek, dan saling "tuduh" siapa serigalanya, menyelimuti kehangatan kami.

Di ujung permainan, sesi haru dimulai. Entah siapa yang mengawali, teman-teman magang mulai menceritakan kenangannya. Satu per satu membawakan kesan haru. Tak terasa air mata menetes, walau harus buru-buru dihapus.

Air mata kesedihan tak boleh mendominasi liburan ini karena sejatinya walau masa magang telah usai, teman-teman bisa main ke  kantor kapanpun tanpa harus mengetuk pintu.

"Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (Hidup rukun pasti akan hidup sentosa, sebaliknya pertikaian pasti akan berujung cerai-berai)."

Pesona Abadi Telaga Sarangan

Telaga-Sarangan-2.jpg

Azan subuh berkumandang. Kami yang biasanya malas bangun pagi-pagi, bergegas bangkit dari kasur ingin menyaksikan langsung indahnya mentari terbit dari celah-celah perbukitan seperti di film-film. Sebagian dari kami berlari menuju telaga, sebab semalam keindahannya tertutupi gelap.

Betapa takjubnya kami melihat keindahan kolam air ciptaan Tuhan seluas 30 hektare ini. Di sisinya berpagar bukit-bukit rimba tempat bernaung bermacam satwa. Tiga orang dari kami yang mencoba memutarinya menemukan habitat ratusan kera. Sementara burung-burung murai berkicau, mandi di tepian telaga.

Pesona alaminya abadi sejak ratusan tahun lalu. Banyak catatan sejarah yang menunjukkan, kompeni Belanda pun terpincut dengan Telaga Sarangan. Dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Purbodjati menyebut dahulu Ir Soekarno pernah berkunjung kemari bersama istrinya Fatmawati dan kedua anaknya Megawati Sukarnoputri dan Guntur Soekarnoputra.

"Pada waktu itu memang Ir Soekarno kabarnya pernah menginap di Hotel Huize Hansje, namun keberadaan hotel itu sampai sekarang tidak bisa ditemukan, karena sudah dihancurkan oleh TNI menjelang Agresi Belanda ke II," ujarnya.

Jika beruntung, pengunjung bisa menikmati upacara adat larung sesaji. Tradisi turun temurun yang dilakukan warga sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas cuilan surga yang dititipkan ke mereka.

Ada tumpeng Gono Bau (nasi raksasa) dan tumpeng Tedak Ripih yang berisi sayuran. Sebelum dilarung, keduanya diarak terlebih dahulu menggunakan speedboat mengelilingi pulau yang berada di tengah Telaga Sarangan.

Upacara Dawuhan dan Labuhan, menjadi seremonial pembuka di hari sebelumnya. Ada arak arakan kambing kendit yang akan disembelih di Punden dan malam harinya diadakan tirakatan hingga selesai.

Larung saji merupakan puncak kegiatannya.

Trasidisi ini biasanya digelar secara besar-besaran dan sukses menyedot ribuan wisatawan dari berbagai daerah hingga mancanegara. Tapi sayang sejak pandemi melanda, upacara dibuat lebih simpel dan eksklusif.

Jika tak ada upacara, speedboat disewakan kepada wisatawan yang ingin menikmati sensasi keliling telaga. Percikan airnya yang segar saat tersentuh kulit membuat siapapun ingin mandi di sana. 

Puas mengitari telaga, kami mencoba belajar menunggangi kuda lokal. Ada yang berwarna putih, hitam, hingga coklat. Wisatawan bisa memilih sesuai selera. Berkeliling telaga sambil berpose di atas kuda, cocok untuk dipamerkan di sosial media Anda.

Jika sudah terasa lapar, menu sarapan rica-rica kelinci plus susu hangat tepat untuk mengembalikan energi. Seorang ibu-ibu memanggul dagangannya menawarkan kami sajian telur ayam kampung setengah matang. "Sempurna!".

Kami kembali ke penginapan, ternyata Hotel Rejeki 2 punya "kakak kandung" yakni Hotel Rejeki 1. Lebih dahulu berdiri, hotel ini menawarkan desain klasik era 90an.

"Kalau Rejeki 2 kita jual pemandangan pegunungan di balik telaga, untuk Rejeki 1 view-nya adalah telaga itu sendiri. Jadi dari kamar bisa terlihat langsung," ungkap Risto Ariesta Vialle, pemilik Hotel Rejeki 2 kepada TIMES Indonesia.

Keduanya dikelola oleh manajemen yang berbeda namun tetap satu keluarga besar. Pengunjung bisa menginap di Hotel Rejeki 2, Telaga Sarangan mulai harga di bawah Rp300.000, dengan fasilitas lengkap king size bed, hot and cool shower, free wifi, dan TV kabel. Tersedia pula sharing kitchen dan living room. (*) 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES