
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam berbagai kesempatan, mereka yang tidak berdaya secara ekonomi kerap kali dihadapkan pada data-data yang mengundang tanda tanya. Dimulai dari subsidi pangan, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, subsidi listrik hingga subsidi-subsidi lainnya yang diberi label “miskin”.
Darimana data-data tersebut diperoleh? bagaimana cara mengolahnya? dan kepada siapa keberatan atas ketidak-akuratan sebuah data dapat diajukan? Atau bahkan yang lebih mengerikan pemerintah sebagai penyedia jasa sebenarnya tidak memiliki data?
Buka Mata Buka Data
Kewenangan pemerintah dalam melakukan pendataan harus diimbangi dengan kemampuan untuk menyajikan data kepada publik secara transparan. Tidak hanya formalitas dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Melainkan tanggung jawab kepada publik serta memberikan kesempatan pada publik sebagai pengguna layanan untuk berperan aktif memberikan koreksi atas upaya yang telah dilakukan pemerintah.
Sayangnya, big data yang dimiliki pemerintah hanya digunakan untuk melegitimasi suatu kebijakan. Sebagai contoh, dalam rangka melakukan pemberdayaan terhadap fakir miskin, kebijakan untuk melakukan pendataan secara cermat dan transparan juga menjadi tanggung jawab ditingkat daerah. Namun, nyatanya data yang dimiliki justru dinilai publik tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana mungkin upaya pemerdayaan dapat dilakukan tanpa melakukan analisa terhadap hasil. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika publik meragukan terhadap apa dan siapa yang menjadi sasaran pemberdayaan tersebut. Bukan tanpa alasan, sebab setiap kebijakan bersinggungan dengan besaran anggaran.
Sengkarut Data Publik
Satu data yang dimiliki pemerintah sejatinya tidak lagi mengundang tanda tanya dan dapat digunakan dalam segala dimensi pelayanan. Kenyataannya, justru publik sering kali dirugikan dengan adanya sekat-sekat antar instansi. Jika di instansi A, data tidak terhubung pada instansi B, maka kesempatan publik untuk memperoleh haknya menjadi terganggu.
Ini tidak semata ilustrasi, Undang-Undang Cipta Kerja beserta turunannya telah banyak mereformasi penyelenggaraan pelayanan. Harus diakui, ketidaksiapan pemerintah menjadi poin utama mengapa big data tidak pernah menjadi solusi perbaikan layanan. Sebagai contoh, sekat antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan dalam mereformasi perizinan kepada nelayan kecil dan tradisional, dimana idealnya satu data dapat menjadi sumber bagi data lainnya. Namun, faktanya ketika nelayan ingin melakukan pengurusan izin atas Pass yang dimiliki, nelayan harus menerima kenyataan bahwa mengurus perizinan tidak mudah bahkan murah. Sebab dengan segala ketidakberdayaan nelayan untuk memahami data yang dimiliki, masing-masing instansi mengesankan bahwa reformasi data hanya akan menimbulkan sekat antar intansi dan memberi ruang manipulasi.
Jangan Tutup Data Terbuka
Jika big data adalah solusi, maka Pemerintah seharusnya tidak lagi tabu jika publik mengajukan beragam pertanyaan, berapakah jumlah nelayan saat ini? Berapa ketersediaan beras, minyak, sembako menjelang Ramadhan? Atau berapakah jumlah fakir miskin di Indonesia yang berhak mendapatkan subsidi listrik selama pandemi ini dan beragam tanya lainnya.
Lebih jauh, big data sebetulnya dapat menjadi salah satu cara Pemerintah untuk membangun komunikasi kepada publik melalui koreksi atas kebijakan yang ada. Sebab, tersedianya data yang baik merupakan kewajiban bagi pemerintah selaku penyelenggara dan menjadi hak bagi masyarakat sebagai pengguna layanan. Menutupi, memanipulasinya dan berlindung dibalik Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik adalah bentuk lain dari maladminstrasi. (*)
*) Penulis: Bellinda Wasistiyana Dewanty, S.H., M.H (Asisten Pemeriksa Laporan Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
____
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |